Opini
Setelah Ikhtiar Maksimal
Dunia global saat ini menghadapi kegelisahan yang belum pernah diprediksi. Baik negara kaya maupun negara miskin

Oleh Teuku Zulkhairi, Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Mudir Ma'had Aly Babussalam Al-Hanafiyyah Matangkuli, Aceh Utara
Dunia global saat ini menghadapi kegelisahan yang belum pernah diprediksi. Baik negara kaya maupun negara miskin. Virus Corona yang muncul dari Wuhan, Cina, ini secara cepat menjadi pandemi (wabah) dan menyebar ke seluruh dunia. Virus yang disebut juga Covid-19 tersebut kini juga menjadi kegelisahan terbesar kita masyarakat Aceh.
Berbagai upaya telah dan terus dilakukan berbagai pihak untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 ini. Karena virus ini tidak mengenal kasta dan tahta. Tidak membedakan antara rakyat dan penguasa. Semua akan "disapu" jika kita tidak menghentikannya. Salah satu jalan menghentikannya menurut para dokter adalah dengan "tetap di rumah" sementara waktu sampai wabah ini berakhir.
Kita sebagai warga masyarakat tentulah mesti ikut berjuang maksimal menghentikan penyebaran virus ini dengan jalan "tidak keluar dari rumah" sebagai suatu ikhtiar maksimal. Tidak keluar dari rumah bukan saja penting agar kita dan keluarga tidak tertulari, namun juga agar kita tidak menulari orang lain jika seandainya tanpa kita sadari rupanya kita telah tertulari Covid-19 ini. Tanpa kesadaran seperti ini, maka sangat sulit menghentikan penyebaran virus ini sebagaimana penjelasan yang kita dengar dari para dokter atau pihak yang menangani wabah ini.
Telah banyak anjuran berbagai kalangan dalam upaya pencegahan atau bahkan menghentikan penyebaran virus ini. Semua kita tentu tidak boleh meremehkan saran-saran tersebut. Termasuk dengan tidak membuat keramaian atau berjabat tangan. Senantiasa mencuci tangan dan sebagainya. Kita harus betul-betul serius menghentikan penyebaran wabah Covid-19 ini sebelum semuanya terlambat karena Islam sendiri memiliki misi untuk menjaga jiwa.
Tawakkal setelah ikhtiar
Setelah berbagai ikhtiar maksimal kita lakukan dan patuhi, apa yang bisa kita lakukan berikutnya adalah tawakkal, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Jika kemudian virus ini menulari kita atau keluarga kita melalui sebab atau sarana yang tanpa kita sadari, lalu ada yang meninggal, maka Islam memberikan kita kabar gembira. Ya, kabar gembira, bahwa siapa saja yang meninggal karena virus ini maka dia akan memperoleh pahala syahid.
Rasulullah Saw bersabda dalam hadis riwayat Bukhari Muslim: "Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha'un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang mati syahid di jalan Allah."
Jadi, siapa yang meninggal karena suatu wabah, maka dia meraih pahala syahid selama ia sabar, berharap pahala dan percaya akan ketetapan Allah Swt. Di situlah letak pentingnya tawakkal. Apalagi, hadis lain yang diriwayatkan dari Aisyah menyebutkan bahwa suatu tha'un (wabah penyakit) adalah rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Setelah kita melakukan ikhtiar maksimal, maka pada dasarnya kita tidak perlu gelisah dengan virus corona selama senantiasa kita mengangkat tangan ke langit memohon ampun kepada Allah Swt atas dosa-dosa kita. Tidak perlu gelisah karena yang paling penting adalah kita perlu terus menerus menyiapkan amal shalih.
Tugas kita adalah sabar dan berharap pahala. Karena bukankah kematian adalah jalan kita untuk berjumpa dengan Allah Swt, Rabb yang telah menciptakan kita? Bukankah kenikmatan paling besar adalah saat kita berjumpa dengan Allah Swt? Maka penting untuk kita sadari kembali bahwa kita adalah ciptaan Allah Swt dan bahwa kapan saja kita harus siap dipanggil kembali oleh Allah Swt.
Harus siap maknanya yaitu kita harus memiliki bekal yang kita bawa pulang, yaitu bekal amal shalih dan ketakwaan. Tanpa bekal berarti kita belum siap. Kita yang masih hidup diminta oleh Allah dan Rasul-Nya untuk selalu mencari bekal dan bersegara mencari keampunan Allah Swt atas dosa-dosa kita di dunia ini.
Dalam Hadis Arba'in Nawawiyah yang keempat riwayat Bukhari dan Muslim, telah diterangkan kepada kita bahwa kita berasal dari setetes air mani dan berada dalam kandungan ibu kita selama 40 hari. Lalu berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari berikutnya. Dan kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari juga. Lalu setelah itu, ditiupkanlah ruh kita oleh Malaikat Jibril dan kemudian kepada kita ditetapkanlah empat perkara. Ajal kita, rizki kita, amal kita, dan terakhir yaitu kesengsaraan atau kebahagiaan.
Jadi semua sudah ditentukan, meskipun kita tidak diberitahu. Semua akan terjadi sesuai dengan ketetapan ini. Waktu datangnya ajal kita tak akan bergeser sedikit pun. Rizki kita tak akan berkurang sedikit pun dan tak akan lebih sedikit pun. Apabila ajal kita datang, maka ia tak dapat ditunda, baik oleh virus corona atau oleh yang lainnya. Apabila belum datang, maka ia tak akan dapat dipercepat. "Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya..".[An-Nahl: 61].
Meminta ampunan Allah