Jurnalisme Warga
Membangun Pulo Aceh, dari Mana Mulainya?
BULAN lalu di Banda Aceh, Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Pulo Aceh (Ippelmapa) menyelenggarakan Seminar “Orientasi BPKS

OLEH TEUKU CUT MAHMUD AZIZ, S.Fil., M.A., Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Almuslim, Peusangan dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Banda Aceh
BULAN lalu di Banda Aceh, Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Pulo Aceh (Ippelmapa) menyelenggarakan Seminar “Orientasi BPKS dalam Pembangunan Kawasan Pulo Aceh.” BPKS yang dimaksud adalah Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
Dalam seminar ini Ippelmapa mengundang dua narasumber, yakni Razuardi Ibrahim selaku Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPKS dan saya sendiri mewakili akademisi dan juga inisiator kerja sama dan konektivitas Aceh-Andaman & Nicobar Islands yang dipandu oleh moderator, Raihal Fajri.
Acara ini diawali dengan sambutan Ketua Ippelmapa, Muliadi Azis, yang turut mengundang mengundang Keynote Speaker, Nova Iriansyah. Tapi berhubung Plt Gubernur Aceh itu sedang berada di luar kota, beliau digantikan oleh Darmansyah, Staf Ahli Gubernur Bidang Keistimewaan, SDM, dan Kerja Sama.
Tema yang saya presentasikan berjudul “Potensi Pengembangan Kawasan Maritim dan Pariwisata di Pulo Aceh.“ Presentasi tersebut saya narasikan ke dalam tulisan ini. Di awal presentasi, saya membacakan WhatsApp (WA) Redaktur Eksekutif Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika. “30 Tahun saya jadi wartawan, belum pernah sekali pun ada seminar atau diskusi tentang Pulo Aceh,” ungkapnya.
Mendengar ini, para hadirin terkejut disusul tepuk tangan sebagai ungkapan apresiasi atas inisiasi Ippelmapa menyelenggarakan seminar dengan tema membangun Pulo Aceh. Saya katakan, apa yang diungkapkan Yarmen Dinamika adalah ungkapan apresiasi dan hari ini Ippelmapa telah membuat sejarah. Dan jangan sampai sejarah hari ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir. Harus ada rekomendasi dan harus dikawal kelanjutannya.
Ditambahkan oleh Yarmen, ”Pulo Aceh pernah terkenal sebagai calon pengganti Hong Kong sebelum KMP Gurita tenggelam.” KMP Gurita tenggelam pada 19 Januari 1996, sewaktu melakukan pelayaran dari Pelabuhan Malahayati menuju Pelabuhan Balohan, Sabang. Dan Yarmen pada hari Gurita tenggelam itu sedang berada di Pulo Aceh. Ia ditugaskan kantornya untuk meliput kesiapan masyarakat Pulo Aceh menyongsong era pengganti Hong Kong.
Apa yang disampaikan Yarmen, sesuatu yang faktual. Saya juga masih ingat pada tahun itu sempat diberitakan bahwa Hong Kong bakal dipindahkan ke Pulo Aceh sebelum penyerahan kedaulatan Hong Kong dari Inggris kepada Cina pada 1 Juli 1997.
Beberapa pejabat Aceh Besar sempat melakukan kunjungan ke Hong Kong untuk membicarakan hal tersebut, tapi hingga kini tidak pernah terealisasi. Akhirnya tinggal cerita dan Pulo Aceh pun semakin terlupakan.
Pulo Aceh adalah gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri atas Pulau Nasi, Pulau Breuh, Pulo Sidom, Pulo Bunta, Pulo Batee, Pulo U, Pulo Geupon, dan beberapa pulau lainnya. Destinasi wisata yang banyak diceritakan dan ditulis sejumlah media adalah Pantai Nipah, Pantai Deudap, Pantai Ujong Lhok Reudep, Ujong Batee Gla, dan Ujong Kareung Teungeh, serta Mercusuar William Torren (dibangun tahun 1874). Keindahannya tidak kalah dibandingkan destinasi wisata dunia seperti Maladewa dan Kepulauan Andaman. Panorama pulaunya kaya dengan hutan pantai, mangrove, dan perbukitan dengan hutan yang masih terlihat lebat. Mata pencaharian penduduknya, sebagian besar adalah petani dan nelayan.
Bila diamati dari kondisi geografis dan potensi ekonominya maka dua sektor yang menjadi unggulan Pulo Aceh adalah pariwisata dan maritim. Namun, kedua sektor ini belum dikelola secara profesional, sehingga belum berdampak pada peningkatan ekonomi dan kemakmuran bagi penduduknya.
Saya menyampaikan, untuk dapat tumbuh dan berkembang maka medianya adalah konektivitas dan infrastruktur yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang berkelanjutan.
Untuk memulai, pertama yang harus kita lakukan adalah mengubah paradigma. Selama ini Aceh selalu diposisikan sebagai provinsi yang berada di ujung Pulau Sumatra atau Indonesia dan bukan disentral. Itu berdampak pada cara pandang kita melihat diri kita. Kita selalu menghitung jarak atau melihat Indonesia dari kacamata Jakarta atau Pulau Jawa. Yang tentu saja jarak antara Aceh dan Jakarta sangat jauh. Tapi Aceh justru lebih dekat ke India, Sri Lanka, Bangkok, Malaysia, dan Singapura. Kalau kita lihat pada peta dunia maka posisi kita berada di tengah, sedangkan Pulau Jawa justru berada di ujung selatan. Ini sangat tergantung dari sudut mana kita melihat dan memosisikan diri kita. Kita sudah harus berani memosisikan diri kita berada di tengah dunia sehingga memudahkan kita dalam membangun perspektif dan kerja sama dengan negara tetangga. Sebagai contoh, untuk pergi ke Port Blair, ibu kota Andaman, jika harus melalui Jakarta, berapa lama waktu tempuh yang diperlukan untuk tiba di sana? Jika dihitung maka waktu tempuhnya sekitar sebelas jam. Jika ada konektivitas penerbangan langsung dari Banda Aceh ke Port Blair maka waktu tempuhnya hanya sekitar satu jam tiga puluh menit. Kita dapat menghemat waktu sekitar sembilan jam 30 menit.
Pulo Aceh berhadapan langsung dengan perairan Samudra Hindia, tapi status Pulo Aceh yang berada di perairan strategis dan tersibuk di dunia tersebut masih sebagai daerah kategori 3T (Terpencil, Tertinggal, dan Terluar). Sangat kontraproduktif, yang semestinya dapat menjadi pintu gerbang Indonesia di bagian barat bersama Pulau Weh. Sekali lagi, ini sangat dipengaruhi dengan cara pandang/paradigma Pemerintah Aceh, khususnya Pemkab Aceh Besar dan BPKS dalam melihat dan memosisikan Pulo Aceh.
Kedua, mari kita berimajinasi. Kalau ingin membangun Pulo Aceh maju, apa yang kita bayangkan 20 tahun atau 30 tahun ke depan? Mau seperti apa masyarakat Pulo Aceh yang kita impikan? Mau kita jadikan seperti apa? Apa seperti Hong Kong, Singapura, Malaysia, Maladewa, atau Korea Selatan?
Ketiga, Pemkab Aceh Besar perlu membentuk Tim Market Intelligence (MI), tim yang terdiri atas akademisi yang memiliki kemampuan atau metode dalam memahami pasar domestik maupun internasional. Ini sangat penting sebagaimana yang dilakukan Kemenlu RI untuk dapat menembus pasar India. Mereka membentuk Tim MI sebagai awal untuk membangun kerja sama dan konektivitas antara Aceh dan India. Yang mana, MI ini semestinya wajib dimiliki oleh pemerintah daerah ataupun dinas terkait.
Keempat, Pemkab Aceh Besar harus memiliki konsultan hukum dan konsultan infrastruktur. Apa pun yang kita lakukan apalagi terkait dengan infrastruktur dan mengundang investasi, ujung-ujungnya adalah persoalan regulasi. Infrastruktur yang dimaksud, bukan hanya pembangunan fisik, seperi jalan, jembatan, pasar, atau rumah sakit. Infrastruktur adalah integrated system. Ia adalah sesuatu yang “human” dan pembawa peradaban.
Pulo Aceh memiliki komoditas unggulan, yaitu ikan tongkol, tuna, udang, cumi-cumi, gurita, lobster, kelapa, cengkih, pinang, dan pala. Budi daya pertanian organik dan perkebunan serta budi daya perikanan perairan dengan sistem zonasi berpotensi untuk dikembangkan.
Pariwisata yang dikembangkan berbasis komunitas dan kearifan lokal. Homestay, cottage, maupun resort dikelola oleh penduduk lokal. Pulo Aceh harus memiliki jati diri atau identitas tanpa harus mengadopsi pariwisata Bali.
Pulo Aceh dapat menjadi pilihan lokasi pengembangan industri pengolahan ikan. Antara Pulau Nasi dan Pulau Breuh terkonektivitas dan pelabuhannya berperan sebagai feeder (pengumpan) bagi Pelabuhan Malahayati dan Pelabuhan Sabang.