Breaking News

JURNALISME WARGA

Seudati, Kesenian yang Sarat dengan Literasi

FESTIVAL Seudati 2019 yang diselenggarakan di Pidie beberapa hari lalu telah menyebabkan tarian ini men­jadi trending

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Seudati, Kesenian yang Sarat dengan Literasi
NURMAHDI NURDHA

FESTIVAL Seudati 2019 yang diselenggarakan di Pidie beberapa hari lalu telah menyebabkan tarian ini men­jadi trending dalam berbagai platform media sosial. Event kesenian tingkat provinsi ini diikuti oleh sanggar-sanggar yang berasal dari seluruh ka­bupaten/kota, menampilkan beragam gaya tari seudati se­suai dengan daerah yang diwa­kilinya, sehingga masyarakat Pidie berduyun-duyun datang dan menikmati indah dan di­namisnya tarian yang ditam­pilkan tersebut.

Kesenian tradisional yang ko­non berasal dari Pidie ini telah berkembang sejak masa penja­jahan. Tarian ini mampu meng­gugah semangat patriotisme masyarakat dengan syair-syair­nya. Itu sebab, Belanda pernah melarang pergelarannya. Sete­lah negara ini merdeka, barulah seudati kembali ditarikan.

Sebagai kesenian tradisional seudati selama ini tergolong jarang ditampilkan jika diban­dingkan dengan kesenian mo­dern yang dengan mudah bisa disaksikan di berbagai tempat sehingga seni tari ini kurang akrab di mata masyarakat, ter­utama kaum milenial. Ini sangat jelas terlihat saat pelaksanaan festival tersebut, di mana pe­nonton masih belum maksimal mengapresiasi setiap gerakan tarian yang ditampilkan. Bukti­nya, tepuk sorak dari penonton tak begitu menggempita.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, kesenian ini menyim­pan nilai yang sangat positif dan mencerdaskan bagi penikmat­nya, karena mampu menarasi­kan hal-hal yang bisa menam­bah wawasan penonton. Seuda­ti bisa berfungsi sebagai media sosialisasi terhadap fenomena yang sedang terjadi, tergantung bagaimana seorang ‘aneuk sya­hi’ menyampaikannya.

Tarian seudati karakternya sangat maskulin, karena dimain­kan hanya oleh kaum lelaki. Ter­diri atas delapan penari dengan mengenakan pakaian kaus le­ngan panjang berwarna putih, ce­lana panjang, dan dililitkan kain songket pendek di pinggang, serta memakai tangkulok di kepala.

Kedelapan penari tersebut, di atas panggung menyusun formasi parangkang empat, ya­itu formasi yang membentuk segi empat besar dan di dalam­nya terdapat titik segi empat yang lebih kecil.

Pemimpin kelompok tari yang disebut syeh, berada di salah satu titik paling depan di antara formasi itu. Syeh boleh melakukan improvisasi gerak­an tari, meskipun gerakannya akan berbeda dengan ang­gotanya yang lain. Syeh juga menjadi orang pertama yang menyahuti lantunan syair yang disampaikan oleh aneuk syahi yang kemudian langsung disambut anggota tari lainnya.

Di luar formasi, terdapat dua orang lagi yang berdiri di sisi kiri atau kanan barisan penari yang disebut dengan aneuk syahi. Tugasnya melantunkan syair selama tarian tersebut berlang­sung. Syair inilah yang mengen­dalikan setiap pergerakan tari­an sehingga cepat atau lambat gerakan tariannya ditentukan oleh tempo lagu yang disuara­kan aneuk syahi ini.

Seudati tidak menggunakan alat musik untuk memban­tu gerakan tariannya. Cukup dengan alunan syair secara verbal oleh aneuk syahi seba­gai pengendali gerakan tari. Selanjutnya, tepukan telapak tangan di bawah dada oleh pe­nari, jentikan jari tangan, dan sahut-sahutan sesama pena­ri di sela-sela lantunan syair aneuk syahi. Semua bunyi ini mampu membangun sebuah orkestrasi yang menghasilkan gabungan bunyi yang sangat harmonis dan enak didengar.

Gerakan yang seragam dari tarian ini bisa membuat kita terkesima melihatnya. Namun, alunan syairnya juga tak ka­lah menariknya. Selain enak di pendengaran, juga mengan­dung informasi yang mence­rahkan penonton. Di sinilah kemampuan literasi menen­tukan kualitas syair yang di­sampaikan dengan nada yang mengalun dan berpantun.

Biasanya, syair menyangkut informasi tentang profil asal-usul grup tari, dilantunkan se­bagai pembuka. Lalu dilanjut­kan dengan ungkapan sapaan kepada penyelenggara, penon­ton, dan unsur-unsur lain yang berkaitan dengan acara. Syair-syair berikutnya akan mengi­sahkan tentang fenomena yang lain sesuai dengan momentum acara yang sedang berlangsung. Dengan sendirinya anuek syahi harus memiliki koleksi syair de­ngan berbagai kisah yang ber­kaitan dengan momen-momen tertentu, di mana tarian ini se­ring dipentaskan.

Selama ini pementasan tari seudati masih terbatas pada acara-acara tertentu dan sifat­nya sangat formal. Syair yang dimiliki pun masih sangat ter­batas, sesuai dengan momen-momen tersebut. Beda halnya jika nanti tari seudati bisa me­nembus segmen yang lebih luas seperti halnya kesenian modern pada umumnya, maka tantang­an kreativitas aneuk syahi akan semakin besar. Dan jelas, ini membutuhkan penguasaan li­terasi yang mumpuni.

Bukan tidak mungkin tari ini mengisi panggung yang ada di kafe-kafe untuk menghibur pengunjung. Dengan mengk­reasikan tariannya untuk di­sesuaikan dengan kebutuhan, hal ini bisa menjadi alternatif dalam membendung serangan budaya pop yang berkembang sangat progresif. Jika ini terja­di, maka seorang aneuk syahi tak mungkin lagi eksis dengan syair-syair yang terbatas. Ia harus mampu membangun narasi baru yang bisa menja­wab aneka persoalan kekinian.

Bahkan, tarian serupa ada juga yang diperuntukkan bagi kaum perempuan yang dike­nal dengan tari laweut. Lawe­ut sifatnya sangat feminim. Yang membedakan keduanya hanyalah di beberapa karak­teristik, misalnya laweut dima­inkan oleh kaum hawa, tepuk dada pada seudati digantikan dengan tepuk paha, serta ira­ma syair pada laweut lebih lembut alunannya. Sedangkan pada seudati alunannya lebih terkesan garang. Kedua tarian ini sama-sama membutuh­kan kemampuan literasi un­tuk membangun narasi dalam menyampaikan pesan melalui syair pantunnya.

Kebanyakan masyarakat selama ini masih melihat tari seudati hanya sebagai kese­nian tradisional biasa sehing­ga fokus perhatiannya hanya tertuju untuk menikmati ke­indahan gerakannya. Namun, tak sedikit juga yang menik­mati tarian seudati dengan mendengar keindahan suara dari syair pantun yang diden­dangkan aneuk syahi. Apalagi jika dua buah grup seudati dipertandingkan (seudati tu­nang), maka mereka akan me­nyerang satu sama lain dengan syair-syair pantun yang kerap mengundang tawa penonton.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved