Opini
Memperkarakan Kemiskinan
Di daerah yang baik tata kelola pemerintahannya, kemiskinan terlihat sebagai sesuatu yang memalukan. Namun di daerah yang buruk tata kelola
Bahkan realitas anggota parlemen Aceh menunjukkan sikap penghianatan pada rakyat. Salah satu bentuk penghianatan itu ialah memoklek dana beasiswa mahasiswa oleh anggota dewan yang seharusnya bisa menambal sebagian ceruk kemiskinan itu ("Kasus Beasiswa Libatkan 800 Saksi", (Serambi Indonesia, 2/2/2020). Semakin aneh dengan tingkah DPRA ketika kemiskinan harusnya menjadi prioritas malah sibuk pada rancangan qanun poligami.
Termasuk jika melihat bahwa di era desentralisasi pemerintahan daerah, pemerintahan tingkat dua memiliki mandat untuk mengurusi program kesejahteraan rakyat, maka bupati/walikota yang gagal meningkatkan kinerja kesejahteraan rakyat harus dianggap sebagai tersangka yang menyebabkan kemiskinan, kemelaratan, dan keputusasaan masyarakat.
Ketika kemiskinan ini mau diperkarakan, ia harus diseret bersamaan dengan masalah lainnya yang berkait-berkelindan, yaitu perilaku koruptif pemerintahan, hedonisme elite, kesadaran materialisme dan egoisme kelas menengah, apatisme cendekiawan kampus, dan hilangnya nilai otentik agama di dalam masyarakat.
Kenyataan ini tentu kontradiktif dengan semboyan yang kerap disuarakan untuk Aceh sebagai daerah religius. Jika Aceh daerah religius tentu ia memedulikan nasib orang miskin dan menjadikan masalah ini sebagai fokus syariat bersamaan dengan masalah perusakan lingkungan, dan bukan mengangkat masalah instrumental lainnya seperti cangcutisme, ngangkangisme, dan manekinisme. Namun yang terjadi di Aceh hari ini adalah membirokratisasi agama dan bukan menspiritualisasi agama, sehingga bara dilepas malah abu digenggam.
Kemiskinan memang akan selalu terjadi dalam setiap sejarah. Ia bisa semakin dalam jika kita tidak mengentaskannya, tapi sekedar memperkarakannya.