Opini

Tuduhan yang Melecehkan Islam  

Menurut Yoshihiro Francis Fukuyama dalam"The End of History and The last Man", sejarah telah berakhir setelah datangnya dominasi militer

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Tuduhan yang Melecehkan Islam   
Dr. Munawar. A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, PNS di Lingkungan Pemerintah Aceh

Oleh Dr. Munawar. A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah, PNS di Lingkungan Pemerintah Aceh

 Menurut Yoshihiro Francis Fukuyama dalam"The End of History and The last Man", sejarah telah berakhir setelah datangnya dominasi  militer, politik, ekonomi, dan kekuatan budaya. Tantangan dunia yang kini sedang kita jalani setelah runtuhnya Soviet adalah munculnya tatanan dunia baru di mana gaya hidup manusianya bercermin kepada barat. Peradaban barat seolah-olah `hantu" yang kini telah mengincar jiwa kita, terutama umat Islam.

Nilai-nilai hidup, sesuatu yang kita makan, pakaian yang kita kenakan, buku yang kita baca, dan tontonan yang kita lihat, adalah sinyalemen telah hadirnya peradaban itu. Di samping munculnya globalisasi dengan kemenangan kapitalisme dan pasar bebas, revolusi informasi yaitu lahirnya televisi, internet, dan ponsel serta monopoli media telah melengkapi bukti bahwa kita sedang berkiblat pada peradaban barat.

Salah satu makhluk yang menakutkan dan telah dijadikan simbol terpenting dalam peradaban barat adalah eksistensi media malah kini makhluk tersebut telah mampu memimpin dunia. Media menjadi penjajah baru menggantikan senjata-senjata militer yang menyeramkan. Mungkin kta akan mudah menghadapi tuduhan korupsi, pencurian bahkan pemerkosaan sekalipun, sebab dalam kamus hukum, delik tuduhan belum termasuk bukti.

Karena itu proses pengadilannya masih harus berjalan panjang. Andai seseorang dituduh memperkosa pun, bisa bebas bila ada bukti yang kuat karena tidak adanya keterlibatan. Tapi akan lain persoalannya bila tuduhan itu dimuat dan datang dari media, opini publik akan tetap menganggap orang tersebut " bersalah" walau statusnya belum jelas.

Berbagai tuduhan

Salah satu strategi barat dalam melecehkan Islam adalah memonopoli penggunaan media. Sejak tahun 1979, barat khususnya media Amerika selalu memberikan berbagai "cap/stigma" buruk terhadap Islam. Pemberian istilah ekstrim, fanatik, muslim fundamentalis, teroris dll adalah bentuk pelecehan yang sangat menyakitkan. Terlebih lagi setelah adanya tuduhan keterlibatan muslim (Al-Qaida; Osama Ben Laden) di balik terjadinya serangan World Trade Centre (WTC) 11 September 2001, Islam terus menjadi kanvas hidup olok-olok barat yang mereka sebut sebagai "The Public Enemy Number One".

Kita masih ingat tindak pidana terorisme yang dituduhkan kepada Abu Bakar Basyir sehingga divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Jakarta Selatan, 16 Juni 2011. Sebelum ditangkap, Abu Bakar Basyir dan beberapa tokoh eks Afganistan sempat mendapat kehormatan diwawancarai media televisi. Dengan kepandaian wartawan, media berusaha agar ia berbicara seolah-olah ada hubungan dengan jaringan terorisme Internasional Al-Qaida pimpinan Osama Ben Laden saat itu. Kekeliruan Abu Bakar Basyir dan beberapa yang lain, mereka terlalu banyak menjawab persoalan, sehingga tergiring opini seolah-olah  Islam memang mengajarkan terorisme.

