JURNALISME WARGA
Bom Waktu di Bawah Kaki Geureutee
Provinsi Aceh menyimpan begitu banyak destinasi wisata yang eksotis. Jika kita melintas di jalur barat selatan Aceh (Barsela)

ABDUL AZIS, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Lhokseumawe dan penikmat kopi yang aktif menulis di Steemit, melaporkan dari Geureutee, Aceh Jaya
Provinsi Aceh menyimpan begitu banyak destinasi wisata yang eksotis. Jika kita melintas di jalur barat selatan Aceh (Barsela), Peuniyoh Puncak Geurutee adalah destinasi wajib yang harus kita singgahi. Geureutee sangat familier bagi pemburu keindahan, maka tidak heran jika ia selalu dipenuhi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.
Secara administratif, tempat ini berada di Babah ie, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Geureutee adalah bagian dari hutan Ulu Masen, kawasan yang telah dinobatkan sebagai penyuplai oksigen kepada dunia.
Senin (20/01/2020) saya bersama beberapa kolega dari softskill academy Lhokseumawe berkesempatan mengunjungi Geureutee. Kami mengawali perjalanan dari bilangan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, sekitar pukul 15.00 WIB. Normalnya waktu tempuh yang diperlukan untuk ke lokasi sekitar satu setengah jam jika memulai perjalanan dari ibu kota provinsi. Mengingat indahnya panorama alam di sepanjang jalur Barsela, kami banyak menghabiskan waktu untuk berhenti di beberapa spot untuk menikmati pesona mahakarya Sang Pencipta.
Setelah dua jam lebih menari-nari di kelokan Gunung Paro dan Kulu, akhirnya kami tiba kawasan Geureutee. Pondok masyarakat yang berjejer apik persis di sisi badan jalan menyambut kedatangan kami. Salah satu kedai dengan area parkir lumayan luas menjadi pilihan sebagai tempat untuk menikmati gerak gemulai tarian gelombang Samudra Hindia dan hijaunya panorama alam Aceh Jaya. Pondok tersebut berlokasi tidak jauh dari tulisan “Peuniyoh Puncak Geurutee Aceh Jaya”, tulisan ikonik yang menjadi spot foto menarik.
Selanjutnya kami memasuki pondok dan memilih tempat duduk di sudut kedai supaya leluasa menikmati laut lepas. Tanpa menunggu lama kami langsung memesan kopi khop, minuman wajib yang mesti kita nikmati sewaktu bertandang ke sini. Kami tidak lagi memesan makanan, karena perut sudah terisi kelezatan kuah pliek-u (patarana) campur chu (siput sedot) di kaki Gunung Kulu.
Bom waktu
Dari tempat duduk, saya coba melihat area sekitar. Tampak jumlah kedai semakin bertambah dengan gaya kekinian. Selebihnya, Geureutee yang terakhir kali saya kunjungi setahun lalu tidak banyak mengalami perubahan. Pengunjungnya tidak pernah berkurang, ada yang singgah sekadar melepas lelah. Namun, tidak sedikit pula pengunjung yang rela datang jauh-jauh untuk menghilangkan penasaran akan pesona Geureutee yang santer terkabarkan.
Akhirnya, minuman yang kami pesan satu per satu berlabuh di atas meja. Tanpa aba-aba saya langsung menikmati kopi yang disajikan dalam gelas terbalik di atas sebuah piring kecil. Itulah kopi khop. Unik, namun tetap legit dan tidak mengubah cita rasa kopi tubruk yang khas.
Menikmati pesona Geureutee memang kurang pas jika hanya duduk di atas kursi, lantas saya telusuri setiap sudut pondok sembari mengabadikan beberapa view yang cocok untuk dibagikan di instastory.
Jujur, saya terkejut dan merasa ngeri ketika berada di ujung pondok. Bukan karena sedang berdiri di atas jurang yang curam atau karena kehadiran rombongan keluarga siamang. Keterkejutan saya justru disebabkan tumpukan sampah yang berada di bawah pondok tempat saya berdiri dan juga di bawah kedai lainnya. Pemandangan yang sangat bertolak belakang dengan foto atau video yang sering dibagikan netizen di akun media sosial mereka.
Lebih mencengangkan lagi, mayoritas sampah itu adalah bekas bungkusan mi instan dan sampah nonorganik lain yang dibuang oleh tuannya. Seorang teman yang baru pertama datang ke sini tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya sewaktu melihat sampah yang berserakan di bawah pondok. Rekan saya mengaku kecewa karena ekspektasi yang dia inginkan adalah Geureutee yang asri, bukan pemandangan sampah yang dominan. Penampakan yang sangat berbeda dengan apa yang diharapkan.
