Feature

Menyeruput Kopi di Warung Terapung, Cara Lain Menikmati Sisa Peradaban Singkil Tempo Doloe

Penghasilannya dari berjualan kopi dan bokom belum cukup untuk membiayai perbaikan bangun warisan masa lalu Singkil itu.

Penulis: Dede Rosadi | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI
Warga berhenti di lampung yang terapung di sungai belakang Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Sabtu (31/8/2019). Lampung merupakan warisan kejayaan masa lalu Singkil, ketika transportasi masih melalui sungai. 

Laporan Dede Rosadi I Aceh Singkil

DUDUK bersandar melempar pandangan ke hamparan sungai sambil menikmati segelas kopi, menghadirkan romantika Singkil tempo doloe. Saat itu sungai masih menjadi jalur transportasi utama di negeri para ulama.

                                                                          *   *    *

SERAMBINEWS.COM, SINGKIL  - Jejeran bangunan terapung itu berdiri mengambang di sungai selebar ratusan meter yang membentang di belakang Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.

Dibuat dari kayu dan beratap rumbia. Sekilas tampak sudah lapuk termakan usia.

Itulah lampung atau warung terapung, warisan budaya Singkil masa lalu.

Saat Serambinews.com menyambanginya, Minggu (1/9/2019) sejumlah lelaki terlihat menikmati kopi hitam yang dijual pemilik lampung.

Para lelaki itu umumnya nelayan sungai.

Warga membuat jaring di lampung yang terapung di sungai belakang Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Sabtu (31/8/2019). Lampung merupakan warisan kejayaan masa lalu Singkil, ketika transportasi masih melalui sungai.
Warga membuat jaring di lampung yang terapung di sungai belakang Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Sabtu (31/8/2019). Lampung merupakan warisan kejayaan masa lalu Singkil, ketika transportasi masih melalui sungai. (SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI)

Mereka menjadikan lampung sebagi tempat tambatan perahu sebelum berangkat maupun pulang menangkap ikan.

Di lampung itu pula warga menjual hasil tangkapan ikan sungai pada pagi hari.

Sementara sorenya, sebelum berangkat mereka membeli kebutuhan di lampung selama berada di sungai, seperti bahan bakar mesin perahu, es, rokok dan kopi.

Lampung mengapung di atas sungai menggunakan pelambung belasan batang kayu sebesar drum.

Kayu-kayu itu disatukan sebagai tumpuan papan dan tiang layaknya sebuah rumah hanya saja dibangun terbuka di atas sungai.

Agar tidak hanyut terbawa arus sungai tali sebesar jempol ibu kaki mengikat lampung ke patok yang di pasang di tepian sungai.

Masuk ke lampung meniti selembar serpihan kayu. Harus ekstra hati-hati, titian kayu tanpa pengikat bergoyang ketika dipijak mengikuti naik turun permukaan air sungai.

Lampung di bagi menjadi beberapa ruangan.

Baca: Pria Penyiram Air Keras yang Tewaskan Ustaz Ditangkap, Ternyata Pelaku dan Istri Ustaz Berselingkuh

Baca: Anggota DPRA Kawal Pengadaan Kapal Roro Singkil-Pulau Banyak, Diperkirakan Tahun 2021 Selesai

Baca: Ayah Tewas Dibacok Anak Kandung dengan Linggis, Sang Ibu Histeris Lihat Suami Bersimbah Darah

Ruang utama merupakan tempat minum kopi, istirahat, tungku api kayu untuk memasak air serta makan bokom.

Bokom merupakan makanan khas yang tak diketahui kapan sebutan itu mulai populer.

Bokom berupa mi instan dimasak hanya disiram air panas dicampur irisan bawang merah dan cabai rawit mentah ditambah air jeruk nipis.

Lampung atau warung terapung di sungai belakang Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Sabtu (31/8/2019). Lampung merupakan warisan kejayaan masa lalu Singkil, ketika transportasi masih melalui sungai.
Lampung atau warung terapung di sungai belakang Desa Tanah Merah, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Sabtu (31/8/2019). Lampung merupakan warisan kejayaan masa lalu Singkil, ketika transportasi masih melalui sungai. (SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI)

Ruang lain berupa tempat jualan dan bagian belakang berisi perlengkapan pemilik lampung.

Di sekeliling lampung merupakan tempat tambatan perahu.

Nelayan gratis dan aman menambatkan perahu ke lampung sepanjang waktu.

Bangunan berukuran kira-kira 10 x 25 meter itu, tidak diketahui kapan dibangun.

Abdul Karim, sang pemilik saat ini merupakan generasi ketiga dari pengelola lampung sebelumnya.

Lampung milik Abdul Karim, merupakan satu-satunya yang masih bertahan dari gilasan zaman.

“Dulu jauh sebelum Aceh Singkil menjadi kabupaten, ketika sungai masih merupakan jalur transportasi satu-satunya lampung tersedia di banyak lokasi,” kata Asmuddin Imum Mukim Punaga sambil menikmati segelas kopi di lampung milik Abdul Karim.

Dulu saking banyaknya lampung dinamai sesuai pemiliknya.

“Pemiliknya Dede, disebut lampung Pukak Dede,” jelas Asmuddin, Minggu (1/9/2019).

Lampung pada masa kejayaannya, berfungsi sebagai tempat menginap, persinggahan warga dan pedagang.

Kala itu lampung kerap menjadi pasar dadakan.

Setiap pagi lampung milik Abdul Karim menjadi tempat transaksi jual beli ikan sungai hasil tangkapan nelayan setempat.

Selain dijual di Aceh Singkil, ikan kerap dikirim untuk memenuhi permintaan warga Subulussalam, Kabupaten Pak Pak Barat dan Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Sayang lampung Abdul Karim terus lapuk dimakan usia.

Penghasilannya dari berjualan kopi dan bokom belum cukup untuk membiayai perbaikan bangun warisan masa lalu Singkil itu.

Sesekali lampung bergoyang terhentak gelombang sungai akibat lalu lalang perahu nelayan.

Duduk bersandar melempar pandangan ke hamparan sungai sambil menikmati segelas kopi, menghadirkan romantika Singkil tempo dulu.

Saat itu sungai masih menjadi jalur transportasi utama di negeri para ulama.

Tertarik menikmati kopi dan menyatap bokom sambil bernostalgia ke peradaban Singkil masa lalu? Datanglah ke lampung Abdul Karim!(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved