Opini
Nek Minah, Baiq Nuril, Teungku Munirwan
Kehadiran hukum menjadi kuat ketika ia menjamin keadilan terdistribusikan dengan sikap layak (fairness), kebajikan

Matinya hukum?
Kasus-kasus seperti ini mengingkatkan bahwa mata keadilan seharusnya menjadi juri dalam memutus perkara, dan bukan duri yang menderaikan air mata. Pameo bahwa hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas, adalah wujud satirisme di dunia peradilan yang masih kita akrabi.
Silakan diperiksa di dunia empiris, seberapa sering ada hukuman atau sanksi terhadap perusahaan tambang atau perkebunan yang melanggar AMDAL? Di sekeliling kita ada banyak perusahaan ekstraktif yang alih-alih memberikan kesejahteraan kepada masyarakat tempatan, malah menyumbang derita berupa kerusakan lingkungan, kemiskinan yang makin parah, kesenjangan ekonomi, dan borjuisme yang angkuh termasuk mendikte kepala daerah.
Mereka melanggar hampir semua dokumen kontrak dan masih bisa terus mengambil untung. Perusahaan-perusahaan dengan mudah berkelit dari hukum karena memiliki semua instrumen untuk menundukkan hukum melalui pengacara, penyuapan, dan manipulasi dukungan warga.
Pernahkah ada hukuman untuk Dinas Pertanian dan Perkebunan ketika pupuk subsidi yang harusnya diterima petani menghilang dan menjadi langka, sehingga petani harus membayar mahal? Apakah ada hukuman ketika pemerintah berselingkuh dengan pengusaha bibit yang memberikan bibit afkiran sehingga menghasilkan panen yang buruk dan gagal? Siapa yang mengganti derita petani yang telah tekun dalam waktu kemudian merugi karena perselingkuhan pemerintah dengan kartel-kartel yang menguasai bisnis pertanian dan perkebunan?
Sementara itu, masyarakat miskin dan orang-orang kecil kerap menjadi korban hukum, bahkan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah. Hukum bisa melebarkan pecutannya dan mendera mereka yang terpinggirkan dengan tawa kebanggaan. Betapa despotiknya hukum dengan pengalaman seperti itu?
Konsep keadilan hukum adalah sesuatu yang tidak berhenti pada aspek formalistik. Secara das Sollen hukum adalah penjabaran pada aspek keadilan yang hanya akan bernilai ketika ia menjadi sebuah sistem. Persyaratan itu hanya dapat dipraktikkan ketika mampu menampung muatan kesetaraan, kebenaran, dan akal budi, yaitu hukum yang tidak membedakan eksekusi antara si kaya dan si miskin, antara yang berkuasa dan mayoritas yang diperintah, atau antara mereka yang berpengaruh dan tidak (Morton Deutsch, Equity, Equality, and Need: What Determines which Value will be Used as the Basis of Distributive Justice? 1975)
Untuk saat ini kita masih menapaki cukup jauh untuk bisa mengonstruksikan hukum yang bernilai keadilan. Mungkin akan ada Nek Minah atau Tgk Munirwan lain ketika revolusi mental hukum ini tidak segera dilaksanakan. Harapan semoga semakin banyak warga yang melek pendidikan termasuk pendidikan hukum, sehingga tidak terjerat oktopus hukum yang gelap dan beracun.