Setelah Al-Qaida berakhir dengan "terbunuhnya" Osama Ben Laden, umat Islam juga tidak sepi dari tuduhan, misalnya tuduhan adanya muslim Indonesia yang memiliki hubungan dengan jaringan Islamic State of Irak and Syria (ISIS), dll. Menurut penulis upaya ini tak lain sebagai jembatan baru bagi barat masuk dan menekan gerakan-gerakan militansi Islam, terutama di Indonesia.

Seringgit tiga kupang (istilah trend; sebelas-duabelas), hari-hari ini pula kita disibukkan lagi dengan tuduhan-tuduhan baru seperti penggunaan istilah lain yang begitu gencar dipopulerkan media yaitu "terpapar radikalisme". Yang sangat mengkhawatirkan istilah ini disambut baik Pemerintah sehingga melalui kebijakan Kementerian Riset, Tehnologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) akan mendata akun media sosial milik mahasiswa dan dosen perguruan tinggi yang disinyalir "terpapar radikalisme".

Perlu diketahui bahwa salah satu ciri orang kampus adalah kritis dan berfikir objektif. Jangan sampai keobjektivan seorang dosen mengajarkan dogma Islam kepada mahasiswa, begitu pula kelugasan para penceramah/dai menyampaikan doktrin agamanya, lantas dosen dan penceramah tersebut dituduh radikal. Sementara ada mahasiswa yang rutin membuat kajian keagamaan, halaqah, berpenampilan islami, berjenggot, bercadar dll, kemudian dengan mudah dituduh "terpapar radikalisme".

Hakikatnya yang harus difahami oleh siapapun di kolong jagat raya ini adalah walau umat Islam terkenal semangat jihadnya yang tidak pernah padam, namun dia dikenal juga sebagai umat yang toleran dan paling mudah diajak kompromi. Mereka tidak akan memaksa orang lain untuk menganut Islam, dan mereka juga tidak akan mengganggu orang lain di sekelilingnya selama orang tersebut tidak mengganggu aqidahnya. Hal ini tercantum tegas dalam ajaran Islam sebagai hukum bermasyarakat.

Prinsip toleran dan kompromisnya umat Islam ini, lagi-lagi dijadikan barat sebagai pintu masuk menghantam Islam dari dalam. Sedikitnya ada dua strategi yang digunakan. Pertama, melakukan tekanan-tekanan atau ancaman melalui kekuatan media untuk menimbulkan ketakutan di tengah umat Islam (agitatif). Sasaran yang ingin dicapai adalah agar umat Islam tidak memfokuskan lagi soal militansi dalam perjuangannya. Sampai yang paling ekstrim umat Islam merasa takut melaksanakan pengajian-pengajian. Banyak orang tua bahkan tenang saja jika anaknya pergi ke diskotik, namun menjadi gelisah jika anaknya tergabung dalam suatu kelompok pengajian.

Strategi berikutnya menimbulkan hasut di tengah umat (provokatif). Melakukan pemujaan terhadap suatu kelompok umat Islam dalam firqah-firqah. Mereka telah berhasil membelah umat Islam menjadi kelompok Sunni, Syiah, Wahabi, dll. Keberhasilan itu mengelinding bagaikan bola es yang menimbulkan akibat terparah yaitu lahirnya generasi ulama yang dalam benaknya hanya melihat kesalahan-kesalahan orang lain yang menganggap diri dan kelompoknya yang benar. Terkadang mereka begitu militan, namun sasarannya justru umat Islam sendiri yang mereka anggap bid'ah, bodoh, dan salah.

Kebanyakan mereka begitu keras kepala memahami keburukan itu sehingga secara sadar atau tidak mereka dipolitisir golongan anti Islam untuk semakin melebarkan sayap perpecahan di tengah umat Islam. Strategi-strategi tersebut telah dilakukan barat hampir di seluruh dunia Islam, malaksanakan salah satunya atau menggabung keduanya. Belanda menjajah Indonesia dengan cara itu, bahkan komunis melakukan makar di Indonesia juga dengan cara itu.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved