Jurnalisme Warga

Romantisme Selat Malaka

BERBICARA tentang Selat Malaka pastinya tidak asing lagi di telinga kita. Uraian historis tentang selat yang menjadi urat nadi perdagangan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Romantisme Selat Malaka
IST
HAKIM MUTTAQIM, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Almuslim, melaporkan dari Bireuen

OLEH HAKIM MUTTAQIM, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Almuslim, melaporkan dari Bireuen

BERBICARA tentang Selat Malaka pastinya tidak asing lagi di telinga kita. Uraian historis tentang selat yang menjadi urat nadi perdagangan dan mempertemukan para saudagar dunia pada abad lampau ini, sudah sering kita dengar, bahkan selalu mengisi relung waktu hingga kini. Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang sangat dikenal pedagang Arab, Cina , Eropa, Hindia, dan lainnya, bahkan menjadi tempat pertukaran dan persinggahan para pebisnis berabad silam.

Selat Malaka juga menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik melalui Laut Cina Selatan dan merupakan rute laut terpendek antara kawasan Timur Tengah sebagai daerah yang sangat strategis dalam kegiatan ekonomi. Barang-barang yang diperdagangkan melalui Selat Malaka, antara lain, tekstil, kapur barus (kamper), mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun, perak, emas, sutra, pecah belah, dan gula.

Sama halnya dengan gambaran di atas, tapi Selat Malaka yang satu  ini sangat indentik dengan historisitas Selat Malaka. Namun, nama Selat Malaka  yang saya maksud di sini merupakan nama sebuah warung kopi (warkop) yang  berada di lintas jalan nasional Medan-Banda Aceh, tepatnya di  Matangglumpang Dua, Kabupaten Bireuen.

Warkop Selat Malaka ini hampir sama historisitasnya dengan jalur pelayaran Selat Malaka. Meski terlihat sederhana, tapi warkop ini juga berada pada jalur yang sangat strategis. Ia juga mempertemukan berbagai elemen masyarakat yang menempuh jalur darat baik dengan bus, minibus, mobil pribadi, dan mobil barang yang lalu lalang dengan tujuan pulang pergi Banda Aceh ke Medan atau pun Takengon ke Medan, hampir pasti singgah dan menjadi pelanggan setia warkop ini.

Warkop yang terletak di Peusangan ini mengandalkan menu kuliner utamanya satai Matang yang sudah tersohor di dunia. Selain menu utama yang telah menjadi ikon Matangglumpang Dua tersedia juga menu utama lainnya yang tidak kalah rasa dengan satai Matang. Ada mi pangsit yang menawarkan kelembutan rasa, pesona lincah (rujak) khas Aceh yang membuat lidah ikut bergoyang, dan nasi gurih yang selalu sigap menyapa hangat pelanggan pada pagi hari.

Juga ada mi aceh dengan campuran daging atau pun udang serta kepiting tersaji 24 jam yang memancarkan aroma bikin penasaran pelanggan. Menarik juga dinikmati tarian khas pembuat martabak telur dan roti cane spesial khas Matang yang selalu berdendang bak penari menyapa kedatangan para pelanggan. Tersedia pula aneka jus alami segar untuk menghapus dahaga dan menyehatkan, didampingi oleh jajanan ringan khas Matangglumpang Dua buatan ibu-ibu.

Warung ini selalu menyapa 24 jam pelanggan bak pendamping setia dalam perjalanan jarak jauh, khususnya bagi para sopir dan para traveler  dari berbagai daerah.

Sesekali muncul pula penjaja ranup (sirih) yang dijajakan sekaligus dengan telur puyuh (boh puyoh) serta kuaci kepada pengunjung yang berdatangan silih berganti.

Warkop Selat Malaka yang berhadapan langsung dengan terminal baru Kota Matangglumpang Dua letaknya sangat strategis, karena berada pada jalur sangat strategis, sehingga menjadi tempat transit bagi traveler dan pebisnis yang melakukan aktivitas ke pusat Kota Banda Aceh maupun ke Provinsi Sumatera Utara.

Warkop yang berdiri sejak 14 tahun lalu itu juga menawarkan wisata instan Kota Matangglumpang Dua dengan alunan air irigasi dari perbukitan Bukit Barisan diiringi sejuknya angin sepoi-sepoi, serta hamparan sawah di bagian utara warkop. Semua ini menambah energi positif bagi mata yang telah berkerja cukup lelah.

Tidak hanya menawarkan kuliner dan menikmati kekhasan Kota Matangglumpang Dua saja, tetapi terdapat juga jasa refleksi yang siap dipanggil kapan saja hanya dengan menghubungi seperti yang tertera di papan informasi.

Warkop yang memiliki lahan parkir yang nyaman ini telah menjadi pusat silaturahmi warga dari berbagai elemen masyarakat lintas generasi. Semua kalangan hampir selalu mampir ke warung ini untuk merasakan kupi sareng, boh manok weng, dan timphan asoe kaya sambil berdiskusi. Kopi expresso  yang  lagi  hit  juga tersedia di sini dengan berbagai pilihan.

Sejauh yang saya amati, Warkop Selat Malaka ini telah bermetamorfosis menjadi semacam ruang intergrasi bagi semua kalangan. Ketika memasuki warung ini, embel-embel jabatan dan nama tenar hilang berbaur menjadi satu. Yang ada hanyalah kesederhanaan dan kesahajaan.

Warkop Selat Malaka didirikan oleh Haji Fauzi  13 tahun silam dengan berbagai strategi bisnis  sehingga mampu menyeimbangkan kemauan para konsumen milenial dan para lanjut usia yang menikmati sajian di Warkop Selat Malaka. Pengusaha yang sekaligus Kepala Desa Jangka Paya Bieng, Kecamatan Jangka, Bireuen ini selalu berupaya menciptakan rasa nyaman dan kepuasaan bagi pengunjung yang singgah di warung ini. Terbukti dengan pelayanan yang ramah dan prima, kondisi toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, serta mushala untuk laki-laki berada di tingkat dua, sedangkan perempuan di lantai dasar. Hal ini merupakan implementasi aspek syariah Islam yang kental yang merupakan roh dari halal tourism.

Keuchik energik yang lahir di Barat Lanyan tahun 1974 ini, menceritakan bahwa nama Selat Malaka itu merupakan mimpi masa lalunya yang terinspirasi dari historisitas jalur Selat Malaka. Hari ini sudah dia wujudkan dalam bentuk warkop yang berfungsi sebagai ruang integrasi, sebagai melting pot, tempat bertemunya beragam orang yang kemudian terkesan homogen.

“Kesederhanaan dan nilai-nilai islami selalu saya jaga dalam bisnis ini, tambahan untuk beramal dengan membantu ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat Peusangan Raya yang membuat saya selalu bahagia,” ujar lulusan D3 Keperawatan sebuah kampus di Banda Aceh ini.

Romantisme Selat Malaka yang menjadi kesan pengunjung di warung ini terbukti tanpa sengaja saya bertemu sahabat lama dari Banda Aceh yang saya hampir lupa wajahnya, tapi selalu ingat senyumnya. Maklum, 15 tahun kami tak bertemu, tanpa sengaja dipertemukan di Warkop Selat Malaka. Dayat, nama kawan saya itu, sang arsitek Masjid At-Taqarrub, masjid megah di Tringgadeng, Pidie Jaya yang diresmikan Presiden Jokowi, Desember tahun lalu di Banda Aceh.

Dayat baru pulang dari Medan menuju Banda Aceh bersama keluarga dan ingin singgah dan rehat sejak di warkop ini. Ia tertarik mampir ke warkop ini karena referensi dari adiknya yang telah menjadi pengunjung setia Warkop Selat Malaka saat pulang pergi Banda Aceh-Medan.

Obrolan hangat kami berdua melengkapi kenyamanan anggota keluarganya dalam menikmati berbagai sajian di Selat Malaka, begitu juga suasana yang ramah dan sederhana untuk keluarga, ditambah begitu lama kami tidak berjumpa, dan  bersenda gurau sambil menikmati lembutnya satai dan manisnya kopi setel. Romantisme yang dihadirkan Warkop Selat Malaka bagi kami mungkin juga dirasakan oleh pengunjung yang lain.

Warkop Selat Malaka merupakan romantisme bagi hampir seluruh driver dan traveler yang bepergian melintasi jalan Medan-Banda Aceh. Ada ruang rindu yang mendalam bagi yang sudah melangkah ke Warung Selat Malaka ini untuk berupaya mampir lagi.

Ketika melangkah ke dalam warung ini semua embel-embel jabatan hilang seketika bak ruang rakyat jelata yang penuh kesederhanaan. Bagi yang belum pernah berkunjung ke Warung Selat Malaka di Matangglumpang Dua, ada satu tulisan menarik yang penuh filosofi terpampang dalam warung ini, yakni: Belajarlah dari jam dinding. Penasaran dengan kata-katanya? Jangan lewatkan kesempatan berkunjung dan merasakan romantisme Selat Malaka.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved