KUPI BEUNGOH

Menjaga Semangat Helsinki, Menjamin Keadilan OTSUS Aceh

Tanpa MoU ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tak mungkin lahir.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Muhammad Suhail Ghifari, Tenaga Ahli DPR RI dan Research Assistant, Department of Political Science, The National University of Malaysia. 

Oleh : MUHAMMAD SUHAIL GHIFARI *)

“Aceh sudah membayar mahal untuk perdamaian. Kini revisi UUPA jadi penentu: apakah janji Helsinki masih dijaga, atau kekhususan Aceh tinggal simbol?”

Gelombang perdamaian yang kita nikmati di Aceh hari ini tidak pernah lahir dari ruang kosong.

Ia tumbuh dari sejarah panjang konflik bersenjata selama tiga dekade yang menelan ribuan korban jiwa, meluluhlantakkan tatanan sosial, dan menjerumuskan Aceh dalam lingkaran kemiskinan.

Perdamaian itu dirajut melalui Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005, hasil perundingan panjang yang melibatkan negara, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta pihak ketiga, Martti Ahtisaari.

Tanpa MoU ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tak mungkin lahir.

Kini, hampir dua dekade kemudian, DPR RI melalui Badan Legislasi telah resmi memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UUPA ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2026.

Keputusan itu diambil dalam rapat pleno bersama pemerintah dan Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI pada 18 September 2025.

Langkah ini menandai fase baru, bukan sekadar perubahan pasal-pasal, melainkan sebuah momentum untuk memperbarui komitmen negara terhadap perdamaian dan keadilan di Aceh.

Fondasi Perdamaian dan Kekhususan Aceh

Konflik Aceh berakar jauh sebelum MoU Helsinki. Pada dekade 1950-an, Aceh menjadi bagian dari pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menuntut penerapan syariat Islam.

Meski berakhir pada 1960 dengan pemberian status daerah istimewa, benih perlawanan tidak sepenuhnya padam.

Ketika GAM diproklamasikan oleh Hasan di Tiro pada 1976, alasan utamanya adalah ketidakadilan ekonomi.

Aceh yang kaya gas dan minyak merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat.

Puncak kekerasan terjadi saat Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989. Ribuan orang tewas, ribuan lainnya mengalami penyiksaan, dan luka sosial meninggalkan trauma kolektif hingga kini.

Tsunami 26 Desember 2004 menjadi titik balik.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved