Kasus Perusakan Pangkalan Elpiji, Kisah Sedih Mursyidah dan Tuntutan 10 Bulan Penjara
Mursyidah, warga Gampong Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe dituntut 10 bulan penjara
Kejanggalan itu, sebut Fadli, antara lain saat proses penyelidikan, Mursyidah belakangan baru mendapat kuasa hukum karena ia mengaku tidak mengerti hukum. Bahkan, Mursyidah mengaku tidak bisa membaca, sehingga apapun surat yang disuruh teken, langsung ia tandatangani. “CCTV yang ada di toko tersebut tk dihadirkan ketika proses pemeriksaan alat bukti di persidangan. Padahal, CCTV itu bisa menjadi tambahan manifestasi dari alat bukti petunjuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti yang sah,” ujar Fadli.
Karena itu, sambung Fadli, BEM Fakultas Hukum Unimal meminta hakim PN Lhokseumawe untuk melihat kasus tersebut dengan ‘kacamata’ yang objektif dan profesional sebelum membacakan amar putusan yang dijadwalkan pada 5 November mendatang.
“Hakim harus menjadi corong undang-undang sesuai dengan azas Bouchedelaloi, bukan corong hal-hal lain apalagi menjadi corong kepentingan pihak-pihak tertentu. Hakim harus melihat nilai-nilai lain dari kasus ini, bukan hanya dari aspek yuridis. Namun dari aspek sosiologis juga,” pinta Fadli.
Karena itu, tambah Fadli, BEM Fakultas Hukum Unimal meminta majelis hakim PN Lhokseumawe agar memvonis bebas Mursyidah atau maksimal dijatuhi hukuman percobaan. Sebab, menurut Fadli, Mursyidah adalah rakyat miskin. “Rumahnya saja hampir roboh dan kesehariannya ia mencari nafkah dengan cara menjual kerupuk dan menjadi tukang cuci di rumah tetangga,” ungkapnya.
Apalagi, tambah Fadli, suami Mursyidah sudah meninggal dunia sekitar dua pekan lalu. “Beliau (Mursyidah) saat ini menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya meninggal dunia. Bagaimana nasib ketiga anak yatim itu bila Kak Mursyidah di penjara,” ulang Fadli. Karena itu, tambahnya, mahasiswa meminta majelis hakim sebagai perwakilan negara dalam kasus ini untuk membantu rakyat kecil yang tidak berdaya melawan ketidakadilan.
“Kami khususnya BEM Hukum Unimal akan mengawal kasus ini. Bila keadilan tidak didapatkan oleh masyarakat kecil, maka extra parliamentary sebagai cara perlawanan terakhir kami selaku mahasiswa akan kami lakukan untuk membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan warga miskin,” tegas Fadli.
Sebab, menurut Fadli, pada prinsipnya keadilan itu tidak terletak dalam undang-undang, tapi berada dalam hati nurani seperti yang disampaikan Profesor Bismar Siregar, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung. (saiful bahri)