Kisruh di DPRA Makin Panas, Fraksi Non-KAB Boikot Rapat Bahas Masalah AKD
Kisruh di DPRA terkait Alat Kelengkapan Dewan (AKD) semakin memanas. Setelah sebelumnya rapat penetapan AKD berakhir
BANDA ACEH - Kisruh di DPRA terkait Alat Kelengkapan Dewan (AKD) semakin memanas. Setelah sebelumnya rapat penetapan AKD berakhir dengan kericuhan, kali ini empat dari sembilan fraksi memboikot rapat yang diagendakan Ketua DPRA, Senin (6/1/2020) pagi kemarin.
Keempat fraksi itu adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB-PDA. Keempat fraksi ini tidak bergabung dalam Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) jilid II pimpinan Muzakir Manaf alias Mualem.
Berbeda dengan fraksi-fraksi yang partainya tergabung dari Koalisi KAB Jilid II, dimana semuanya hadir. Seperti Ketua Fraksi Partai Aceh, Tarmizi, Ketua Fraksi PNA, Safrizal alias Gam-Gam, Ketua Fraksi PAN Muchlis Zulkifli, Ketua Fraksi Partai Gerindra Abdurrahman Ahmad, dan Ketua Fraksi PKS Zaenal Abidin.
Akibat ketidakhadiran keempat fraksi tersebut, rapat kemarin batal terlaksana. Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin, saat dikonfirmasi mengatakan, rapat seharusnya dimulai pada pukul 09.30. Namun karena ada empat fraksi yang tidak hadir, rapat ditunda ke Selasa (7/1/2020) hari ini.
"Iya tadi ada rapat. Hasilnya, selain mencari solusi (atas kisruh kemarin) juga menjadwalkan ulang rapat paripurna AKD yang terskor kemarin," katanya.
Rapat kemarin dipimpin sendiri oleh Dahlan, karena tiga wakil ketua DPRA lainnya, yaitu Dalimi dari Partai Demokrat, Hendra Budian dari Golkar, dan Safaruddin dari Gerindra tidak hadir. Khusus Safaruddin, saat ini sedang melaksanakan ibadah umrah. Sedangkan Dalimi dan Hendra Budian menurut informasi tidak diundang dalam rapat.
Hal ini lah yang membuat suasana menjadi semakin panas. Informasi yang diperoleh Serambi, Dahlan tidak berkoordinasi dengan Dalimi dan Hendra Budian saat membuat agenda rapat dengan para ketua fraksi. Dahlan disebut-sebut hanya berkoordinasi dengan Safaruddin, sehingga muncul dugaan koordinasi itu tidak dilakukan karena Damili berasal dari Partai Demokrat dan Hendra Budian berasal dari Partai Golkar.
"Fraksi PPP tidak ikut rapat karena saat penjadwalan rapat pimpinan dengan ketua fraksi, oleh pimpinan DPRA tidak mengkomunikasikan dengan seluruh pimpinan DPRA," kata Ketua Fraksi PPP, H Ihsanuddin MZ SE MM saat dikonfirmasi Serambi, Senin (6/1/2010).
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Fraksi Demokrat HT Ibrahim, Ketua Fraksi Golkar Ali Basrah, dan Fraksi PKB-PDA Tgk H Syarifuddin. Ibrahim mengatakan, salah satu alasan pihaknya tidak hadir karena rapat dengan para pimpinan fraksi itu tidak didahului oleh rapat pimpinan DPRA.
"Pimpinan itu kolektif kolegial, tapi tidak dirapatkan dengan pimpinan. Kemudian rapat ini membahas masalah hari itu (yang ricuh), ini masih panas, sementara pimpinan tidak dilibatkan, kan tidak benar itu. Ini ingin mengambilalih sebelah pihak, nggak boleh seperti itu, kami dari Demokrat tidak haus kekuasaan, kami hanya perlu kedamaian dan kebersamaan," pungkasnya.
Sedangkan Ali Basrah mengaku sedang di daerah pemilihan (dapil) ketika rapat itu digelar. Ia menjelaskan, setelah rapat paripurna pada Selasa (31/12/2019) lalu ia langsung bertolak ke Aceh Tenggara (Agara). Sementara surat terkait rapat kemarin ia terima dua hari sebelumnya, tepatnya Sabtu (4/1/2020) yang dikirim melalui WhatsApp.
Sementara Ketua Fraksi PKB-PDA, Syarifuddin menyatakan alasan ketidakhadiran karena pihaknya sudah mendistribusikan nama-nama anggota fraksi ke sejumlah AKD dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu, dan itu tidak akan berubah lagi. Karena itu, pihaknya merasa tidak ada kepentingan untuk hadir di rapat.
Beretika dikit lah
Perihal tidak adanya koordinasi ini juga dibenarkan oleh Wakil Ketua DPRA, Dalimi dan Hendra Budian. Dalimi yang dikonfirmasi Serambi mengatakan, ia tidak hadir rapat karena selain ada kegiatan di luar, juga karena tidak adanya koordinasi antarsesama pimpinan dewan.
"Bagi saya minimal dikomunisikanlah, untuk apa rapat itu, apakah kami ada masukan-masukan yang penting. Inikan sudah memveto kalau gini. Bagi saya tidak elok. Beretika dikitlah, kalaupun saya tidak ada, Hendra tidak ada, telepon. 'Bang kami mau gini-gini, gimana?' Saya kan tinggal menjawab, 'Ok lanjut bagaimana kemauan'," katanya.
Sementara Hendra Budian mengaku sangat memahami kondisi yang dihadapai Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin sehingga ia tidak dikoordinasikan saat membuat rapat dengan ketua fraksi. Di mana saat ini sudah memasuki tahun 2020 atau sudah tiga bulan anggota DPRA dilantik tapi belum memiliki alat kelengkapan.
"Kita memahami kegelisahan Ketua DPRA untuk segera mencari solusi menyangkut pembentukan AKD. Tapi kami melihat momentumnya belum tepat, biarlah semua cooling down dulu sejenak, sampai semua pihak bisa duduk bersama dengan kepala dingin agar dapat menemukan solusi terbaik bagi DPRA," katanya.
Seperti diketahui, rapat paripurna dengan agenda penetapan AKD di DPRA, pada Selasa (31/12/2019) lalu berakhir ricuh. Kericuhan diduga karena Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar ingin menguasai pimpinan komisi V dan VI yang sebelumnya akan diambil oleh Fraksi PNA dan Fraksi PKS.
Suasana rapat mulai tidak kondusif setelah Sekretaris Dewan (Sekwan), Suhaimi, membacakan distribusi anggota dewan dari masing-masing fraksi di DPRA ke dalam alat kelengkapan seperti Komisi, Badan Legislasi (Banleg), Badan Musyawarah (Banmus), dan Badan Anggaran (Banggar).
Setelah itu, sejumlah anggota DPRA terlihat berbicara dalam suara keras, bahkan empat anggota dewan maju menghampiri meja pimpinan dewan. Mereka memprotes pendistribusian anggota dewan dari partai non-KAB jilid II, seperti Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, dan Fraksi PPP yang tidak menyebarkan anggotanya secara proporsional atau merata dalam komisi.
Partai Demokrat dan PPP menempatkan anggotanya di komisi V masing-masing sebanyak tiga orang, sedangkan Partai Golkar menempatkan tiga anggotanya di komisi VI. Skema itu dilakukan dengan target dua dari tiga partai nasional itu bisa mendapatkan pimpinan komisi dalam proses pemilihan ketua.
Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin yang dihubungi Serambi mengaku sudah menyampaikan agenda rapat kepada semua pimpinan DPRA dan pimpinan fraksi.
"Itu masalah normatif saja, tidak perlu dicari-cari kesalahan. Undangan tersampaikan semua dan terkonfirmasi," kata Dahlan.
Sebagai pimpinan DPRA, Dahlan menyatakan hanya menjalankan mandat lembaga agar penetapan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) bisa berjalan cepat. Karena itu, ia mengajak pimpinan DPRA dan fraksi untuk mendiskusikan persoalan pendistribusian nama-nama anggota fraksi di AKD dan menjadwalkan ulang rapat paripurna yang tertunda.
"Kalau ada problem terkait pengisian AKD, kita bicarakan, kita cari jalan keluarnya. Kan sesederhana itu sebenarnya, tapi komunikasinya dengan formallah. Tidak ada masalah sebenarnya, duduk, bangun kesepahaman, kita jadwalkan ulang, jalan. Kan tidak mungkin kita berlarut-larut dengan persoalan yang tidak jelas persoalannya," ujar Dahlan.
Politisi Partai Aceh ini menambahkan, pada prinsipnya DPRA tidak mau berlarut-larut dalam pambahasan AKD.
"Sejatinya sudah selesai urusan seperti ini, kita terus ingin berlari cepat agar bisa bekerja dengan maksimal. AKD salah satu prasyaratnya agar kita bisa bekerja maksimal," ungkap dia.
Sebab saat ini sudah memasukan tahun 2020 dimana anggaran sudah berjalan, sementara DPRA sebagai lembaga kontrol pemerintah belum memiliki AKD. Karena itu, ia mengajak semua pimpinan fraksi untuk duduk bersama membangun persepsi agar persoalan internal cepat selesai. "Kita ingin ajak (mereka) taat azas dan aturan saja," tegasnya.
Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, mengaku prihatin atas deadlock dan ricuhnya paripurna DPRA tentang penetapan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) beberapa waktu lalu. Selaku kepala pemerintahan, Nova berharap DPRA berkompromi atas persoalan tersebut.
“Menurut undang-undang, DPRD itu bagian dari pemerintah daerah, jadi harus sinergi. Ya politik itu harus kompromi lah. Harapannya kan begitu, tapi saya tidak bisa terlalu intervensi,” kata Nova kepada Serambi seusai membuka rapat kerja unsur Forkopimda Aceh, bupati/wali kota se-Aceh dengan anggota DPD dan DPR RI asal Aceh di Kantor Gubernur Aceh, Senin (6/1/2020).
Nova mengaku hanya bisa menunggu karena menurutnya hal itu domainnya DPRA sendiri, bukan Pemerintah Aceh. “AKD domainnya dewan, saya menunggu saja,” kata Nova.
Begitu pun, Nova mengatakan, bahwa demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi the winner takes all (pemilik suara mayoritas).
“Jarang sekali di Indonesia the winner takes all. Itu demokrasi di Amerika, di sini antara yang mayoritas dan minoritas tetap duduk bersama. Tapi kalau tidak bisa juga, ya saya tidak bisa intervensi,” ujarnya.
Dalam sambutaannya saat membuka rapat kerja dengan anggota DPD dan DPR RI asal Aceh, Nova juga menyentil persoalan itu. Nova mengatakan tidak tahu bagaimana mekanisme penetapan AKD yang akan dilakukan DPRA ke depan.
"Penetapan AKD-nya belum berhasil, saya tidak tahu apakah ke depan harus dilakukan secara voting atau pemungutan suara atau ada skema lain. Saya prihatin ini deadlock," kata Nova.
Nova juga berharap persoalan tersebut segera selesai dan lembaga legislatif Aceh menemukan jalan keluar terkait penetapan AKD. Menurutnya, dalam upaya mendukung pembangunan Aceh ke depan, kondisi politik di Aceh harus kondusif dan bisa kolaboratif. "Dalam bidang politik bagaimana pun kita bisa kolaboratif, politik harus kondusif," ujar Nova.
Tidak bermaksud melibatkan intansi vertikal, Nova berharap Kodam IM, Polda Aceh, Kejati Aceh, bisa menjadi penengah dan menjembatani hal tersebut. "Tanpa harus mengintervensi subtansi di dalamnya," demikian harap Nova. (mas/dan)