Jurnalisme Warga
Menerobos Kabut demi Sebuah Janji
Jumat lalu seusai subuh saya bersama sahabat Oemar Ibrahim dari rumah di Matangglumpang Dua menuju Bireuen

Karena sudah janji, saya berusaha keras berangkat demi janji yang sudah disepakati, saya akan hadir dalam pertemuan tersebut, walau sepanjang perjalanan hujan dan kabut terus mengadang.
Melewati Cot Panglima cuaca sudah mulai agak bersahabat sehingga kendaraan yang kami tumpangi mulai bisa agak dikebut. Tampak di sepanjang perjalanan beberapa kota kecil ramai dengan pasar kaget di pinggiran jalan, misalnya di Blang Rakal dan Ronga-Ronga. Beberapa warga terlihat bertransaksi secara tardisional di pinggir jalan.
Pasar tersebut tak menghalangi kami menempuh perjalanan ke kota yang mempunyai ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (dpl) itu. Kami lewati pasar tersebut dan sepanjang jalan yang kami lalui hujan mulai turun lagi. Seakan anugerah Yang Mahakuasa itu ingin menunjukkan kesetiaannya menemani perjalanan kami menuju kota berhawa sejuk tersebut.
Pemandangan sepanjang jalan dalam suasana hujan begitu mencekam, jalan terasa sepi, pucuk aneka ragam pepohonan melambai, bergoyang ke sana kemari, seiring kencangnya tiupan angin pengunungan. Curahan air hujan mengalir deras turun ke setiap alur yang berada di pinggir jalan dan lembah yang sangat curam. Roda mobil kami terus berputar dengan kecepatan sedang.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, tibalah kami di tempat tujuan. Setelah berkeliling menjumpai dan membimbing mahasiswa di beberapa kampung lokasi penempatan mahasiswa KKM Umuslim di Aceh Tengah, tibalah waktu perjanjian kami diwujudkan, yakni menggelar pertemuan dengan sejumlah perwakilan mahasiswa dari 12 kampung.
Rapat kami adakan di sebuah kafe seputaran Kota Takengon. Berlangsung dalam suasana penuh kekeluargaan dan keakraban. Peserta rapat terlihat ada yang memakai jaket tebal sambil tangannya mendekap tubuhnya, tetapi wajah mereka begitu gembira dan saling berbagai informasi pengalaman, suka duka selama 15 hari sudah mengabdi di Dataran Tinggi Gayo.
Setelah menggelar rapat, jarum jam menunjukkan angka 17 lewat 10 menit, hujan pun turun lebat, diiringi angin pengunungan Gayo yang bertiup sangat kencang, hawa dingin mulai menyusup ke pori-pori dan tulang. Tubuh saya dan beberapa peserta KKM terlihat mengigil dan bulu-bulu halus di lengan mulai berdiri tegak. Bibir atas dan bawah bergetar kencang, sehingga rencana pulang sore itu hampir saja kami tunda.
Melihat intensitas curah hujan yang begitu tinggi, hampir saja kami putuskan untuk bermalam di kota dingin ini. Tetapi hal itu tak mungkin kami lakukan karena saat berangkat dari rumah, kami sudah berjanji pada keluarga bahwa akan kembali (tidak menginap) setelah rapat selesai.
Setelah menunggu beberapa waktu, kami belum juga bisa bergerak karena hujan masih sangat deras. Kami tunaikan shalat Magrib di Takengon. Setelah itu hujan, di tengah guyur hujan yang tak jua reda, akhirnya kami putuskan kembali ke Bireuen malam itu juga.
Di perjalanan, hujan terus mengguyur, angin kencang dan kabut terus mengadang. Tapi tekad kami sudah bulat, yakni harus bisa kembali malam itu juga, demi sebuah janji yang kami ucapkan kepada keluarga, yakni kami akan kembali malam ini juga.
Tepat pukul 20.05 WIB kami bergerak meninggalkan jutaan kenangan dan pengalaman dalam balutan persaudaraan di medan pengabdian mahasiswa KKM. Kami menorobos hujan lebat dan kabut tebal untuk bisa kembali demi sebuah janji pada keluarga.