Aceh Sebaiknya Lakukan Tes Massal Covid-19

Sebagai bandingan, Prof Samsul Rizal menyebutkan bahwa Kaltim mendapatkan banyak tambahan kasus baru Covid-19 setelah mengaktifkan tes massal

Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Amirullah
FOTO HUMAS UNSYIAH
Rektor Unsyiah, Prof Dr Ir Samsul Rizal MEng IPU 

"Mereka sudah lebih awal melakukan new normal.  Semua aktivitas hampir berjalan normal, hanya perbedaan pada social distancing, disiplin pakai masker, dan cuci tangan. Tentu saja ini tidak didapat dengan mudah. Mereka aktif melakukan pemeriksaan case tracking dan case finding. Kapasitas mereka tingkatkan dan kerentanan mampu diturunkan sehingga risiko jauh berkurang," banding Samsul.

Doktor jebolan Jepang ini mengatakan, Indonesia sendiri saat ini berada dalam kondisi tidak stabil, kasus baru masih berkisar di atas 500 per hari.

Padahal, kemampuan deteksi atau pemeriksaan kita masih sangat kecil, bahkan belum mencapai target 10.000 pemeriksaan per hari.

Dalam rasio, Indonesia baru mampu melakukan 600 pemeriksaan dalam 1 juta penduduk bila dibandingkan dengan Singapura 20.000 per 1 juta penduduk, Amerika Serikat 12.000 pemeriksaan per 1 juta penduduk dan Korea Selatan 17.000 per 1 juta penduduk.

Vietnam melakukan 2.600 pemeriksaan per 1 juta jiwa, Brunei Darussalam bahkan memeriksa 33.500 sampel dari 1 juta penduduknya.

"Rasio tes PCR di Indonesia dalam lingkup Asia Tenggara menempati urutan ketiga dari bawah. Menariknya, dengan rasio yang sedikit itu, jumlah kasus positif corona di Indonesia terbilang banyak jika dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

Artinya, jika rasio tes PCR di Indonesia ditingkatkan, bukan tidak mungkin jumlah kasus positif meningkat berkali-kali lipat. Nah, ini sebab Aceh perlu segera melakukan tes massal Covid-19," imbuh Samsul Rizal.

Ia tambahkan, menyadari pentingnya pemeriksaan massal yang lebih akurat, beberapa kepala daerah mulai memanfaatkan fasiltas realtime PCR di daerahnya untuk mendapatkan gambaran pasti perkembangan covid.

Tes massal itu, lanjut Samsul, semakin mendesak karena hampir lima bulan sudah dunia dilanda Covid-19, tapi belum ada tanda-tanda bahwa pandemi ini akan berakhir, meski beberapa negara melaporkan penurunan kasus, namun tidak ada yang berani melakukan hidup normal, seperti kondisi enam bulan yang lalu.

Menurut Samsul, berada dalam kondisi lockdown atau pembatasan sosial berskala besar apa pun istilahnya dalam waktu lebih dari tiga bulan bukanlah hal mudah untuk semua negara.

Bahkan negara sekelas Amerika saja tidak kuat, ketika banyak desakan dari masyarakat yang kehilangan pendapatan, pekerjaan, dan penghidupannya, maka dunia mulai harus memilih antara sektor ekonomi dan dampak sosialnya atau sektor kesehatan dan praktisi di dalamnya.

"Bila kita membandingkan ratio tenaga medis dan masyarakat di negara maju adalah 1:1.000 atau 0,01% sementara Indonesia 1: 4.000 atau 0,025%. Semua pemimpin pasti cemas akan dampak kesehatan akibat Covid-19, tapi lebih cemas pada dampak sosial ekonomi yang terjadi. Maka sangat wajar pada akhirnya dunia mulai berpikir untuk melakukan aktivitas dan menggerakkan kembali roda ekonomi yang sempat terhenti," ulas Samsul.

Menyinggung tentang new normal, Samsul menyebut istilah ini kini menjadi istilah populer baru.

Dunia harus adaptif dengan kondisi Covid-19, kehidupan dengan masker, menerapkan social dan physical distancing, personal hygine dengan cuci tangan akan menjadi keseharian manusia ke depannya.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved