Breaking News

Opini

Memperkarakan Kemiskinan  

Di daerah yang baik tata kelola pemerintahannya, kemiskinan terlihat sebagai sesuatu yang memalukan. Namun di daerah yang buruk tata kelola

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Memperkarakan Kemiskinan   
IST
Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh

Oleh Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh

 "Di daerah yang baik tata kelola pemerintahannya, kemiskinan terlihat sebagai sesuatu yang memalukan. Namun di daerah yang buruk tata kelola pemerintahan, kesejahteraan adalah hal yang memalukan", Kong Hu Chu.

Apa yang seharusnya diperkarakan lagi tentang kemiskinan di Aceh? Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal 2020, Provinsi Aceh masih juara tingkat kemiskinan di Sumatera pada 2019. Hal ini tidak menggeser data 2018 sebagai termiskin di Sumatera dan nomor enam di Indonesia.

Faktanya memang demikian. Membantah data BPS tentu tidak bisa dengan retorika macan kertas yang menggaruk-garuk dokumen. Dokumen tetaplah komprehensif karena ditulis berdasarkan pengkajian ilmiah, dengan metode riset yang telah dilakukan bertahun-tahun dan dana pelaksanaannya yang tidak kecil. Lagi pula BPS bukan LSM yang bertugas menjadi watch dog kekuasaan. Dalam banyak hal, data BPS lebih moderat, jika dibandingkan riset-riset mandiri perguruan tinggi dan LSM yang hasilnya bisa jauh lebih progresif, kritis, dan mendalam.

Meskipun demikian, data harus dilawan dengan data. Memang jumlah penduduk miskin Aceh berkurang 9.000 orang dibandingkan Maret 2019, tapi secara akumulatif angka 810 ribu penduduk miskin atau 15,01 persen adalah tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Sebagai perbandingan, angka kemiskinan di Jakarta pada tahun ini adalah 3,42 persen. Ruang kesenjagangan antara Aceh dan Jakarta begitu renggang, meskipun pada jalur penerbangan begitu intim.

Fakta lainnya, dengan dana APBA yang besar, pada 2019 mencapai Rp 17 triliun plus dana Otonomi Khusus Rp 8,357 triliun (Serambi, 19 Agustus 2019) daya ungkit kesejahteraannya begitu rendah, hanya mengurangi sebesar 0,31 persen penduduk miskin. Problemnya pasti pada tata kelola pemerintahan yang masih jauh dari ideal. Hal ini bukan kesalahan yang patut ditimpakan pada pemerintahan Pelaksana Tugas (Plt) Nova Iriansyah semata. Apa pula kewenangan yang bisa dilakukan oleh seorang gubernur Plt?

Politisasi kemiskinan

Yang menjadi masalah ketika kemiskinan bukan sekadar fakta, tapi dipolitisasi, dijadikan santapan berita dengan framing memojokkan pihak tertentu dan menguntungkan pihak lain. Kemiskinan telah menjadi bola liar yang ditendang-tendang dan tidak dicari akar penyelesaiannya, terutama pada aspek kepemerintahan (governmentality).

Pamflet atau spanduk yang kemudian digunakan di beberapa sudut kota Banda Aceh termasuk pada pintu selamat datang di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) adalah bentuk politis itu. Kemiskinan bukan lagi fenomena sosial-ekonomi-budaya, tapi telah menjadi fenomena politik dengan praktik semiotika tanda yang dimainkan. Ada banyak kasus kemiskinan lainnya, tapi tak pernah diminta pertanggungjawaban bupati atau walikotanya.

Contoh, kasus rumah reot milik Nek Tijarah warga Gampong Ulee Gunong, Kecamatan Lhoksukon, atau Nek Aminah warga Gampong Meureubo, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, termasuk ada 2.140 lagi rumah gubuk masyarakat yang belum terbangun ada realitas sosial (http://www.acehutara.go.id/berita-aceh-utara-telah-bangun-1741-rumah-dhuafa.html), yang harusnya membuat pemerintah lokal tergugah.

Mereka sudah memasang alarm di leher dan menyiagakan SKPD untuk membuat prioritas cepat dan bekerja sambil berlari. Faktanya pemerintah lokal masih santai dan cenderung tidur dalam melihat masalah yang ada.