Dengan raut kecewa dia berujar, “Sampai kapan keindahan Geureute akan bertahan jika budaya buang sampah sembarangan masih berlanjut?”
Senada dengan rekan saya, Shadiqin, wisatawan dari Peusangan, Bireuen, juga tak kuasa menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya. Saya rasa wajar jika mereka kecewa, karena pengalaman pertama yang seharusnya memberikan kesan yang indah penuh makna, justru yang didapat hanyalah tumpukan sampah. Memang jika kita tidak memfokuskan kornea mata ke bawah, pesona yang ada di hadapan kita tetap megah.
Ini bukan pemandangan yang saya atau wisatawan lainnya ingin nikmati. Dalam pikiran saya terbersit siapa yang begitu tega membuang sampah berketerusan hingga mengubah wujud kaki Geureutee yang asri menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah? Tidak berlebihan jika saya menyebutnya seperti TPA. Jika saat ini pembaca berkunjung ke Geureutee, bakal sedih melihat sampah nonorganik yang berpadu padan dengan limbah kelapa muda di antara akar-akar pohon.
Pondok Gereuute yang dibangun di atas jurang memang sangat rentan terkena musibah. Rentetan kejadian pernah terjadi di sini, tanah longsor Agustus 2018 karena curah hujan yang tinggi membuat dua kios ambruk. Yang teranyar adalah musibah kebakaran menimpa pondok milik warga (Serambi: Minggu, 18/8/2019). Api berasal dari puntung rokok yang dibuang ke bawah hingga membakar tumpukan sampah, lalu menjalar serta menghanguskan satu bangunan berkonstruksi kayu.
Dua kejadian di atas seharusnya menjadi renungan agar tak membuang sampah ke lereng gunung di bawah pondok. Namun, faktanya sampah-sampah masih saja mengendap di bawah dan volumenya semakin bertambah. Seolah, kehadiran aneka sampah tersebut bukanlah masalah. Padahal, ia membuat lingkungan menjadi kotor, tidak sehat, dan memberikan pemandangan yang sama sekali tidak mengenakkan bagi wisatawan.
Lebih dari itu, tumpukan sampah tersebut ibarat bom waktu yang menyimpan bahaya dan sangat memungkinkan kejadian pada masa lalu akan terulang kembali di Geureutee.
Sampah merupakan musuh besar bagi dunia pariwisata, Geureute adalah contoh kecil. Hal ini disebabkan minimnya kesadaran kita dalam menjaga kebersihan. Reportase ini hanyalah bentuk pelampiasan keresahan dan kesedihan saya. Namun, bukan berarti pelampiasan kegelisahan ini untuk dianggap sepele atau dipandang sebelah mata saja oleh masyarakat setempat dan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya. Saya berharap, Pemerintah Aceh Jaya tidak hanya berbicara meningkatkan sektor pariwisata di ruang ber-AC atau gencar melakukan promosi ke sana kemari.
Sepatutnya cita-cita meningkatkan pariwisata juga harus beriringan dengan solusi yang diikuti dengan aksi nyata. Sebagai sebuah lokasi wisata yang yang eksotis, menata dan merawat “Peuniyoh Puncak Geureutee” penting untuk dilakukan. Hal tersebut bukan hanya pekerjaan pemerintah semata, pelaku usaha hingga wisatawan juga mengemban tanggung jawab sama. Pasalnya, kehadiran sampah di sana sudah sangat meresahkan dan mengganggu. Kita tidak hanya mencari keuntungan dari keindahan yang terhampar atau sibuk mengambil gambar untuk dibagikan di duni maya, tapi lupa atau seolah menutup mata bahwa di bawah sana ada ancaman nyata yang suatu ketika bisa saja merenggut keindahan Geureutee. Jika Geureutee terbebas dari sampah, maka ia akan menjadi rumah yang nyaman dan aman bagi wisatawan. Mereka tidak akan membawa pulang kecewa, melainkan ingatan-ingatan akan keindahan lembah Jaya beserta pesona Pulau Ujong Seuden dan Keluang yang berada di tengah Samudra Hindia. Rupa-rupa kenangan yang membekas indah layaknya puisi cinta di mana yang termaktub hanyalah kebahagiaan, tidak ada tempat bagi kesedihan.