16 Juni 1948 dalam Sejarah

Seulawah, Burung Besi yang Kini Teronggok Sepi

Replika yang di Blangpadang ini diresmikan Panglima TNI Jenderal LB Moerdani pada 30 Juli 1984.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Nur Nihayati
KOLASE
Kolase foto replika pesawat Seulawah RI-001 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. 

Replika yang di Blangpadang ini diresmikan Panglima TNI Jenderal LB Moerdani pada 30 Juli 1984.

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Pertemuan Presiden Soekarno dengan para saudagar Aceh yang terhimpun dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida), di Hotel Atjeh Banda Aceh, tanggal 16 Juni 1948, membuahkan hasil luar biasa.

Pertemuan ini menjadi awal dari terkumpulnya sumbangan rakyat Aceh untuk membeli satu pesawat yang akan menyokong dan memperkuat kemerdekaan Republik Indonesia.

Berbeda dengan Hotel Atjeh yang kini tidak berbentuk lagi, pesawat “Seulawah” sumbangan rakyat Aceh untuk menyokong kemerdekaan Indonesia, masih tersimpan dalam bentuk replika sesuai bentuk aslinya.

Ada tiga replika pesawat Seulawah RI-001 yang dibuat.

Satu berada di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta.

Satu ditempatkan di Lapangan Blang Padang Banda Aceh sebagai monumen.

Replika yang di Blangpadang ini diresmikan Panglima TNI Jenderal LB Moerdani pada 30 Juli 1984.

Replika lainnya berada di Museum Rangoon, Myanmar.

Monumen Pesawat Seulawah RI-001
Monumen Pesawat Seulawah RI-001 (SERAMBINEWS.COM/M ANSHAR)

Hari Ini 72 Tahun Lalu, Ketika Soekarno Menolak Jamuan Makan Malam Saudagar di Hotel Atjeh

Kisah Keluarga Miskin di Aceh Timur dengan Tiga Anak Didera Lumpuh Layu

Korban Puting Beliung di Aceh Utara Sudah Sepekan Mengungsi, Begini Kondisinya

Data dihimpun Serambinews.com, pesawat Seulawah memiliki panjang badan 19,66 meter, rentang sayap 28.96 meter itu.

Pesawat ini digerakkan dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg, mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Seulawah RI-001 diparkir di halaman Anjungan Aceh Taman Mini sejak 1975.

Semula pasawat tersebut berada di Museum Transportasi Taman Mini.

“Sebagai bagian dari monumen, kemudian dipindah ke Anjungan Aceh,” jelas Kepala Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah, Drs Syarifuddin AG kepada Serambinews, pada tahun 2010 lalu.

Seulawah yang bertengger di Anjungan Aceh Taman Mini itu adalah replika (tiruan).

Dikomersilkan di Myanmar

Tak hanya menyokong kemerdekaan Indonesia, pesawat Seulawah yang dibeli oleh rakyat Aceh juga memaikan peran penting di negara Burma (kini Myanmar).

Sebeb itu pula, replika pesawat ini ada di Museum Rangoon, Myanmar.

Pemerintah Myanmar merasa berhutang budi kepada Seulawah karena telah ikut menjadi pesawat angkut di negara tersebut pada 1949.

Di negeri itulah untuk pertama kali pesawat yang diregistrasikan RI-001 dikomersilkan kepada Pemerintah Burma yang ketika itu sedang menghadapi pemberontakan dalam negeri.

Pemerintah Burma membutuhkan angkutan udara untuk membantu perjuangan militernya menumpas gerakan pembertontak ekstrim kiri dan eksrim kanan.

Ceritanya begini.

Selesai menjalani perawatan di Calcutta India, Seulawah diterbangkan menuju Rangoon, Burma, pada 26 Januari 1949 dan langsung mendapat tugas penerbangan sebagai pesawat carteran dan terlibat dalam berbagai misi operasi militer di negara tersebut.

Menurut catatan sejarah yang dikumpulkan oleh Subdisjarah TNI AU dalam buku ”Peran TNI AU Pada Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia 1946-1949” (2001), kebijakan menyewakan Seulawah RI-001 itu dalam rangka mengatasi keuangan yang mulai suram.

Mengingat hubungan dengan Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Yogyakarta terputus akibat diduduki Belanda pada 19 Desember 1948.

Keadaan ini menimbulkan persoalan pembiayaan pemeliharaan pesawat yang ketika itu masih menjalani perawatan di Calcutta India.

Beruntung sewa carteran dibayar secara tunai.

Biaya itu digunakan menutupi seluruh kebutuhan.

Opsir Udara (OU) II Wiweko Supeno, perwira senior Angkatan Udara dan beberapa awak pesawat lainnya memiliki gagasan untuk memberdayakan Seulawah dengan mengubah statusnya menjadi perusahaan penerbangan sipil, dengan tujuan komersil dan sekaligus politis.

Tapi gagasan itu tidak serta merta dapat diwujudkan di India karena di sana telah ada ada perusahaan penerbangan Indian National Airways (INA).

Ide itu akhirnya terwujud di Burma.

Kegiatan usaha carter pesawat tersebut dilembagakan menjadi satu perusahaan penerbangan yang diberi nama Indonesian Airways.

Inilah perusahaan penerbangan pertama milik Indonesia sebelum kemudian berubah menjadi Garuda Indonesia Airways.

Hasil usaha di Burma, Indonesian Airways berhasil menambah satu lagi armadanya dengan membeli satu buah pesawat jenis Dakota yang diregistrasi RI-007 dan menyewa satu pesawat lain dengan regsitrasi RI-009.

Usaha Indonesian Airways berkembang sedemikian rupa.

Sebelum diterbangkan ke Burma, Seulawah RI-001 sedang menjalani perawatan (overhoul) di Calcutta India.

Seulawah terbang ke India pada 1 Desember 1948, sempat singgah di Lapangan Udara Piobang Payakumbuh dan Kutaraja dan tiba di Calcutta 7 Desember 1948.

Perbaikan yang dilakukan meliputi perawatan besar (major overhoul), pengecatan dan pemasangan tanki jarak jauh, dimaksudkan agar pesawat bisa terbang jauh tanpa pengisian bahan bakar, mengingat blokade udara Belanda yang sangat ketat.

Dijadwalkan Seulawah tiba kembali di Indonesia pada 15 Desember 1948.

Kabarnya Presiden Soekarno akan menggunakan pesawat itu untuk sebuah perjalanan ke India.
Tapi sampai tanggal dimaksud, perbaikan belum juga selesai.

Hingga meletusnya Agresi Militer II Belanda pada 18 Desember 1948 perbaikan belum juga rampung. Seulawah tetap berada di Calcutta.

Inilah yang menyelamatkan Seulawah dari kehancuran.

Sebab boleh jadi, apabila Seulawah sudah kembali ke Tanah Air, pasti akan menjadi sasaran serangan Belanda.

Seludupkan Senjata

Selain sebagai pesawat angkut pertama milik Indonesia, Seulawah RI-001 juga sempat menjalani tugas rahasia menyeludupkan senjata, amunisi dan alat komunikasi dari Burma ke Aceh, dengan satu kode melalui pesan radio

”...pintu rumah Blangkejeren sudah selesai tetapi membawa minuman sendiri...”. yang diterima pimpinan Seulawah RI-001, OU Wiweko Soepeno.

Itu artinya bahwa senjata sudah siap diangkut dan mendarat di Blang Bintang dengan membawa bensin udara sendiri.

Misi rahasia yang dipimpin Wiweko itu berhasil sukses.

Seulawah mendarat mulus pada malam hari di Blang Bintang dengan panduan cahaya obor dan lampu mobil ke landasan.

Peristiwa penting ini terjadi pada 8 Juni 1949. Senjata yang diseludupkan jenis Bren Inggris seharga US$ 8.000 Sn US$ 10.000 yang dibayarkan pada September dan Oktober 1949.

Selang beberapa waktu kemudian dilakukan penyelundupan kedua kali dengan sasaran pendaratan di Lhok Nga.

Senjata yang dibawa Brend Inggris 6 buah, cadangan laras senjata 150 pucuk dan amunisi.
Penyelundupan yang kedua inipun dilakukan pada malam hari.

***

Kenangan sosok ”Seulawah” mengapung kembali hari ini, 16 Juni.

Sebuah kenangan yang -- boleh jadi -- sudah dilupakan.

Hotel Atjeh tempat jamuan makan malam dengan Soekarno itu sudah hilang jejak.

Tinggal tiang pancang yang oleh beberapa seniman Aceh diperingati dalam sebuah pertunjukan ”mengenang tangis Soekarno.”(fikar w.eda)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved