Wajib Bahasa Aceh
Terkait Surat Edaran Wajib Berbahasa Aceh Hari Jumat, Ini Tanggapan Majelis Seniman Aceh
Karena, kata Ayah Panton dalam Pasal 221 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menyebutkan, Bahasa Aceh harus jadi k
Penulis: Jafaruddin | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Surat edaran Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya tentang penggunaan bahasa Aceh di Lingkungan Pemko Lhokseumawe mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat.
Penggunaan bahasa Aceh tersebut diterapkan di lingkungan kantor pada Jumat (30/8/2019) yang diawali dengan apel.

“Kami Majelis Seniman Aceh (MaSA) mendukung surat edaran Walikota Lhokseumawe untuk menggunakan bahasa Aceh pada Hari Jumat,” ujar Ketua MaSA Syamsuddin Ayah Panton kepada Serambinews.com, Sabtu (30/8/2019).
Karena, kata Ayah Panton dalam Pasal 221 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menyebutkan, Bahasa Aceh harus jadi kurikulum muatan lokal.
“Banda Aceh dulu pernah mencoba, tapi sampai hari ini belum ada implementasinya,” katanya.
Baca: Bikin Senyam-Senyum, Begini Tingkah Pegawai Lhokseumawe di Hari Pertama Wajib Berbahasa Aceh
Baca: Wanita Ini Meminta Suster Untuk Membunuhnya, Tak Kuat Menahan Sakit usai Operasi Cesar
Baca: 1 Muharram 1441 H Jatuh pada 1 September 2019, Ini Penjelasan Tim Falakiyah Kemenag Aceh
Karena itu pihaknya berharap Lhokseumawe pusat yang memulainya dan diharapkan semua kabupaten/kota di Aceh bisa mengikutinya.
“Gubernur harus mendorong ini (penggunaan bahasa Aceh). Kemudian DPRA segera membuat regulasi, penggunaan bahasa Aceh menjadi muatan lokal,” ujar Ayah Panton.
Ayah Panton mengaku dirinya bersama empat pakar lainnya termasuk dalam tim pembaku ejaan bahasa Aceh.
Empat lainnya, Prof Abdul Gani Asyik, Dr Wildan Abdullah, Drs Syahbuddin dan Dr Harun Rasyid.
“Ini tim yang membakukan bahasa Aceh, hasil kongres peradaban bahasa Aceh,” katanya.
Apalagi ada beberapa provinsi di Indonesia sudah memberlakukan penggunaan bahasa daerah.
Aceh juga harus melakukan hal yang sama, kalau tidak nantinya bahasa hanya didapatkan di buku yang ada di pustaka.
“Karena sekian ratus bahasa daerah, kalau saya tidak salah, bahasa Aceh nomor 10 yang masih tersisa,” ujar Ayah Panton.
Sedangkan bahasa daerah yang lain tidak pernah digunakan lagi masyarakat oleh masyatakat, karena tidak dilestarikan.