Padahal data keras 2.140 rumah belum terbantu di Aceh Utara itu membentuk asumsi ada 20 ribuan lagi rumah yang tidak terpantau pemerintah yang belum tersentuh bantuan, termasuk ada hingga 100 ribu penghuni rumah itu yang belum teradvokasi oleh program pembangunan, pemberdayaan, dan pemihakan. Problem yang kita hadapi, pemerintah kerap mereduksi angka kemiskinan pada realitas miskin absolut, hanya fokus pada yang kebetulan terpantau media atau aktivis LSM, tapi tidak progresif untuk mencari jalan mengurangi realitas kemiskinan ini dengan sungguh-sungguh dan komitmen kerja tinggi. Problem kita masih klasik, daya pemerintahan yang miskin visi dan kreativitas menyebab kemiskinan semakin bergulung berbal-bal tebalnya.

Lagi pula, pamflet itu ternyata tidak bermakna denotatif, bahwa kemiskinan Aceh harus menarik semua elite pemerintahan. Padahal kasus kemiskinan di Aceh bukanlah fenomena moonlight, yang jarang terjadi. Ia realitas oftentimes dan menjadi fakta menahun, bukan semata kesalahan yang diterima pemerintahan Irwandi-Nova, atau kini tinggal Nova sendirian sebagai Plt. Pamflet itu hanya mencari penanda pada seseorang yang daya kuasanya terbatas karena kewenangan yang tak kunjung diberikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Menarik kerah semua elite

Jika mau kemiskinan Aceh ini diperkarakan, ia harus menarik kerah semua elite pemerintahan di Aceh, termasuk DPR Aceh. Bagaimana mungkin DPR Aceh harus dilepaskan untuk diminta pertanggungjawabannya meskipun telah purna tugas 2019 lalu? Kemiskinan menjadi liar karena DPRA tidak sungguh-sungguh melakukan upaya pengawasan, penganggaran, dan evaluasi atas program pengentasan kemiskinan Aceh yang semakin absolut dan menyebar bak kanker ini.

Bahkan realitas anggota parlemen Aceh menunjukkan sikap penghianatan pada rakyat. Salah satu bentuk penghianatan itu ialah memoklek dana beasiswa mahasiswa oleh anggota dewan yang seharusnya bisa menambal sebagian ceruk kemiskinan itu ("Kasus Beasiswa Libatkan 800 Saksi", (Serambi Indonesia, 2/2/2020). Semakin aneh dengan tingkah DPRA ketika kemiskinan harusnya menjadi prioritas malah sibuk pada rancangan qanun poligami.

Termasuk jika melihat bahwa di era desentralisasi pemerintahan daerah, pemerintahan tingkat dua memiliki mandat untuk mengurusi program kesejahteraan rakyat, maka bupati/walikota yang gagal meningkatkan kinerja kesejahteraan rakyat harus dianggap sebagai tersangka yang menyebabkan kemiskinan, kemelaratan, dan keputusasaan masyarakat.

Ketika kemiskinan ini mau diperkarakan, ia harus diseret bersamaan dengan masalah lainnya yang berkait-berkelindan, yaitu perilaku koruptif pemerintahan, hedonisme elite, kesadaran materialisme dan egoisme kelas menengah, apatisme cendekiawan kampus, dan hilangnya nilai otentik agama di dalam masyarakat.

Kenyataan ini tentu kontradiktif dengan semboyan yang kerap disuarakan untuk Aceh sebagai daerah religius. Jika Aceh daerah religius tentu ia memedulikan nasib orang miskin dan menjadikan masalah ini sebagai fokus syariat bersamaan dengan masalah perusakan lingkungan, dan bukan mengangkat masalah instrumental lainnya seperti cangcutisme, ngangkangisme, dan manekinisme. Namun yang terjadi di Aceh hari ini adalah membirokratisasi agama dan bukan menspiritualisasi agama, sehingga bara dilepas malah abu digenggam.

Kemiskinan memang akan selalu terjadi dalam setiap sejarah. Ia bisa semakin dalam jika kita tidak mengentaskannya, tapi sekedar memperkarakannya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved