Tenaga Medis Pakai APD Boleh Shalat Tanpa Wudhuk
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya menerbitkan fatwa berkaitan dengan tata cara shalat fardhu para tenaga medis yang bertugas
Tenaga Medis Pakai APD Boleh Shalat Tanpa Wudhuk
* Fatwa MUI
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya menerbitkan fatwa berkaitan dengan tata cara shalat fardhu para tenaga medis yang bertugas menangani kasus virus Corona (Covid-19) dan harus mengenakan alat pelindung diri (APD). Fatwa MUI menyatakan, para tenaga medis tersebut dapat melaksanakan ibadah shalat tanpa harus berwudhuk atau bertayamum saat mereka dalam kondisi tidak suci dan tidak memungkinkan untuk bersuci.
Hal itu tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2020 yang disahkan Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin AF dan Asrorun Niam Sholeh, Kamis (26/3/2020). "Dalam kondisi hadas dan tidak mungkin bersuci (wudhu atau tayamum), maka ia melaksanakan shalat boleh dalam kondisi tidak suci dan tidak perlu mengulangi (i’adah)," demikian penggalan isi Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2020 tersebut.
Hasanuddin mengatakan, fatwa tersebut dapat menjadi pedoman tata cara shalat bagi para tenaga kesehatan yang memakai APD saat menangani pasien Covid-19. Salah satu poin penting fatwa itu, kata dia, tenaga kesehatan muslim yang merawat pasien virus Corona dan harus memakai APD tetap wajib melaksanakan shalat fardhu dengan catatan terdapat keringanan sesuai dengan kondisinya. Pada kondisi tenaga medis berada dalam rentang waktu shalat dan memiliki wudhuk, kata dia, maka boleh melaksanakan shalat dalam waktu yang ditentukan meski dengan tetap memakai APD.
Pada kondisi sulit berwudhuk, jika memungkinkan, mereka bisa bertayamum sebelum shalat. Sementara bila APD yang dikenakan tenaga medis Covid-19 terkena najis dan tidak mungkin melepas atau mensucikannya, kata Hasanuddin, mereka boleh tetap melaksanakan shalat dalam kondisi APD tidak suci, namun harus mengulangi shalat (i’adah) usai bertugas.
Selain itu, dia menegaskan saat jam kerja sudah selesai, atau sebelum mulai kerja, tenaga medis masih mendapati waktu shalat, maka mereka wajib melaksanakan shalat fardhu sebagaimana mestinya. Kemudian, kata Hasanuddin, dalam kondisi tenaga medis mulai bertugas sebelum masuk waktu Zuhur atau Maghrib, dan tugasnya baru berakhir saat berada pada waktu Ashar atau Isya, mereka boleh melaksanakan shalat dengan jamak ta'khir.
Sementara dalam kondisi tenaga medis mulai bertugas saat masuk waktu Zuhur atau Maghrib dan diperkirakan tidak dapat melaksanakan shalat Ashar atau Isya karena masih bertugas, yang bersangkutan boleh melaksanakan shalat dengan jamak taqdim. "Dalam kondisi ketika jam kerjanya dalam rentang waktu dua salat yang bisa dijamak (Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya), maka ia boleh melaksanakan shalat dengan jamak," kata dia.
Hasanuddin menyatakan, bagi penanggung jawab bidang kesehatan juga wajib mengatur shift bagi tenaga kesehatan muslim yang bertugas, dengan mempertimbangkan waktu shalat. Hal ini supaya tenaga medis muslim tetap bisa menjalankan kewajiban ibadah, dengan tetap menjaga keselamatan diri.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, sudah meminta MUI dan sejumlah Ormas Islam untuk mengeluarkan fatwa terkait dengan tata cara beribadah bagi para tenaga medis yang mengenakan APD saat menangani kasus Covid-19. Ma'ruf juga meminta penerbitan fatwa mengenai tata cara penanganan jenazah pasien Covid-19. Ma'ruf di Kantor BNPB, Jakarta, Senin (23/3/2020), juga menyarankan agar MUI menerbitkan fatwa yang memperbolehkan para tenaga medis Covid-19, yang mengenanakan APD, shalat tanpa berwudhuk atau bertayamum.
Menanggapi fatwa MUI, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan, fatwa tentang pedoman kaifiat shalat bagi tenaga kesehatan itu membuat tenang para petugas medis. "Sebenarnya kami sudah paham, kemudian keluar fatwa itu akhirnya membuat kami lebih yakin kami tidak meninggalkan kewajiban kami, dalam Islam pun dipermudah," ujar Wakil Sekretaris Jenderal PB IDI, Rosita Rivai.
Rosita menambahkan, kalau pasien yang dirawat sangat banyak, sebaiknya shif dibuat enam jam. Kalau shif enam jam, menggunakan APD juga selama enam jam. Sebisa mungkin bertugas selama delapan jam dalam satu shif. Tapi tidak bisa diprediksi wabah Covid-19 akan berakhir kapan, karenanya stamina tenaga medis harus dijaga. "Jangan sampai kita maksa delapan jam dengan pasien yang sangat banyak, akhirnya membuat teman-teman kami kelelahan, sehingga tidak bisa memberi layanan lagi," kata Rosita. (tribun network/rin/fia)