Uni Eropa tak Pernah Tolak Kopi Gayo
Pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI membantah kabar tentang adanya penolakan kopi arabika gayo
* Pengembangan Kopi Organik Harus Ditingkatkan
TAKENGON - Pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI membantah kabar tentang adanya penolakan kopi arabika gayo di pasar Uni Eropa, karena disebut-sebut mengandung residu racun rumput (herbisida) jenis glyphosat.
Hal tersebut terungkap dalam seminar Sosialisasi Kopi Arabika Organik yang berlangsung di Gedung Olah Seni (GOS), Takengon, Aceh Tengah, Sabtu (26/10/2019). Salah satu pemateri yang dihadirkan adalah Kasi Bidang Data dan Kelembagaan Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), Ebi Rulianti SP MSc.
Ebi Rulianti mengatakan, pihaknya telah berkomunikasi langsung dengan Atase Pertanian Indonesia (Atani) untuk Jerman, menanyakan kabar soal penolakan kopi arabika gayo tersebut. Informasi yang diperoleh bahwa tidak pernah ada penolakan terhadap kopi gayo organik, karena memang belum pernah ada pengiriman/ekspor kopi gayo organik ke Uni Eropa.
“Kondisi yang sebetulnya terjadi, UE (Uni Eropa) tertarik membeli kopi gayo organik, karena selama ini mereka membeli kopi gayo nonorganik,” ungkap Ebi.
Dia kemudian merinci ekspor kopi yang dilakukan oleh salah satu koperasi eksportir yang per tahunnya mencapai sekitar 970 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 65 persennya diekspor ke UE sebagai produk kopi nonorganik dan 35 persennya ke Amerika sebagai produk kopi organik. “Ekspor kopi ke UE itu nonoraganik, bukan kopi organik,” tandas Ebi Rulianti.
Dia mengingatkan, pasar Uni Eropa menekankan akan pentingnya precision farming, post harvest handling, dan juga soal food safety sebagai persyaratan mutlak. Kopi yang diterima harus memenuhi standar dan diuji secara ketat. Karena itu, lanjut Ebi, bila branding-nya kopi nonorganik, jangan diklaim sebagai kopi organik.
“Kepercayaan buyer (pembeli) dan pasar terhadap kopi arabika gayo harus kita jaga. Jangan mengklaim kopi arabika organik untuk kopi nonorganik, meski terhadap sampel kopi yang dikirim ke Uni Eropa,” ucap Ebi mengingatkan.
Menyahuti keinginan Uni Eropa terhadap pasokan kopi organik arabika gayo, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Kadistanbun) Aceh, A Hanan MM menjelaskan, pihaknya bersama kementerian terkait akan terus membantu petani kopi melakukan rehabilitasi tanaman kopi arabika yang luasnya sekitar 1.350 hektare. Baik melalui sekolah lapangan, teknologi terintegrasi kopi dengan ternak, dan bimbingan teknis petani kopi milenial untuk peremajaan kopi arabika.
“Rehabilitasi tanaman kopi itu sangat penting dan akan mengajak petani kopi milenial untuk mengembangkan kopi arabika organik yang sangat diminati kosumen kopi dunia,” tutup Hanan.
Sebelumnya saat pembukaan seminar, Plt Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah, dalam pidato sambutan yang dibacakan oleh Kadistanbun Aceh, menyayangkan mencuatnya kabar seakan-akan kopi gayo yang di pasarkan ke Uni Eropa ada yang tercemar residu herbisida jenis glyphosat.
“Bila isu ini terus berkembang, dikhawatirkan akan mempengaruhi citra Kopi arabika gayo dan menimbulkan sentimen negatif di pasar dunia. Kopi arabika merupakan salah satu komuditas kopi yang paling terkenal dari Tanah Gayo dan sudah berhasil menembus pasar kopi dunia,” katanya.
Nova menyebut, tak kurang dari 60 persen produksi kopi di Aceh Tengah dan sekitarnya telah berhasil dipasarkan di berbagai negara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia. Citra kopi gayo ini harus terjaga agar pasarnya tidak tergangu. “Mari kita jaga bersama citra kopi gayo agar pasarnya tidak terganggu,” ajak Nova.
Perbaiki kualitas
Lebih lanjut Nova mengatakan, meski kabar penolakan pasar terhadap kopi arabika gayo tidak benar sama sekali, namun upaya untuk memperbaiki citra kopi gayo harus dilakukan. Salah satu caranya adalah mengembangkan kopi organik dengan menggunakan pupuk alam. Pertanian organik menerapkan prinsip ekologi, keadilan, perlindungan alam, dan kualitas kopi pun sangat baik.