Kemah Tsunami di Aceh Barat
Napak Tilas Sambil Menjalin Tali Silaturahmi
Sebuah desa di kawasan pesisir sebelumnya memiliki kehidupan yang lumayan ramai penduduknya
Sebuah desa di kawasan pesisir sebelumnya memiliki kehidupan yang lumayan ramai penduduknya dari zaman ke zaman. Desa itu bernama Desa Pante Mutia, Kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat. Kini desa tersebut hanya tinggal kenangan lantaran ratusan nyawa hilang pada 26 Desember 2004 silam, akibat diterjang gelombang tsunami yang begitu dahsyat.
Dalam tragedi tersebut, sekitar 142 nyawa hilang setelah Desa Pante Mutia diporak-poradakan oleh bencana yang menggegerkan dunia. Semua bangunan dan rumah penduduk disapu bersih oleh gelombang besar yang tidak menyisakan bekas. Parahnya kerusakan di desa tersebut karena lokasinya berada dekat pantai dengan jarak sekitar 3 kilometer dari jalan nasional ke arah laut, berdekatan pada perbatasan Aceh Barat dengan Aceh Jaya.
Pada saat tsunami 15 tahun silam itu, ada sebagian penduduk Desa Pante Mutia yang selamat karena mereka tidak berada di tempat saat kejadian. Sebagian penduduk desa itu yang selamat kini berpencar ke berbagai daerah membangun kehidupan baru. Ada juga yang direlokasi ke daerah lain masih dalam kawasan Kecamatan Arongan Lambalek untuk menempati permukiman yang dibangun pemerintah.
Meskipun mereka dipisahkan oleh bencana tsunami, namun kini telah dibangun sejarah baru untuk anak cucu dan generasi sekarang, di mana mereka yang masih hidup semuanya tetap bisa bertemu dalam silaturahmi dan doa bersama di tanah kelahiran mereka. Ini tak lepas dari inisiatif warga di mana setiap peringatan tsunami, bagi penduduk asli Desa Pante Mutia membangun sebuah tenda atau kemah dengan ukuran sekitar 2x3 meter bertiang bambu dan beratap terpal plastik. Kemah-kemah tersebut dibangun berjejer di kawasan yang terkena gelombang tsunami untuk tempat mereka berteduh semalam saja. Selam bermalam di kemah, para warga berzikir dan doa kepada keluarga dan saudara mereka yang telah meninggal di desa tersebut, baik akibat bencana tsunami atau pun yang telah lebih awal tiada.
“Hanya doa yang bisa kami kirim kepada mereka yang telah tiada akibat bencana tsunami, semoga Allah mengampuni saudara dan keluarga kami semua. Doa dan zikir bersama ini juga mengikatkan kami dalam silaturahmi, meski penduduk kita saat ini telah berpencar ke berbagai daerah, akan tetapi pada peringatan tsunami kami berjumpa lagi,” ungkap Karmizar, Keuchik Pante Mutia, Kecamatan Arongan Lambalek kepada Serambi, Kamis (26/12/2019) malam, di sela-sela kegiatan doa dan zikir bersama.
Karmizar menjelaskan, setiap peringatan tsunami warga membangun satu unit kemah untuk masing-masing keluarga. Meski daerah itu diguyur hujan dan angin kencang, tukas dia, warga tetap tidak akan meninggalkan lokasi tersebut dan mengisi malam peringatan tsunami dengan melaksanakan shalat berjamaah, zikir, doa bersama, yang diawali dengan tausiah.
“Tahun ini, kegiatan doa dan zikir pada peringatan tsunami ke-15 dipimpin langsung Ketua MPU Aceh Barat dan sejumlah tokoh agama lainnya. Kemah tsunami ini diikuti para warga yang datang dari berbagai daerah, seperti dari Banda Aceh, Meulaboh, Aceh Jaya, dan sejumlah daerah lainnya. Mereka semua penduduk asli Desa Pante Mutia yang saat ini telah berpencar pasca tsunami,” ungkap Karmizar.
Di lokasi desa bekas tsunami tersebut, terangnya, kini telah dibangun sebuah monumen nama-nama korban tsunami yang berjumlah sekitar 142 orang. “Di samping monumen, juga dibangun sebuah tugu besar. Hal itu dilakukan untuk mengukir sejarah untuk anak cucu dan para warga yang masih hidup saat ini. Insya Allah, aktifitas kemah tsunami akan terus berlangsung setiap tahun,” tandas Karmizar seraya memaparkan bahwa lokasi desa bekas tsunami itu kini telah berubah menjadi lahan perkebunan dan pertanian, sedangkan penduduk tidak ada lagi yang tinggal di daerah itu.(Sa’dul Bahri)