Pengamat: Memalukan, Anggota Dewan Tapi Bermental Preman  

Kericuhan yang terjadi dalam rapat paripurna DPRA dengan agenda penetapan Alat Kelengkapan Dewan (AKD)

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/SUBUR DANI
Taufiq A Rahim 

BANDA ACEH - Kericuhan yang terjadi dalam rapat paripurna DPRA dengan agenda penetapan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) pada Selasa malam (31/12/2019) lalu mendapat kritikan yang cukup tajam dari pengamat politik Aceh, Taufiq A Rahim. Ia mengatakan bahwa itulah gambaran memalukan dari elite politik di legislatif Aceh.

Kritikan itu ia sampaikan saat menjadi narasumber di Program Cakrawala Serambi FM yang mengangkat judul 'Baru Mulai Bekerja DPRA Sudah Ricuh', Kamis (2/1/2019). Program itu dipandu oleh penyiar Eka Nataya dan ikut menghadirkan narasumber internal News Manajer Serambi Indonesia, Bukhari M Ali.

"Selama tiga bulan dilantik, ternyata mereka tidak bekerja. Begitu bekerja, baru setingkat mengurus alat kelengkapan dewan saja mereka sudah ricuh,” pungkas Taufiq.

“Artinya, mereka tidak paham siapa diri mereka? Kan ini jadi tanda tanya besar. Mereka itu ngerti politik apa nggak? Berpolitik yang santun, beretika, dan sebagai elite, sehingga tidak melakukan hal-hal yang memalukan di gedung dewan yang sakral itu," pungkasnya lagi.

Menurut Taufiq, perilaku yang diperlihatkan para anggota dewan dalam kericuhan kemarin merupakan perilaku preman. Perilaku seperti itu seharusnya ditinggalkan dan tidak perlu ditunjukkan, bahkan tidak perlu terjadi dalam sidang paripurna.

"Kalau masih ada mental preman, ngapain duduk di DPRA. Harusnya kalau ada masalah, misalnya tidak proporsional karena ada penumpukan anggota dewan di Komisi V dan VI, semestinya mereka itu memberikan argumentasi tidak sesuai, bukan justru membuat kericuhan, apalagi sampai buka jas segala. Harusnya mereka itu malu," cecar Taufiq.

Dengan kejadian tersebut, lanjutnya, publik akan kembali bertanya bagaimana ceritanya sehingga para anggota dewan tersebut bisa terpilih. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa dalam Pemilu kemarin marak terjadi politik uang, dan sayangnya tidak ada tindakan apapun dari pihak-pihak yang berwenang.

"Saya pikir anggota DPRA ini harus sadar, jangan dibodoh-bodohin, apalagi terlambat mengurus rumah tangga sendiri. Ini kan persoalan serius. Jadi, tiga bulan ini apa aja yang mereka urus. Apa selama ini mereka gamang, dinina bobokkan, alasan pansuslah dan sebagainya? Seharusnya mereka itu bekerja 24 jam untuk rakyat," pungkas Taufiq A Rahim.

Ia juga menyayangkan ketidaktegasan pimpinan sidang sehingga membuat rapat penetapan AKD menjadi deadlock hingga batas waktu yang tidak ditentukan. “Seharusnya pimpinan sidang itu tegas, punya wibawa sebagai pimpinan. Tapi inilah gambarannya. Inilah contoh pimpinan DPRA yang sangat tidak etis, tidak ada kewibawaan dan sangat memalukan," cecarnya lagi.

Sementara Anggota DPRA, Bardan Sahidi yang turut diminta pendapatnya kemarin menjelaskan, dari proses pelantikan anggota DPRA 28 Agustus 2019 lalu, hasil  pengumuman KIP Aceh tentang peroleh kursi ada 81 anggota dewan yang terpilih. Nah, dari jumlah 81 tersebut, empat di antaranya, 1 pimpinan dan tiga wakil. Dari sisa 77 anggota dewan inilah yang seharusnya dibagi keenam komisi, yang berarti masing-masing komisi terdiri dari 12 sampai 13 orang.

Tapi realitasnya tidak demikian. Politikus PKS ini mengungkapkan, Komisi I hanya berjumlah 10 orang, begitu juga dengan komisi II sebanyak 11 orang.  Tapi, di sisi lain, seperti Komisi V dan VI justru jumlahnya mencapai 15 sampai 17 orang. Inilah yang menjadi permasalahan. "Kami sendiri juga menyayangkan hal itu, akhirnya kita menjadi bersekat-sekat, berdasarkan kepentingan-kepentingan," ujar Bardan.(mir)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved