Lika-liku Pembajakan Hak Cipta Lagu, Manajer Kafe Kaget Wajib Bayar Royalti
Memutar musik di tempat-tempat komersil seperti kafe tidak bisa lagi sembarangan, karena ada kewajiban membayar royalti kepada pemilik hak cipta
Memutar musik di tempat-tempat komersil seperti kafe tidak bisa lagi sembarangan, karena ada kewajiban membayar royalti kepada pemilik hak cipta, sebagaimana diatur Undang-Undang Hak Cipta.
SUASANA di sebuah kafe jaringan internasional di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (17/2/2020) sore ramai oleh tamu. Lagu Laskar Pelangi yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh grup band Nidji terdengar jelas dari speaker. Menyusul adalah suara Ari Lasso yang membawakan lagu Mengejar Matahari. Lagu tersebut diputar menggunakan aplikasi pemutar lagu yang terhubung internet.
YN, manajer yang bertugas di kafe tersebut terkejut saat Tribun Network memberitahu kafenya harus membayar royalti karena memutar lagu tersebut. Peraturan ini tercantum dalam Pasal 9 Undang-Undang Hak Cipta. Sebagai tempat kegiatan usaha jasa kuliner bermusik, maka kafe tempat YN bekerja menjadi subjek royalti. "Saya tidak tahu soal aturan itu, baik lagu Indonesia maupun lagu luar negeri. Pihak mal juga tidak pernah menegur," ungkap YN.
Hal senada diutarakan oleh AG, seorang pengusaha kafe di kawasan perumahan di Jakarta Timur. Kafenya terhitung kecil, sekadar memanfaatkan teras di rumahnya. Kafenya tergolong ramai. AG selalu memutar lagu untuk memperkuat atmosfer di kafe yang berdiri sejak 2011 tersebut. "Saya tidak tahu pasti, hanya pernah dengar aturan soal memutar lagu di tempat komersial. Setahu saya ini hanya untuk performer lokal," kata AG kepada Tribun Network, Senin (17/2/2020).
Dia mengaku tidak tahu soal status kafenya sebagai subjek pembayar royalti. Belakangan dia memutar lagu menggunakan aplikasi dan berlangganan. Sama seperti YN, AG tidak tahu langganan tersebut sebatas konsumsi pribadi, bukan untuk diputar di kafe. "Mungkin lebih baik misalnya ada aplikasi streaming untuk komersial. Enak di satu portal," ujar AG memberikan solusi mengumpulkan royalti.
Performing rights termasuk hak ekonomi seorang pencipta lagu. Performing rights adalah hak eksklusif untuk menyiarkan, menampilkan, menayangkan, memutarkan karya lagu kepada khalayak luas. Dalam beberapa kasus, sudah ada musisi dan pencipta lagu yang berani melaporkan kasus pelanggaran hak cipta lagu.
Misalnya Band Radja melaporkan pelanggaran hak cipta yang dilakukan perusahaan karaoke yang menggunakan lagu milik mereka tanpa sepengetahuan dan izin Radja Band ke Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat 3 Januari 1, 2014 lalu. Hingga kini kasus tersebut masih menggelinding di pengadilan.
Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menggelar perkara pelanggaran Hak Cipta dan Karya Intelektual terkait lagu Lagi Syantik yang dipopulerkan Siti Badriah, Rabu 19 Februari 2, 2020. Di sidang itu, label rekaman Nagaswara sebagai penggugat dan keluarga Gen Halilintar tergugat. Nagaswara menggugat keluarga Gen Halilintar dengan total kerugian Rp 9,5 miliar.
Sebetulnya, sudah ada mekanisme pengumpulan royalti untuk kepentingan pencipta lagu. Pengumpulan hak ekonomi dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lembaga yang berada di bawah payung Kementerian Hukum dan HAM ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
LMKN bertugas menarik bayaran royalti di tempat-tempat umum yang menggunakan musik. Di antaranya kafe, karaoke, dan pentas seni. Dari LMKN, bayaran yang dikumpulkan kemudian disalurkan ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dari LMK bayaran tersebut kemudian didistribusikan ke penulis-penulis lagu yang menjadi anggota mereka.
Namun demikian, permasalahan terkait royalti yang diterima oleh penulis lagu tidak lantas tuntas sejak LMKN berdiri. Justru ada beberapa permasalahan baru yang timbul. Permasalahannya antara lain sistem pengumpulan royalti yang belum maksimal, data yang tidak detail, serta user lagu yang belum terbiasa oleh alur pembayaran royalti.
Wakil Sekretaris Jenderal Yayasan Karya Cipta Indonesia Lisa A Riyanto, menuturkan pihaknya tidak mendapatkan rincian data penggunaan musik yang detail setiap LMKN mencairkan royalti ke KCI. Menurut Lisa banyak komposer yang merasa pembagian royalti tidak adil. "Itu yang menghambat sehingga kita pakai sampel. Misalnya, satu kategori user, karaoke, ada banyak sekali. Setiap brand bahkan punya banyak gerai di seluruh Indonesia," ujar Lisa.
Penyerapan royalti hak cipta dalam industri musik di Indonesia memang masih sangat kecil dan kalah dibandingkan negara tetangga Malaysia. Musikus Anang Hermansyah mengatakan, berdasarkan catatannya, LMKN hanya menyerap royalti sebesar Rp 135 miliar selama periode 2015-2017. Angka tersebut jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Malaysia. Pertimbangan Anang adalah jumlah penduduk Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Anang menuturkan penyerapan royalti lagu di Malaysia bisa mencapai Rp 500 miliar dalam setahun.(Tribun Network/igm/rie/deo/cep)