Jurnalisme Warga
Mengukur Peradaban dengan Traffic Light
Perkembangan dunia otomotif yang sangat pesat belakangan ini mengakibatkan melonjaknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi

OLEH NURMAHDI NURDHA, disainer grafis dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Pidie, melaporkan dari Sigli
Perkembangan dunia otomotif yang sangat pesat belakangan ini mengakibatkan melonjaknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Lonjakan ini telah melahirkan masalah sosial baru dan memberi pengaruh besar terhadap tatanan kehidupan dalam masyarakat, terutama dalam berlalu lintas. Untuk menyiasati tata tertib dalam berlalu lintas, negara telah menghadirkan berbagai regulasi untuk menata pergerakan masyarakat dalam berkendara di jalan umum. Lampu lalu lintas (traffic light) adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Kehadiran lampu lalu lintas ini sejatinya untuk menata ketertiban berlalu lintas di setiap persimpangan jalan yang dianggap rawan kecelakaan. Lampu ini fungsinya untuk menentukan jatah waktu penggunaan jalan, sehingga pengendara yang memanfaatkan jalan di tempat yang rawan ini hanya dari satu arah saja. Dalam jangka waktu tertentu lampu ini menggilir jatah waktu untuk setiap penjuru dari persimpangan tersebut. Lampu ini dijalankan secara otomatis dan jeda waktu yang diberikan disesuaikan dengan jumlah simpang yang terdapat pada persimpangan dan volume kendaraan yang melintas.
Di Sigli hingga kini terdapat hanya lima titik persimpangan yang disediakan sarana lampu lalu lintas. Namun, yang berfungsi hanya tiga titik, yaitu di simpang empat bundaran dekat Terminal Terpadu, depan Kantor Satlantas di pusat kota, dan di simpang masuk jalan lingkar depan Kantor Pemadam Kebakaran. Sedangkan dua tititik lagi, yaitu di simpang pasar Pekan Pidie dan simpang Keunire, semenjak dipasang hingga kini belum pernah difungsikan. Padahal, tingkat kerawanan kecelakaan di tempat ini tergolong tinggi.
Dari jumlah titik lampu lalu lintas yang tersedia, bisa memberi gambaran kepada kita bahwa Sigli hanyalah sebuah kota kecil. Berbeda dengan beberapa kota lain di Aceh, terutama Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi. Di kota provinsi ini terdapat sangat banyak titik lampu lalu lintas dan menyebar hingga ke setiap pelosok kota. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan lalu lintasnya telah merata ke setiap sudut kota yang menjadi destinasi dari masyarakat di seluruh provinsi untuk berbagai kepentingan ini.
Di Sigli, dari tiga titik lampu lalu lintas yang aktif, hanya di satu titik yang tingkat kepatuhan para pengendara tergolong tinggi. Yaitu di bundaran simpang empat dekat terminal. Sedangkan di simpang jalan lingkar dan simpang depan Kantor Satlantas Pidie, tingkat kedisiplinan pengendara dalam mematuhi rambu ini tergolong sangat rendah. Belum ada data berupa hasil survei yang bisa memberi gambaran tentang sebab rendahnya tingkat kepatuhan ini. Padahal, selama ini sangat terasa bahwa berkendara di tengah kesemrawutan di persimpangan ini sungguh tidak mendapatkan kenyamanan. Bahkan lebih miris lagi, saat ada pengendara yang mematuhi rambu ini dengan tertib, pada waktu yang sama pengendara yang lain melintas dengan melanggar isyarat rambu, tanpa menghiraukan para pengendara yang sedang berhenti karena patuh.
Fenomena ini kembali mengingatkan saya pada sebuah kota yang pernah saya kunjungi beberapa tahun silam, yaitu Calgary di Kanada. Di ibu kota provinsi Alberta ini lampu lalu lintas tidak hanya mengatur pengguna kendaraan bermotor, tetapi pejalan kaki juga ikut ditertibkan dengan rambu ini. Jumlah waktu yang sediakan dan sanksi yang akan dikenakan pun sama antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki. Di sini pejalan kaki tidak boleh menyeberangi jalan di sembarang tempat, karena telah disediakan zebra cross pada setiap titik lampu lalu lintas. Dari warga Pidie yang telah menetap di sana, saya mendengarkan penjelasan tentang ketegasan Pemerintah Kota Calgary dalam menindak setiap pelanggaran yang terjadi di jalan raya, terutama menyangkut dengan ketertiban di lampu lalu lintas. Amatlah mudah bagi petugas untuk menindak karena setiap pergerakan warga di jalan raya terekam oleh kamera pemantau.
Saya tidak bermaksud ingin membandingkan tatanan kota negara maju yang letaknya sangat jauh ini dengan keadaan di tempat kita. Lagi pula sekarang kota-kota besar lainnya, bahkan di Indonesia pun sudah memiliki fasilitas penertiban yang sama seperti ini. Calgary menjadi menarik karena tingkat kepatuhannya yang tergolong sangat tinggi. Sedangkan fasilitas serupa yang diberlakukan di kota-kota besar di Indonesia, fungsinya tidak semaksimal seperti yang terjadi di kota peternakan sapi ini.
Di tempat kita tingkat kepatuhanya masih sangat rendah dan setidaknya pejalan kaki belum mampu disejajarkan penertibannya dengan pengendara kendaraan bermotor. Fakta ini menjadi salah satu indikator bahwa warga negara di sana peradabannya sudah sangat tinggi. Terbukti dari cara mereka menjalankan kehidupan dalam kesehariannya. Setiap peraturan yang ditetapkan selalu dipatuhi dengan penuh kesadaran sehingga keadaan Calgary terlihat sangat teratur dan bersih. Tidak ada satu pun kegiatan masyarakatnya yang mengganggu kenyamanan bagi yang lainnya. Semua tenaga kerja yang ada, dipastikan tercatat dalam database pemerintah kota. Di sana juga tidak ditemukan satu pun unit kegiatan usaha masyarakat yang berstatus tidak legal. Semua kegiatan usaha masyarakat tercatat dan terdaftar, termasuk setiap pekerja yang terlibat dalam usahanya, walaupun skala ushanya hanya sebesar kios kecil. Karena memang letaknya harus di tempat yang telah ditentukan.
Peradaban masyarakat sangat berkaitan dengan perilaku dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang memiliki peradaban yang lebih tinggi, biasanya memiliki tatanan kehidupan yang lebih teratur, saling menghargai satu sama lain. Setiap sendi kehidupan menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan. Sebaliknya, jika peradaban masyarakatnya masih pada tingkatan yang rendah, maka bisa dipastikan bahwa kesemrawutan kehidupan terjadi di mana-mana. Tidak mudah mendapatkan tempat yang nyaman dan menyenangkan. Semua sisi kehidupan selalu harus ada yang menang dan yang kalah. Kekerasan di dalam masyarakat kerap kali terjadi, terutama kekerasan verbal. Potret inilah yang menjadi gambaran di dalam kehidupan masyarakat kita selama ini, jika dilihat dari sisi sosiokultural.
Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali kita harus beranjak dari keterbelakangan peradaban ini. Karena generasi yang akan datang harus memiliki kompetensi dalam merambah kehidupan yang semakin mendunia dewasa ini. Interaksi antarmanusia tidak lagi dibatasi oleh teritorial. Oleh karena itu, mari kita benahi perspektif generasi muda agar bisa mensejajarkan diri dengan warga dunia yang lain. Mulailah tertib dan patuh terhadap aturan di jalan raya, karena ia menjadi indikator penting dari peradaban manusia modern.