10 Tahun Wafatnya Hasan Tiro

10 Tahun Meninggalnya Hasan Tiro, In Memoriam Berakhirnya Sebuah Catatan Harian

Tumbuh suburkan terus perdamaian Aceh. Andai saya mati besok, perdamaian Aceh harus tetap berlanjut," Hasan Tiro 11 Oktober 2008

Penulis: Syamsul Azman | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/ SYAMSUL AZMAN
In Memoriam Berakhirnya Sebuah Catatan Harian, Arsip koran Serambi Indonesia edisi Jumat 4 Juni 2010. 

TENGKU HASAN TIRO Kamis (3/6/2010) tutup usia menjelang 85 tahun adalah sosok yang sangat cinta Aceh, seperti kecintaannya terhadap Indonesia pada awalnya. Ia tadinya nasionalis sejati, mengabdi sepenuh hati untuk republik ini. Bahkan saat berumur 20 pada tahun 1945 ia ikut menggerek Bendera Merah Putih di kampungnya, Tanjong Bungong, Pidie.

Hasan Tiro muda mendapat banyak pengajaran tentang nasionalisme dari guru idolanya, HM Nur El-Ibrahimi. Itu sebab, ketika tokoh-tokoh Aceh mendukung kemerdekaan Indonesia, Hasan Tiro yang masih muda langsung bergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia di daerahnya. Lalu pada 24 September 1945, keluarga besar Tiro, termasuk pamannya, Umar Tiro, mengaku setia kepada Indonesia.

la juga tak pernah menampik ketika mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII.

Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).

Tamat dari UII, Hasan Tiro kembali ke Aceh, bekerja pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara. Saat itu ibu kota negara dipindah ke Aceh, mengingat Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia sudah dikuasai Belanda saat terjadi agresi kedua Belanda.

Saat umurnya 25 tahun, pria kelahiran 25 September 1925 ini terpilih sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan program magister dan doktoral di Universitas Columbia, Amerika Serikat (AS). Ia akhirnya kuliah di Jurusan Politik dan Hukum Internasional. Disertasi doktornya yang berjudul "Konsutusionalisme Kesultanan Aceh" menunjukkan betapa ia paham dan cinta Aceh.

Sambil kuliah, Hasan Tiro bekerja pada Perutusan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkantor di New York.

Tapi karena merasa Jakarta “melukai" Aceh, nuraninya berontak, lalu berbalik memusuhi Pemerintah Indonesia. Ia bahkan rela melepas jabatan Staf Penerangan PTRI untuk PBB, semata-mata demi Aceh.

Itu terjadi berdasarkan mandat yang diberikan Teungku Daud Beureueh, pemimpin DI/TII di Aceh--mendaftarkan diri sebagai Menteri/Duta Besar Darul Islam Indonesia/ Negara Islam Indonesia di PBB pada tahun 1954, saat DI/TII bergolak di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Tapi PBB menolak Hasan Tiro.

Awalnya nurani Hasan Tiro tergetar saat mendapat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/ TII Aceh.

Hari Ini 10 Tahun Lalu, Hasan Tiro Wafat Sehari Setelah Menjadi WNI

Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita tersebut, sehingga Hasan Tiro membacanya.

Dari kota "melting pot" New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdaņa Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Desak Indonesia minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dia minta dihukum berat.

Ia beri tenggat waktu sekitar dua minggu kepada Ali Sastro merespons tuntutannya. Jika tidak, maka Hasan Tiro akan resmi mendaftarkan dirinya sebagai Dubes Darul Islam Indonesia PBB. Karena Ali Sastro tak menggubris, gertakan itu akhirnya jadi kenyataan. Ini pemberontakan pertama Hasan Tiro kepada Indonesia.

Akibatnya, paspor diplomatiknya dicabut, sehingga ia menjadi sosok yang tak punya, kewarganegaraan (stateless). Untung ia tak ditahan Imigrasi AS, karena mampu membayar denda 500 US dolar. Untung pula ada dua senator AS kenalannya yang membuat rekom, sehingga Hasan Tiro mendapat status permanent residence di New York.

Setamat kuliah S3 di Columbia University, Hasan Tiro menikahi Dora, perempuan keturunan Iran berkebangsaan Amerika. Dari hasil perkawinan itu, pasangan ini dianugerahi putra tunggal, Karim Tiro.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved