Opini

Dari Janda Konflik ke Janda Sabee  

Saya keluar masuk kampung untuk mendalami mengapa shabu menjadi budaya baru di kalangan masyarakat Aceh

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Dari Janda Konflik ke Janda Sabee   
IST
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.     

 Baru-baru ini saya menyempatkan diri untuk mengunjui beberapa kawasan di Pantai Utara dan Timur provinsi Aceh. Saya keluar masuk kampung untuk mendalami mengapa shabu menjadi budaya baru di kalangan masyarakat Aceh. Salah satu temuan yang amat mengagetkan adalah ditemukan begitu banyak Janda Sabee. Mereka adalah istri-istri yang menjadi korban dari aktivitas jual beli sabu suami mereka. Ada suami yang sudah meninggal dunia. Ada pula suami yang masih mendeka di dalam penjara. Tidak sedikit pula yang menjadi korban kekerasan, karena suami pecandu sabee. Tentu saja, tidak menutup kemungkinan ada juga janda sabee yang meneruskan usaha suami mereka dalam jual beli shabu.

Fenomena Janda Sabee merupakan gejala baru dalam masyarakat Aceh. Jika sebelumnya, masyarakat banyak menemui janda konflik, maka dalam 10 tahun terakhir kemunculan Janda Sabee merupakan hal yang perlu dipahami dan didalami oleh siapa pun di provinsi ini. Tentu saja, para Panglima Sabee tidak menganggap akibat dari operasi jual beli sabee mereka akan merusak generasi muda Aceh. Filosofi "uang yang tidak bernomor seri" tentu telah menjadi tuhan baru bagi para Panglima Sabee. Mereka kebal karena memiliki "uang yang tidak bernomor seri" tersebut. Semua masalah dapat diselesaikan melalui penghasilan sabee.

Keberadaan Panglima Sabee dan pasukannya tidak jauh dari masyarakat. Terkadang pasukan Sabee menyamar sebagai teungku, tukang potong rumput, tukang ojek, jual ikan, dan berbagai akvifitas lainnya, untuk melancarkan operasi jual beli sabee ke seluruh penjuru Aceh. Ada pun SIM (Surat Izin Menjual) sabee mereka dapatkan dari Panglima Sabee, yang minim komunikasi secara fisik dan selalu menghabisi nyawa jika ada bawahannya yang berkhianat.  Keberadaan Panglima Sabee pun sangat boleh jadi, sesekali terbang ke Aceh atau berdiam ibarat mafia kelas kakap, di luar negeri.

Ibarat masa konflik, perempuan Aceh yang paling menderita batin dalam operasi jual beli sabee di Aceh. Ada mertua yang urut dada, karena menantunya kaya mendadak. Ada ibu yang berdoa supaya anaknya selamat dunia akhirat. Demikian pula, para istri yang terkadang harus menutup mulut, karena aktivitas mencari nafkah suami mereka. Semua drama kehidupan ini berada persis di hadapan masyarakat. Ketika ada rezeki, mereka rela menerima, sebagai akibat dari OKB (Orang Kaya Baru). Namun, tidak ada wajah bahagia di muka mereka, kendati rezeki tersebut jauh dari kata berkah.

Ketika ada suami, anak, dan menantu yang ditangkap, mereka sibuk menahan penderitaan. Jika ada baynah, maka dijual untuk "memudahkan" urusan hukum. Setiap pergerakan kasus, kecuali ditembak mati, sudah pasti ada harganya. Bagi para Panglima Sabee dan Komandan Wilayah Sabee, tentu tidak begitu sulit, karena dana di dalam brankas mereka melimpah ruah. Namun bagi Pasukan Sabee yang tidak memiki cadangan dana, maka pihak keluarga akan menjual harta demi "memudahkan" setiap langkah dalam urusan hukum.

Sekali lagi, di sini wanita Aceh diuji ketahanan jiwa dan mental mereka, akibat dari ulah para pebisnis sabee. Air mata berlinang ketika memohon agar suami, anak, dan menantu mereka kembali pada jalan yang benar. Namun juga, ada juga istri yang dijadikan sebagai objek kekerasan rumah tangga oleh "prajurit setia sabee." Para istri ditendang dan dipukul sebisanya. Karena akal sehat para prajurit sabee tidak lagi normal. Ada juga istri yang memandang dari jendela kehidupan, manakala dia tahu bahwa uang sabee digunakan untuk aktifitas politik suami mereka. Dalam hal ini, wanita Aceh memang menjadi saksi kunci di dalam kegiatan budaya sabee di Aceh.

Budaya sabee di Aceh memang sudah menjadi hal yang lumrah. Perlawanan masyarakat hanya sampai pada "bisik-bisik tetangga" saja. Budaya ini muncul dalam kesenyapan sosial masyarakat Aceh. Tidak ada perlawanan yang memadai. Bahkan takut jika para eksekutor Panglima Sabee turun tangan. Para eksekutor, sekali lagi, mereka adalah orang Aceh, tidak segan-segan akan menghabisi siapapun yang berani menghadang laju bisnis sabee. Suasana Aceh persis seperti di Amerika Latin. Para kartel mafia hidup bergelimangan harta dan tentu saja mereka "dilindungi" oleh kekuatan tertentu di kawasan Asia Tenggara.

Pola merusak masyarakat Aceh ini melebihi operasi konflik Aceh selama 30 tahun lebih. Dapat dibayangkan bagaimana wajah generasi Aceh di masa yang akan datang. Karena itu, sejatinya para Janda Sabee perlu diwadahi keberadaan mereka. Mereka harus berpikir keras bagaimana menjelaskan kegiatan suami dan ayah bagi anak-anak, yang ditinggal oleh para suami, baik yang masih di penjara, maupun yang sudah meninggal dunia.

Jika ayah anak mereka syahid di medan perang, tentu sang ibu tidak kelu lidahnya menceritakan ayah meninggal dunia. Namun, jika ayah anak-anak meninggal dalam operasi bisnis sabee, tentu sukar mencari kata-kata yang membanggakan bagi anak-anaknya. Karena sang ayah rupanya perusak akal sehat bagi anak-anak lainnya di penjuru Aceh.

Warisan dosa sabee inilah yang ditanggung oleh anak-anak para pebisnis sabee. Tentu saja, sang ibu atau istri tidak akan mendoakan agar anak-anak mereka untuk melanjutkan bisnis orang tua mereka. Para Panglima Sabee tentu tidak akan berpikir sejauh ini dalam bisnis mereka. Bagi mereka, "uang tidak bernomor seri" adalah tujuan akhir. Rintihan para Janda Sabee rupanya tidak begitu penting bagi nurani para Panglima Sabee. Adapun yang terpenting adalah bisnis harus tetap jalan, mati dan ditangkap, itu adalah resiko di dalam perjuangan merusak generasi muda Aceh.

Para pejuang sabee ini bukanlah orang asing. Mereka bisa jadi kerabat kita, guru kita, murid kita, kawan seperjuangan kita, bahkan saudara kandung kita. Para pejuang penghancur generasi muda Aceh bukan datang dengan membawa pasukan dari luar Aceh. Mereka hanya datang dengan "bungkusan maut" juga bagi saudara mereka sendiri. Jadi, proses saling membunuh model baru yang dikembangkan oleh para pejuang sabee di Aceh tinggal ditunggu kehancuran bumo endatu suatu saat.

Inilah ujung dari hasrat hati pada Panglima Sabee. Jika dulu kita dibunuh oleh orang lain yang datang dari luar Aceh. Maka sekarang pembunuh itu adalah saudara kita sendiri. Adapun yang pertama kali dibunuh adalah perasaan para wanita Aceh yang juga berada di sisi para pejuang sabee ini.

Dengan kata lain, para pembunuh persis berada di satu meja makan bersama kita. Mareka ibarat manusia yang menciptakan generasi zombie di Aceh. Artinya, Panglima Sabee yang berasal dari Aceh rupanya sedang menciptakan Aceh seperti dalam film-film zombie. Mereka ditakuti, tetapi jangan-jangan keberadaan mereka ada di sekitar kita. Begitulah wajah horor Aceh yang diciptakan oleh para Panglima Sabee dari Aceh.

Tentu saja artikel ini bukan ingin melarang niat para pejuang sabee di Aceh. Namun, hanya sekedar menjelaskan bahwa Anda sekarang menjadi orang nomor wahid yang membunuh keluarga Anda sendiri. Karena kekuatan meutalo wareh orang Aceh, pada prinsipnya tidak akan terpisahkan sampai kapanpun. Dalam bahasa yang sederhana, misi dan visi para pejuang sabee di sudut-sudut gampong, sebenarnya bukan menghasilkan "uang yang tidak bernomor seri", tetapi membunuh keluarga mereka sendiri. Adapun korban pertama adalah kekasih hati mereka, yaitu istri, ibu, dan ibu mertua Anda sendiri.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved