Tensi Panas Amerika Serikat vs China Kembali Membara, Kali Ini Terkait Kepemilikan Nuklir
pembahasan tentang perlucutan senjata nuklir dapat menjadi front baru dalam perpecahan yang semakin dalam antara China dan Amerika Serikat.
SERAMBINEWS.COM - Tensi panas antara dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China kembali membara.
Sebelumnya antara Washington dan Beijing bersaing dalam perang dagang semenjak Donald Trump naik tahta di negeri Paman Sam.
Setelah itu, berbagai masalah menjadi bumbu dalam perselisihan kedua negara besar tersebut.
Mulai dari saling lempar soal dalang virus Corona, status Hong Kong dan kini terbaru adalah soal kepemilikan senjata nuklir.
Kali ini, pembahasan tentang perlucutan senjata nuklir dapat menjadi front baru dalam perpecahan yang semakin dalam antara China dan Amerika Serikat.
Hal ini memungkinkan setelah Beijing menolak untuk bergabung dengan perundingan dengan Washington dan Moskow untuk memperpanjang perjanjian penting tersebut.
Diberitakan South China Morning Post, utusan kontrol senjata AS Marshall Billingslea pada hari Rabu mendesak Beijing untuk memikirkan kembali keputusannya menjelang negosiasi yang akan dilangsungkan pada akhir bulan ini.
Billingslea akan bertemu dengan wakil menteri luar negeri Rusia Sergei Ryabkov di Wina pada 22 Juni untuk membahas perpanjangan New Start, sebuah perjanjian pengurangan senjata nuklir yang dinegosiasikan di bawah pemerintahan Barack Obama yang akan berakhir Februari.

Ilustrasi Angkatan Laut Amerika Serikat. AS dan NATO adakan latihan perang di Laut Baltik dekat Rusia. (US Navy)
“China hanya mengatakan tidak memiliki niat untuk berpartisipasi dalam negosiasi trilateral. Itu harus dipertimbangkan kembali,” ucap Billingslea.
"Mencapai status kekuatan yang hebat membutuhkan perilaku dengan tanggung jawab kekuatan yang besar."
"Tidak ada lagi Tembok Besar Kerahasiaan pada pembangunan nuklirnya."
"Kursi menunggu kehadiran China di Wina,” tulisnya, sehari setelah mengkonfirmasikan bahwa Beijing telah diundang ke perundingan tersebut.
Sementara itu, mengutip Wall Street Journal, Moskow tidak akan menekan China untuk bergabung dalam perundingan dengan negosiator AS dan Rusia.
Kendati demikian, menurut Deputi urusan Kementerian Luar Negeri Rusiam Sergei Ryabkov pada Selasa (9/6/2020), absennya partisipasi China akan menimbulkan tantangan signifikan bagi pemerintahan Trump dalam mencapai kesepakatan nuklir.