Berita Banda Aceh
Pencabutan Izin BPRS Hareukat, LPS: Ini Pertama di Aceh
Haydin juga menjelaskan dalam proses pengembalian 90 hari kerja itu LPS harus mengumumkan mana yang layak dibayar dan mana yang tidak layak dibayar.
Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Nur Nihayati
Haydin juga menjelaskan dalam proses pengembalian 90 hari kerja itu LPS harus mengumumkan mana yang layak dibayar dan mana yang tidak layak dibayar.
Laporan Mawaddatul Husna | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh mencabut izin usaha PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Hareukat yang beralamat di Jalan Masjid Nomor 18, Lambaro, Aceh Besar, terhitung sejak Jumat (11/10/2019).
Berdasarkan aturan, setelah OJK mencabut izin usaha BPRS tersebut, maka proses selanjutnya diteruskan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.
Dalam hal ini LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.
• Rider Sepeda Aceh Luar Daerah Ramaikan Xco Rize Langsa Adventure Bike Ke-5, Dibuka Dandim Atim
• Pengurus Majelis Taklim Langsa Dikukuhkan, Wakil Wali Kota Sebut BKMT Media Berdakwah
• Konflik Timur Tengah Memanas, Militer Arab Saudi Dituduh Serang Kapal Tanker Iran
Kepala Divisi Kehumasan Sekretariat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Haydin Haritzon kepada wartawan, Jumat (11/10/2019) menyampaikan pencabutan izin usaha BPRS itu merupakan yang pertama di Aceh, dan yang ke 99 diseluruh Indonesia.
"Di Aceh ini baru pertama yang ditutup BPRS-nya. Secara umum Aceh rapornya bagus, paling banyak (penutupan BPR-red) di Sumatera Barat," sebutnya yang menambakan hingga September 2019, LPS telah melikuidasi 99 BPR termasuk yang di Aceh, dan satu bank umum.
Ia menyampaikan pihaknya akan melakukan proses pembayaran klaim simpanan dan likuidasi BPRS Hareukat. Proses pembayaran klaim dan likuidasi dilakukan setelah izin usaha PT BPRS Hareukat dicabut izinnya oleh OJK pada 11 Oktober 2019.
"Dalam rangka pembayaran klaim simpanan nasabah BPRS Hareukat, LPS akan memastikan simpanan nasabah dapat dibayar sesuai ketentuan yang berlaku.
LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dan informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang akan dibayar," jelasnya.
Ia mengatakan rekonsiliasi dan verifikasi itu akan diselesaikan pihaknya paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha yakni sampai 18 Februari 2020.
Pembayaran dana nasabah akan dilakukan secara bertahap selama kurun waktu tersebut.
Haydin juga menjelaskan dalam proses pengembalian 90 hari kerja itu LPS harus mengumumkan mana yang layak dibayar dan mana yang tidak layak dibayar.
"Di Undang-Undang dijelaskan kalau uangnya mau dijamin LPS, maka harus memenuhi syarat.
Pertama, harus tercatat pada pembukuan bank, kedua tingkat bunganya tidak boleh melebihi bunga LPS, karena ini BPR Syariah yang tidak menganut bunga bank tapi bagi hasil jadi syarat kedua ini dikesampingkan.
Dan ketiga, tidak ikut turut serta merugikan bank," terang Haydin.
Ia juga menyampaikan kepada nasabah yang pembayaran pinjamannya macet atau biasa disebut kredit macet, pihaknya memberi waktu maksimal satu bulan untuk melunasi kewajibannya itu.
Selanjutnya, hal-hal yang berkaitan dengan pembubaran badan hukum dan proses likuidasi BPRS Hareukat akan diselesaikan oleh Tim Likuidasi yang dibentuk LPS. Pengawasan pelaksanaan likuidasi BPRS itu dilakukan oleh LPS.
"LPS mengimbau agar nasabah BPRS Hareukat tetap tenang dan tidak terpancing atau terprovokasi untuk melakukan hal-hal yang dapat menghambat proses pembayaran klaim penjaminan dan likuidasi," imbuhnya.
Kepala OJK Aceh, Aulia Fadly menyampaikan pencabutan izin usaha PT BPRS Hareukat dikeluarkan melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner (KADK) Nomor KEP-182/D.03/2019 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Hareukat, terhitung sejak 11 Oktober 2019.
Sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19/POJK.03/2017 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 56/SEOJK.03/2017 masing-masing tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, PT BPRS Hareukat sejak 27 Maret 2018 telah ditetapkan menjadi status BPRS Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) karena rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang kurang dari nol persen.
Penetapan status BDPK tersebut disebabkan kelemahan pengelolaan oleh manajemen BPRS yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan asas perbankan yang sehat.
Status tersebut ditetapkan dengan tujuan agar pengurus atau pemegang saham melakukan upaya penyehatan.
Namun, dikatakan Aulia, sampai batas waktu yang ditentukan, upaya penyehatan yang dilakukan oleh pengurus atau pemegang saham untuk keluar dari status BDPK, dan BPRS dapat beroperasi secara normal dengan rasio KPMM paling kurang sebesar 8 persen tidak terealisasi.
Mempertimbangkan kondisi keuangan BPRS yang semakin memburuk dan pernyataan ketidaksanggupan dari pengurus dan pemegang saham dalam menyehatkan BPRS tersebut serta menunjuk Pasal 38 POJK, maka OJK mencabut izin usaha BPRS tersebut dan meneruskan prosesnya kepada LPS untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya. (*)