Opini
Nek Minah, Baiq Nuril, Teungku Munirwan
Kehadiran hukum menjadi kuat ketika ia menjamin keadilan terdistribusikan dengan sikap layak (fairness), kebajikan

Oleh Teuku Kemal Fasya, Teuku Kemal Fasya, pengajar FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Peminta Penangguhan Hukum Tgk Munirwan
Konsep keadilan sejak dulu selalu dihubungkan dengan eksistensi hukum. Tidak ada keadilan kecuali ia terkonstitusi ke dalam hukum. Kehadiran hukum menjadi kuat ketika ia menjamin keadilan terdistribusikan dengan sikap layak (fairness), kebajikan (righteous), dan penuh nalar budi (virtous).
Konsep hukum sebagai “konstitusi”-bukan hanya sebagai hal baik dan adil di kepala masing-masing orang, tapi bernilai universal dan umum-telah ada sejak ribuan tahun lalu. Pada era filsafat Yunani, konsep hukum telah menarik perhatian besar.
Plato (427 SM-347) misalnya. Matematikawan dan filsuf penyalin gagasan Socrates ini menyatakan bahwa hukum hadir bukan semata produk dari pemikiran politik, tapi juga keterlibatan yang panjang dari diskusi ekstensif dengan aspek psikologi, etika, teologi, epistimologi, dan metafisika.
Keadilan menjadi kata kunci dalam konsep hukum, yang dalam bahasa John Rawls (1975) dianggap sebagai tempat perlindungan manusia untuk bebas. Hukum bekerja ketika ketidaksetaraan (inequality) mulai menghinggapi. Ketika hukum tidak menjamin rasa-rasa adil dan setara, maka ia telah punah dalam bara api. Ia menjadi produk kekuasaan: kejam dan kaku.
Keadilan bagi marjinal
Kiranya ekstrapolasi tentang filsafat hukum itu tak perlu diperpanjang lagi, ketika kita melihat dalam dunia kehidupan (die Lebenswelt) banyak kontradiksi antara konsep hukum dan konsep keadilan. Kontradiksi yang paling menyala ketika hukum menjadi sangat formalistik, kaku, protokolisme, dan anti-humanisme. Yang paling banyak menanggung derita akibat dingin-beku hukum itu adalah masyarakat kebanyakan atau non-elite.
Belum hilang ingatan kita ketika Nek Minah, seorang janda tua miskin, yang akhirnya menerima hukuman satu bulan 15 hari, dengan hukuman percobaan tiga bulan karena mengambil tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA). Ia mengambil buah kakao itu di tengah ladangnya yang juga milik perusahaan itu. Tindakannya terbukti bersalah oleh Pengadilan Negeri Purwokerto karena melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Demikian pula kasus informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang baru-baru menjadi perbincangan nasional. Baiq Nuril, seorang guru hononer di SMAN 7 Mataram yang dihukum penjara 6 bulan dengan denda 500 juta. Ia dipersalahkan berdasarkan pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Nuril divonis hukum karena menyebar-luaskan percakapan mesum kepala sekolah yang berkali-kali menggodanya. Berkali-kali Nuril dilecehkan dan ia menolak. Dasar budaya patriarkal dan patrimonial yang telah berurat, malah Nuril yang diperiksa polisi dan dibawa ke pengadilan dengan alasan telah mempermalukan sang kepala sekolah.
PN Mataram memutus bebas Nuril berdasarkan putusan nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr tanggal 26 Juli 2017. Namun pada 26 September 2018, putusan itu dianulir oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi dan diperkuat kembali pada putusan PK. Untungnya mata keadilan hadir, tapi tidak di ruang pengadilan. Presiden Joko Widodo akhirnya berencana memberikan amnesti untuk Baiq Nuril.
Kasus yang menimpa Teungku Munirwan juga sama. Ia dianggap bersalah oleh polisi karena menjual bibit padi IF8 yang belum bersertifikat ke kelompok tani. Penanganan kasus ini berangkat dari surat yang ditujukan oleh kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang menganggap apa yang dilakukan oleh Tgk Munirwan sebagai tindakan ilegal karena penyebaran benih tanpa sertifikasi. Ia dijerat pidana berdasarkan UU No. 12 tahun 1992 jo PP No. 44 tahun 1995 tentang larangan pembenihan tanaman tanpa label.
