Breaking News

Virus Corona Serang Dunia

Ngerinya Wabah Corona di Ekuador, Mayat Bergelimpangan di Pinggir Jalan, Sebagian Dibungkus Plastik

Ekuador adalah negara di Amerika Selatan yang berada di garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim sama seperti Indonesia.

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
AFP/Jose Sánchez
Pandangan udara para pekerja mengubur peti mati di pemakaman Maria Canals di pinggiran Guayaquil, Ekuador, pada 12 April 2020, di tengah wabah virus corona yang baru. 

SERAMBINEWS.COM – Pemandangan mengerikan akibat serangan virus corona mengiringi hari-hari rakyat Ekuador selama bulan April 2020.

Ekuador adalah negara di Amerika Selatan yang berada di garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim sama seperti Indonesia.

Apa yang dialami Ekuador (bahasa Spanyol yang berarti Khatulistiwa), menjadi bukti bahwa faktor cuaca dan letak geografis di khatulistiwa dengan iklim tropis tidak terbukti secara signifikan dapat menghambat laju penyebaran virus corona.

Data John Hopkin University & Medicine, Selasa (21/4/2020) menunjukkan jumlah kasus infeksi corona di Ekuador mencapai 10.128 dan 507 kematian.

Jumlah ini tentunya sangat besar bagi sebuah negara dengan jumlah penduduk hanya 17 juta orang.

Jumlah kasus dan kematian ini menjadikan Ekuador sebagai negara Amerika Latin yang paling terpukul dengan serangan COVID-19.

Jumlah kasus infeksi di Ekuador memang masih di bawah tetangganya, Chili yang mencatat 10.507 kasus.

Hanya saja, angka kematian di Chili adalah 139 kasus, jauh lebih kecil daripada Ekuador.

Tangkap layar data sebaran corona virus yang dipublish di website John Hopkins University, Selasa 21 April 2020.
Tangkap layar data sebaran corona virus yang dipublish di website John Hopkins University, Selasa 21 April 2020. (coronavirus.jhu.edu)

Situs National Public Radio (npr.org) meberitakan, situasi yang terjadi di Ekuador mungkin jauh lebih buruk daripada yang ditunjukkan angka-angka resmi.

Faktanya, seorang pejabat Ekuador mengatakan tampaknya ribuan orang mungkin meninggal karena penyakit ini daripada yang dilaporkan oleh pemerintahnya.

Jorge Wated, yang memimpin satuan tugas pemerintah yang ditugasi mengumpulkan dan mengubur mayat di Guayaquil, pusat penyebaran wabah, mengatakan bahwa dalam 15 hari pertama April, 6.703 orang telah meninggal karena COVID-19 atau sebab alamiah.

Sebelum wabah koronavirus, katanya, angka bulanan adalah sekitar 1.000.

"Ini adalah kenyataan sulit yang kita hadapi," kata Wated dalam pidato yang disiarkan secara nasional.

Menteri Dalam Negeri Maria Paula Romo telah mengakui bahwa jumlah kematian sebenarnya lebih tinggi, tetapi dia menyalahkan kurangnya pengujian luas untuk perbedaan tersebut.

Bahkan Presiden Lenin Moreno telah membubarkan angka resmi terkait kematian akibat corona.

"Kita harus mengatakan yang sebenarnya," katanya dalam sebuah pidato bulan lalu.

"Kita tahu bahwa dalam hal infeksi dan kematian, jumlahnya terlalu rendah. Tidak ada pengujian yang cukup," ujarnya.

Kim Jong Un Dikabarkan Sakit Parah Sampai Kritis, Kebiasaan Buruk Ini Diduga Jadi Permasalahannya

Kulit Dua Dokter di China Mendadak Menghitam Sejak Terinfeksi Virus Corona, Diduga Ini Penyebabnya

Rumah Sakit Penuh dan Kekurangan Dokter

Eduardo Herdocia, yang baru 18 bulan keluar dari sekolah kedokteran, mengatakan ia saat ini merawat sekitar 200 pasien yang ia yakini terinfeksi virus corona, berdasarkan gejala pernapasan mereka.

Tetapi karena kurangnya pengujian, hanya sekitar dua lusin yang didiagnosis positif.

Karena rumah sakit Guayaquil dipenuhi pasien Covid-19 yang dikonfirmasi, kemudian Herdocia memutuskan untuk melayani panggilan ke rumah.

"Banyak dari pasien ini membutuhkan perawatan rumah sakit, tetapi rumah sakit dan seluruh sistem perawatan kesehatan sudah penuh," kata Herdocia, yang berusia 26 tahun.

