Opini
Tubuh Kurus di Tengah Piring Penuh karena Cacingan dan Ketimpangan Gizi Anak Indonesia
Cacingan atau infeksi Soil-Transmitted Helminth (STH) hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama pada anak
Oleh: Alya Masthura Safwan, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran USK
DI masyarakat kita, sering kali kita mendengar keluhan seperti, "Anak saya sudah makan banyak, tapi badannya kurus sekali." Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan faktor genetik atau aktivitas fisik yang tinggi. Namun, seringkali ada satu penyebab yang tersembunyi dan sering diabaikan yaitu cacingan.
Cacingan atau infeksi Soil-Transmitted Helminth (STH) hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama pada anak usia sekolah. Penyakit ini sering dianggap sepele, padahal dampaknya sangat besar terhadap kualitas hidup, pertumbuhan, dan produktivitas. Survei menunjukkan prevalensi cacingan pada anak usia sekolah berkisar antara 2,7 persen hingga 60,7 % , dengan rata-rata nasional sekitar 28,12 % (Kemenkes RI, 2025).
Kasus nyata juga muncul di berbagai daerah, misalnya penelitian di Wamena, Papua, yang menemukan prevalensi 19,9 % pada anak sekolah, sebagian besar akibat kebiasaan tidak mencuci tangan setelah buang air, sanitasi air yang buruk. Pada Tinjauan sistematik dengan tahun (2020–2022) menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan signifikan di beberapa daerah, helminthiasis (infeksi cacing) masih belum terkendalikan di banyak provinsi, sehingga target Menkes untuk menurunkan prevalensi di bawah 10?lum sepenuhnya tercapai.
Penyakit kecacingan masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Data survei pada kelompok rentan menunjukkan prevalensi yang mengkhawatirkan secara umum, mencapai sekitar 28,25 % , dan angka ini bahkan lebih tinggi di Provinsi Aceh, yakni 32,3 % . Tingginya angka ini memperkuat fakta bahwa kelompok dengan status gizi dan imunitas rendah lebih berisiko mengalami infeksi cacing, yang kemudian berpotensi menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk masalah gizi di Indonesia, termasuk stunting.
Masalah gizi dan stunting yang diperburuk oleh infeksi cacingan terjadi karena cacing parasit seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus), hidup di usus manusia dan bersaing langsung dengan inangnya untuk mendapatkan nutrisi. Secara spesifik, cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan di usus, yang berujung pada anemia defisiensi besi—salah satu penyebab utama stunting. Sementara cacing lain "mencuri" nutrisi penting.
Akibatnya, anak yang terinfeksi cacingan akan mengalami gangguan penyerapan nutrisi, sehingga meskipun asupan makanannya cukup, nutrisi penting untuk pertumbuhan tidak dapat diserap dengan optimal. Selain itu, hilangnya nutrisi yang seharusnya digunakan untuk perkembangan otak membuat anak rentan mengalami penurunan kecerdasan (IQ). Dengan demikian, kecacingan tidak hanya merugikan kesehatan individu, tetapi juga menghambat kualitas pendidikan dan potensi anak di masa depan.
Penghambatan kualitas pendidikan dan potensi anak di masa depan sangat erat kaitannya dengan perilaku sehari-hari yang tidak higienis dan kondisi lingkungan yang buruk. Fakta yang paling penting adalah cara cacingan menyebar; penyebaran cacingan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan perilaku sehari-hari yang tidak higienis dan kondisi lingkungan.
Hal ini terbukti dari sebuah penelitian terbaru (2024) di Kabupaten Aceh Tengah, yang menunjukkan bahwa 15,1 % ibu hamil terinfeksi cacingan. Perilaku yang tidak higienis dan kondisi lingkungan buruk merupakan sumber utama penularan Soil-Transmitted Helminths (STH) atau cacing yang ditularkan melalui tanah, di mana telur dan larva cacing ini berkembang biak di tanah yang terkontaminasi.
Hal ini diperkuat dengan penelitian di Gampong Jawa, Banda Aceh yang menunjukkan bahwa 26 % sampel tanah sudah tercemar oleh telur cacing. Data ini menegaskan bahwa faktor-faktor seperti sanitasi yang buruk dan rendahnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah penyebab dominan penyebaran cacingan, yang menjadi "jalan tol" bagi telur cacing untuk masuk ke tubuh.
Meskipun perilaku dan lingkungan menjadi tantangan besar, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menjalankan program Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) atau deworming. Program ini menargetkan anak-anak usia 1 hingga 12 tahun di seluruh Indonesia, dengan pemberian obat cacing setidaknya dua kali setahun. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sangat penting karena merupakan benteng pertama dalam melawan penyakit menular, termasuk diare, tifus, dan kecacingan, dengan cara memutus rantai penyebaran kuman dan virus melalui kebersihan diri dan lingkungan.
Selain sebagai pencegahan penyakit, PHBS juga berfungsi meningkatkan kualitas hidup dengan menciptakan lingkungan yang nyaman, sehat, dan produktif, di mana tubuh yang sehat memungkinkan seseorang untuk beraktivitas, belajar, dan bekerja secara optimal. Lebih dari itu, PHBS adalah investasi jangka panjang untuk masa depan, di mana kebiasaan sehat yang ditanamkan sejak dini akan membantu terhindar dari penyakit kronis di kemudian hari dan secara signifikan mengurangi beban biaya pengobatan.
Pentingnya kebiasaan hidup sehat sebagai investasi jangka panjang kembali ditekankan oleh kasus-kasus kecacingan parah yang muncul baru-baru ini. Pada September 2025, terjadi kasus balita di Medan yang mengalami muntah dan buang air besar disertai keluarnya cacing, menunjukkan bahwa infeksi ini masih menjadi masalah akut. Selain itu, kasus balita inisial KNS di Bengkulu pada bulan yang sama juga menyoroti kegagalan pencegahan ini.
KNS menderita gejala parah, termasuk demam, sesak napas, dan keluarnya cacing melalui hidung dan feses, serta didiagnosis menderita infeksi cacing gelang, bronkopneumonia, sindrom Löffler, gizi buruk, dan anemia defisiensi besi. Kondisi buruk ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan rumah yang tidak layak, sanitasi yang buruk, serta kurangnya kepatuhan dalam konsumsi obat cacing. Kasus-kasus tragis ini bukan sekadar insiden medis, melainkan cermin dari lemahnya perilaku higienis, buruknya sanitasi, dan ketidakcukupan gizi di tengah masyarakat.
Dari Meunasah ke Meja Makan, Menyatukan Sosial, Perilaku, Lingkungan, & Gizi demi Generasi Sehat |
![]() |
---|
Pemadaman Listrik Aceh: Antara Krisis Energi dan Krisis Tata Kelola |
![]() |
---|
Inovasi Budidaya Perikanan, Harapan Baru Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Aceh Daerah Modal yang Perlu Modal Untuk Membangun Ketertinggalan |
![]() |
---|
Revisi UUPA dan Penguatan Parlok |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.