Ketika akhirnya kasus ini diketahui publik berdasarkan publikasi media massa, reaksi publik pun menjadi empati kepada sang keuchiek. Muncul gerakan dukungan dan penyelamatan Tgk Munirwan. Ratusan orang kemudian menjadi penjamin untuk penangguhan penahanan keuchiek Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Aceh Utara itu yang pernah menjadi juara II desa inovasi tingkat nasional pada 2018.
Bahkan, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Eko Sandjojo, melalui cuitan di twitter-nya meminta kepada Kapolda dan Gubernur Aceh untuk tidak mengkriminalisasi inovasi yang telah dilakukan sang tokoh pelopor pertanian di Aceh itu.
Apa yang dilakukan sang keuchiek itu tidak bertentangan berdasarkan putusan MK No. 99/PUU-X/2012 bahwa upaya pemuliaan bibit oleh masyarakat kecil untuk konsumsi di tingkat petani dikecualikan dari bunyi pasal 9 ayat (2) dan (3) UU No. 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman.
UU itu sendiri di-judicial review sejumlah organisasi seperti Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), dll sebagai upaya menolak monopoli negara atas sistem kartel di dunia pertanian dan perkebunan, sehingga merugikan masyarakat petani dalam mengembangkan inovasinya.
Matinya hukum?
Kasus-kasus seperti ini mengingkatkan bahwa mata keadilan seharusnya menjadi juri dalam memutus perkara, dan bukan duri yang menderaikan air mata. Pameo bahwa hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas, adalah wujud satirisme di dunia peradilan yang masih kita akrabi.
Silakan diperiksa di dunia empiris, seberapa sering ada hukuman atau sanksi terhadap perusahaan tambang atau perkebunan yang melanggar AMDAL? Di sekeliling kita ada banyak perusahaan ekstraktif yang alih-alih memberikan kesejahteraan kepada masyarakat tempatan, malah menyumbang derita berupa kerusakan lingkungan, kemiskinan yang makin parah, kesenjangan ekonomi, dan borjuisme yang angkuh termasuk mendikte kepala daerah.
Mereka melanggar hampir semua dokumen kontrak dan masih bisa terus mengambil untung. Perusahaan-perusahaan dengan mudah berkelit dari hukum karena memiliki semua instrumen untuk menundukkan hukum melalui pengacara, penyuapan, dan manipulasi dukungan warga.
Pernahkah ada hukuman untuk Dinas Pertanian dan Perkebunan ketika pupuk subsidi yang harusnya diterima petani menghilang dan menjadi langka, sehingga petani harus membayar mahal? Apakah ada hukuman ketika pemerintah berselingkuh dengan pengusaha bibit yang memberikan bibit afkiran sehingga menghasilkan panen yang buruk dan gagal? Siapa yang mengganti derita petani yang telah tekun dalam waktu kemudian merugi karena perselingkuhan pemerintah dengan kartel-kartel yang menguasai bisnis pertanian dan perkebunan?
Sementara itu, masyarakat miskin dan orang-orang kecil kerap menjadi korban hukum, bahkan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak bermasalah. Hukum bisa melebarkan pecutannya dan mendera mereka yang terpinggirkan dengan tawa kebanggaan. Betapa despotiknya hukum dengan pengalaman seperti itu?
Konsep keadilan hukum adalah sesuatu yang tidak berhenti pada aspek formalistik. Secara das Sollen hukum adalah penjabaran pada aspek keadilan yang hanya akan bernilai ketika ia menjadi sebuah sistem. Persyaratan itu hanya dapat dipraktikkan ketika mampu menampung muatan kesetaraan, kebenaran, dan akal budi, yaitu hukum yang tidak membedakan eksekusi antara si kaya dan si miskin, antara yang berkuasa dan mayoritas yang diperintah, atau antara mereka yang berpengaruh dan tidak (Morton Deutsch, Equity, Equality, and Need: What Determines which Value will be Used as the Basis of Distributive Justice? 1975)
Untuk saat ini kita masih menapaki cukup jauh untuk bisa mengonstruksikan hukum yang bernilai keadilan. Mungkin akan ada Nek Minah atau Tgk Munirwan lain ketika revolusi mental hukum ini tidak segera dilaksanakan. Harapan semoga semakin banyak warga yang melek pendidikan termasuk pendidikan hukum, sehingga tidak terjerat oktopus hukum yang gelap dan beracun.