Dia mengatakan pernah membawa pasien dan berkeliling kota sepanjang malam untuk mencari rumah sakit, tetapi tidak ada ruang.

Herdocia tidak dapat memenuhi semua permintaan telepon dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis darinya.

Bahkan, sering ketika dia tiba di rumah orang yang membutuhkan pertolongan, beberapa dari mereka sudah meninggal.

"Kamu merasa tidak berdaya," katanya.

VIDEO - Presiden Jokowi Larang Semua Orang untuk Mudik di Tengah Pandemi Corona

Baru 10 Hari Bebas Karena Corona, Napi Ini Justru Dibunuh Tetangga: Bukan Karena Berulah Lagi

Orang-orang Pulang dari Spanyol

Situs npr.org memberitakan, munculnya Guayaquil (kota terbesar di Ekuador) sebagai episentrum corona berasal dari beberapa faktor.

Di antaranya, banyak pelajar pertukaran dan pekerja migran yang tinggal di Italia dan Spanyol pulang pada bulan Maret 2020.

Saat mereka pulang, Italia dan Spanyol sedang berada pada puncak serangan virus corona.

Selain itu, Guayaquil adalah rumah bagi daerah kumuh yang luas.

Banyak penduduk tinggal berhadap-hadapan.

Mereka juga melanggar kuncian atau pembatasan pemerintah yang diumumkan pada 17 Maret, karena alasan harus bekerja.

"Sangat sulit untuk mengatakan kepada mereka untuk tinggal di rumah," kata Dayanna Monroy, seorang jurnalis TV di Guayaquil, yang mengatakan banyak bagian kota yang ramai dengan orang-orang dan lalu lintas.

Hasilnya adalah rumah sakit, ngarai, rumah duka, dan kuburan yang kewalahan.

Karena kesulitan mencari tempat pengurusan mayat, maka orang-orang memutuskan membungkus mayat sanak saudara yang sudah meninggal dalam plastik dan seprai.

Dalam beberapa kasus, mayat-mayat itu dipindahkan ke luar rumah karena sudah menebarkan bau busuk.

"Ada lebih dari 300 mayat di dalam rumah," kata Wated kepada NPR.

"Beberapa orang mati ada di sana tiga, empat ... bahkan lima hari," ujarnya.

Mayat Bergelimpangan di Pinggir Jalan

Pada 12 April 2020, Dan Bell, Produser dan Pembuat Film Independen, memosting dua video dari Guayaquil ke akun Twitternya.

Kedua video itu merekam mayat-mayat yang diletakkan bergelimpangan di pinggir jalan.

Sebagian mayat itu sudah berada dalam peti mati, namun banyak juga yang hanya dibungkus plastik hitam.

Terlihat juga beberapa alat berat beko bekerja di areal pemakaman.

Bersama beko itu, orang-orang berseragam APD bekerja keras menguburkan mayat-mayat itu dalam sebuah lubang besar.

NPR memberitakan, Pemerintah Ekouador telah memerintahkan tentara untuk membawa jenazah ke kuburan, seperti Parques de la Paz, salah satu yang terbesar di Guayaquil.

Pada awal krisis, manajer pemakaman Alfredo Bravo mengatakan dia menerima jumlah mayat yang sama dalam satu hari dengan kapasitas normal 273 mayat bulanannya.

Dengan dekrit pemerintah, korban COVID-19 seharusnya dikremasi untuk menghindari penyebaran infeksi.

Tetapi krematorium Bravo hanya dapat menangani delapan mayat per hari, sehingga sebagian besar dimakamkan.

“Pemakaman hanya memiliki satu backhoe untuk menggali tanah dan mengubur mayat, kami harus menyewa tiga lagi,” kata Bravo.

Bagian terburuk dari pekerjaannya adalah, untuk menghindari infeksi, Bravo harus memblokir kerabat orang mati di gerbang kuburan.

"Aku merasa sangat buruk," katanya.

"Karena orang tidak bisa mengubur atau mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai dengan cara yang benar," kata dia.

Wated, pemimpin gugus tugas itu, mengatakan ada relatif sedikit kasus COVID-19 di seluruh Ekuador.

Ia membandingkan keadaan di Guayaquil dengan Wuhan, kota Cina di mana wabah dimulai.

Dia membela kebijakan pemerintah terhadap keadaan darurat coronavirus dan mengatakan sedang meningkatkan pengujian.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved