Operasional BPMA Terganjal Permen 40 Peraturan dari Pusat Perlu Direvisi

Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) menyampaikan beberapa kendala yang mereka hadapi saat operasional dalam pertemuan dengan ketua

Editor: bakri
Super Ball/Feri Setiawan
La Nyalla Mattaliti 

BANDA ACEH - Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) menyampaikan beberapa kendala yang mereka hadapi saat operasional dalam pertemuan dengan ketua dan anggota DPD RI di ruang rapat BPMA, Banda Aceh, Kamis (2/1/2020). Menurut BPMA, ada peraturan menteri (Permen) dan lembaga yang isinya belum sesuai dengan kewenangan yang dimiliki BPMA seperti tercantum dalam PP 23 Tahun 2015, yang merupakan aturan lanjutan dari UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

"Hasil inventarisir kami, ada 40 peraturan kementerian dan kelembagaan terkait lainnya, termasuk tujuh aturan baru yang isinya belum sejalan dengan kewenangan BPMA yang terdapat dalam PP 23 Tahun 2015," kata Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran BPMA, Afrul Wahyuni pada pertemuan dengan Ketua DPD RI, La Nyalla Mattaliti, Kamis kemarin.

Pertemuan itu turut diikuti Ketua BPMA, Teuku Muhammad Faisal, serta anggota DPD RI dari Aceh, Abdullah Puteh, Sudirman atau Haji Uma, dan Fadhil Rahmi. Juga hadir anggota DPD dari daerah lainnya plus Rektor Unsyiah, Prof Dr Samsul Rizal M.Eng, Staf Ahli Gubernur Bidang Kerjasama, Kamaruddin Andalah, dan sejumlah pejabat lainnya.

Afrul Wahyuni menjelaskan, dalam PP 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, tugas dan fungsi BPMA itu hampir sama dengan tugas dan fungsi SKK Migas. Kalau SKK Migas, urainya, mencakup pengelolaan migas secara nasional, sedangkan BPMA hanya terbatas pada wilayah Aceh saja.

“Tapi, karena dalam 40 Permen termasuk tujuh buah aturan Kementerian ESDM yang baru keluar belum menyebutkan nama BPMA selaku pengelola migas di wilayah Aceh, ini membuat BPMA terkendala saat pengambilan keputusan dengan pihak perusahaan tambang migas,” ulasnya. Untuk itu, ia meminta, Ketua DPD dan anggotanya membantu menyelesaikan masalah BPMA di tingkat pusat.

Pada bagian lain, Kepala BPMA T Muhammad Faisal menyebutkan, di Aceh saat ini ada 13 perusahaan migas nasional, swasta nasional, swasta asing, dan asing yang beroperasi. Lima di antaranya, beber dia, sudah melakukan dan akan eksplorasi produksi, yaitu PT Medco E&P Malaka, Triangle Pase INC, PHE NSB, Pertamina EP, dan PT Zaratex. “Sedangkan yang baru eksplorasi adalah, KRX SBA Elang Energy, Talisman Andaman, dan PT Aceh Energi. Empat lainnya sedang joint studi, di antaranya Repsol, Conrad Petroleum, serta Jade Stone,” bebernya.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Nyalla Mattalitti menyatakan, misi kunjungan pihaknya ke Aceh adalah untuk mengangkat masalah daerah guna dituntaskan di pusat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, eks Ketua Umum PSSI ini mempersilakan BPMA menyampaikan ganjalan regulasi yang mereka hadapi kepada Komite II DPD RI yang membidangi masalah migas.

“Wakil Ketua DPD adalah Ir Abdullah Puteh dari Aceh. Empat orang anggota DPD RI dari Aceh juga menjadi wakil ketua komite di DPR RI, jadi mereka harus memperjuangkan masalah daerahnya di tingkat nasional, bukan menjadi penonton. Kita siap membantunya,"tegas La Nyalla.

Terkait keluhan BPMA yang terganjal Permen dalam operasional mereka, Ketua DPD RI menekankan, pihaknya akan membawa persoalan itu ke pusat dan akan memanggil menteri terkait. “Kita akan panggil Menteri ESDM yang baru itu, kenapa masalah ini sudah lima tahun berjalan, belum dituntaskan. PP 23 Tahun 2015 itu yang lahirkan pusat, bukan Pemerintah Aceh. Masak isi dari turunan kelembagaan BPMA nya tidak diselaraskan dengan isi aturan kementerian yang lama maupun yang baru. Ini tidak boleh terjadi " pungkas La Nyalla Mattalitti.(her)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved