Berita Banda Aceh
Pencabutan Izin BPRS Hareukat, LPS: Ini Pertama di Aceh
Haydin juga menjelaskan dalam proses pengembalian 90 hari kerja itu LPS harus mengumumkan mana yang layak dibayar dan mana yang tidak layak dibayar.
Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Nur Nihayati
Ia juga menyampaikan kepada nasabah yang pembayaran pinjamannya macet atau biasa disebut kredit macet, pihaknya memberi waktu maksimal satu bulan untuk melunasi kewajibannya itu.
Selanjutnya, hal-hal yang berkaitan dengan pembubaran badan hukum dan proses likuidasi BPRS Hareukat akan diselesaikan oleh Tim Likuidasi yang dibentuk LPS. Pengawasan pelaksanaan likuidasi BPRS itu dilakukan oleh LPS.
"LPS mengimbau agar nasabah BPRS Hareukat tetap tenang dan tidak terpancing atau terprovokasi untuk melakukan hal-hal yang dapat menghambat proses pembayaran klaim penjaminan dan likuidasi," imbuhnya.
Kepala OJK Aceh, Aulia Fadly menyampaikan pencabutan izin usaha PT BPRS Hareukat dikeluarkan melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner (KADK) Nomor KEP-182/D.03/2019 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Hareukat, terhitung sejak 11 Oktober 2019.
Sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19/POJK.03/2017 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 56/SEOJK.03/2017 masing-masing tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, PT BPRS Hareukat sejak 27 Maret 2018 telah ditetapkan menjadi status BPRS Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) karena rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang kurang dari nol persen.
Penetapan status BDPK tersebut disebabkan kelemahan pengelolaan oleh manajemen BPRS yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan asas perbankan yang sehat.
Status tersebut ditetapkan dengan tujuan agar pengurus atau pemegang saham melakukan upaya penyehatan.
Namun, dikatakan Aulia, sampai batas waktu yang ditentukan, upaya penyehatan yang dilakukan oleh pengurus atau pemegang saham untuk keluar dari status BDPK, dan BPRS dapat beroperasi secara normal dengan rasio KPMM paling kurang sebesar 8 persen tidak terealisasi.
Mempertimbangkan kondisi keuangan BPRS yang semakin memburuk dan pernyataan ketidaksanggupan dari pengurus dan pemegang saham dalam menyehatkan BPRS tersebut serta menunjuk Pasal 38 POJK, maka OJK mencabut izin usaha BPRS tersebut dan meneruskan prosesnya kepada LPS untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya. (*)