Wacana dan Diskusi, Membahas Ganja di Kamp Biawak

Ganja tiba-tiba menyeruak dari Gedung DPR RI Senayan Jakarta. Rafli, anggota DPR RI asal Aceh yang hadir dalam rapat kerja Komisi VI DPR

Editor: bakri
SERAMBI/MASRIZAL
Pemateri berbicara pada diskusi publik tentang ganja di Kamp Biawak, Desa Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Jumat (31/1/2020). 

Ganja tiba-tiba menyeruak dari Gedung DPR RI Senayan Jakarta. Rafli, anggota DPR RI asal Aceh yang hadir dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kamis (30/1), menawarkan ganja menjadi komoditas ekspor. Sehari setelahnya, sejumlah akademisi, peneliti, dan aktivis di Aceh berkumpul di Kamp Biawak, membahas ganja.

Kajian yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute dan Kamp Biawak, Jumat (31/1) sore, mengangkat tema tentang 'potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentasan kemiskinan'. Diskusi yang selama ini hanya dihadiri sekitar 20 peserta saja, tiba-tiba dipenuhi pengunjung dari berbagai kalangan.

Panitia mengatakan, tema tersebut diusung karena baru-baru ini Aceh dihebohkan dengan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan Aceh masih sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Sejumlah pihak mengkritik Pemerintah Aceh karena dinilai gagal mengentaskan kemiskinan di tengah uang yang melimpah. Untuk tahun 2020 saja, Pemerintah Aceh mengelola APBA Rp 17,2 triliun.  

Diskusi di Kamp Biawak, kawasan Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar ini, menghadirkan tiga pembicara yaitu, Prof Dr Musri Musman MSc (peneliti ganja), Dhira Narayana (Ketua Lingkar Ganja Nusantara-lembaga yang fokus mengadvokasi legalisasi ganja untuk kesehatan di Indonesia), dan Jamaica (pemerhati ganja).

Prof Dr Musri Musman yang melakukan penelitian terhadap ganja mengatakan dirinya menemukan banyak manfaat dari tanaman yang di Indonesia masuk dalam kategori terlarang ini. Mulai untuk kebutuhan medis, tekstil, hingga untuk bahan pembuatan kertas. "Dari segi kebutuhan pasar saat ini sangat besar, kemudian peluang itu diperoleh karena kandungan CBD minyak (ganja) yang dihasilkan itu tidak dapat dihasilkan dari wilayah lain," kata Prof Musri.

Menurut Prof Musri, hal ini menjadi satu peluang bagi Indonesia untuk memproduksi minyak dari tanaman ganja karena kandungan cannabidiol (CBD) ganja Indonesia terbaik di dunia. Tapi pengembangan itu harus melibatkan masyarakat dan tidak boleh ada monopoli harga. 

"Bila setiap penduduk memiliki kesempatan untuk menanam (ganja) dan ada regulasinya yang mengatur itu, saya sangat berkeyakinan wilayah Aceh dan penduduknya ini tidak perlu disubsidi oleh negara. Mereka dapat membiayai diri sendiri dan bisa menyumbang untuk daerah lain," ujar dia.

Jika hal itu terjadi, Prof Musri menyakini Aceh akan terbebas dari belenggu kemiskinan. "Kesejahteraan itu lahir berangkat dari kebersamaan. Kita selama ini melihat adanya praktik monopoli yang menyebabkan sebagian masyarakat terpinggirkan dan sebagai diuntungkan," ujarnya.

Karena itu, ia berharap pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam lima tahun saja untuk menanam sendiri tanaman ganja, tetapi tetap diikat dengan regulasi. "Kalau kita gagal, berarti kita tidak mampu menanggani potensi kita sendiri," tandasnya.

Saat ini, lanjut dia, beberapa negara sudah melegalkan ganja yang kebanyakan untuk keperluan medis, di antaranya Kanada, Amerika Serikat, Thailand, dan menyusul Malaysia yang juga berencana akan melegalkan penanaman ganja.

"Dari batang ganja banyak serat, bisa untuk diproduksi kain dan kayunya bisa diproduksi kertas nomor satu di dunia. Makanya rayap tidak makan uang. Bahkan orang hisap ganja tidak ada panu di tubuhnya," kata Prof Musri.  

Menurut Prof Musri, sebenarnya daun ganja kalau dikonsumsi begitu saja tidak mabuk. Yang menimbulkan mabuk ketika daun ganja dipanaskan.

Sementara Ketua Lingkar Ganja Nusantara, Dhira Narayana dalam kesempatan itu mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan judicial review terhadap undang-undang yang mengatur tentang ganja. Ia berharap ganja bisa dilegalkan untuk kebutuhan medis.

"Bagaimana kita mengentaskan kemiskinan, kita harus melibatkan masyarakat untuk menanam itu. Kita butuh orang seperti Prof Musri sehingga kita tahu cara merawatnya. Tidak asal tanam. Bangsa kita sebenarnya punya potensi yang luar biasa tapi tidak pernah dibicarakan," ungkap dia.

Pemerhati ganja, Jamaica mengatakan sangat menyakitkan ketika tanaman ganja bisa dimanfaatkan tapi tidak bisa digunakan. Padahal ada beberapa kegunakaan ganja yang bisa dikembangkan. "Jika kertas dibuat dari pohon pinus, kita harus menebang pinus. Kita harus menunggu 10 tahun untuk bisa memproduksi pohon pinus sebagai kertas. Sementara ganja bisa panen tiga bulan sekali. Tapi undang-undang tidak membolehkannya," pungkasnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved