Wawancara Eksklusif

Jecky A Pengungsi Wamena Asal Aceh: ‘Kami Tak Punya Apa-apa Lagi’

Kerusuhan besar yang terjadi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, akhir September lalu, memaksa ribuan orang meninggalkan kota di pegunungan

Editor: bakri
IST
Jecky A Pengungsi Wamena Asal Aceh 

Kerusuhan besar yang terjadi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, akhir September lalu, memaksa ribuan orang meninggalkan kota di pegunungan tengah Papua itu. Jecky A (45) adalah satu di antara warga tersebut. Pria kelahiran Langsa, 16 April 1974, ini merantau ke Wamena sejak tahun 1996. Di sana pula dia bertemu dengan jodohnya, Rosnawati (45), asal Bone, Sulawesi Selatan. Pasangan ini telah dikarunai memiliki seorang putri, Cut Wahyuni Aceh Putri (16) kelas II pad salah satu SMA di Wamena.

Namun, kerusuhan besar itu memaksa Jecky untuk kembali ke kampung halamannya, Aceh Timur. Jekcy harus meninggalkan hasil kerja kerasnya selama 23 tahun menetap di Wamena.  “Selamat dari kerusuhan di Wamena, merupakan anugerah bagi kami,” kata Jecky saat dikunjungi Bupati Aceh Timur, H Hasballah bin HM Thaib, di rumah H Zakaria, abang Jecky, di Dama Tutong, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, Selasa (9/10/2019). Bagaimana kisah Jekcy dan keluarganya bisa selamat dari kerusuhan di Wamena? Berikut petikan wawancara wartawan Serambi, Seni Hendri, dengan Jecky, dan istrinya Rosnawati.

Sudah berapa lama Anda tinggal di Wamena dan apa aktivitas Anda di sana?

Sudah 23 tahun. Kami berjualan pakaian di sebuah pasar. Di Wamena termasuk mudah mencari rezeki, tapi mahal harga bahan pokok.

Seperti apa konflik di Wamena?

Kerusuhan besar terjadi pada pertengahan September (Senin, 23 September 2019). Sekelompok orang melakukan tindakan anarkis, merusak fasilitas publik, pasar, dan melakukan penyerangan.

Bahkan, ada sebagian orang mengenakan seragam sekolah, tapi di dalam tasnya berisi bensin. Bensin itu digunakan untuk membakar fasilitas publik. Mereka juga menyerang orang-orang.

Apa yang Anda lakukan saat kerusuhan terjadi?

Karena keadaan semakin mencekam dan keselamatan di Wamena tidak terjamin, saya bersama istri dan anak mengumpulkan barang berharga seperti KTP, dan ijazah, dan surat penting lainnya. Agar mudah diamankan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan barang dagangan kami tinggalkan dalam kios yang sudah kami gembok. Saya menitipkan kios itu kepada keponakan saya, Abdul Muthalib, yang masih di Wamena sebagai bilal masjid, dan ia dikawal oleh aparat keamanan.

Bagaimana cara Anda pulang ke Aceh?

Karena keselamatan sudah tak terjamin di Wamena, kami mengungsi ke Jayapura, dievakuasi menggunakan Helikopter Hercules milik TNI. (Wamena adalah ibu kota Kabupaten Jayawijaya yang berjarak sekitar 45 menit terbang dengan helikopter dari ibu kota Papua, Jayapura). Kami tinggal di Jayapura selama satu minggu. Dari Jayapura, kami pulang atas bantuan Dinsos Aceh. Ke Aceh saya bertiga dengan istri dan anak. Selain itu juga ada pengungsi pulang ke Makassar.

Bagaimana kondisi terakhir saat Anda meninggalkan Papua?

Saya dengar kerusuhan merembes ke beberapa daerah seperti Kabupaten Puncak Jaya dan Nduga, tapi di Nduga tak terlalu parah.

Apakah masih ada warga Aceh di Wamena?

Ada beberapa orang seperti Abdul Muthaleb, Hasan Basri, Sinar, dan Rudi Sunardi orang Krueng Geukueh.

Bagaimana perasaan Anda setelah kembali ke Aceh?

Saya senang. Hati saya senang bisa bertemu dengan keluarga.

Apakah Anda akan kembali lagi ke Wamena?

Tidak akan kembali lagi. Rencana saya mau membuka usaha di sini, jika ada modal. Sekarang di sini saya tidak punya apa-apa, karena dulu tanah di Peureulak sudah saya jual untuk modal usaha di Wamena. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved