Seniman Berkarya
Koreografer Nana Noviana: Tari Tradisi Aceh Tetap Punya Ruang, tapi Kurang Referensi
Di Aceh, kalau seorang perempuan sudah menikah, biasanya sudah terbatas waktunya untuk berkegiatan bidang tari. Ada tanggung jawab lain lagi, yakni m
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Fikar W Eda I Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Menjadi seorang penari di Aceh tidak sebebas di luar Aceh. Terutama untuk perempuan. Banyak sekatan yang harus dialami, antara lain norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Meski demikian bukan berarti, lantas kreativitas terhenti atau mati.
"Di Aceh, kalau seorang perempuan sudah menikah, biasanya sudah terbatas waktunya untuk berkegiatan bidang tari. Ada tanggung jawab lain lagi, yakni mengurus rumah tangga. Waktu tersita ke sana. Kecuali ada kegiatan-kegiatan tertentu, baru aktif lagi," kata Nana Noviana SPd, MSn, koreografer yang berdomisili di Meulaboh, Aceh Barat.
Nana menyampaikan hal ini saat menjadi salah seorang pembicara dalam "Bincang-Bincang Tari Aceh Virtual" yang dipandu Murtala, seniman Aceh di Australia.
"Kendala dari dalam, ya, kadang ada rasa malu juga kalau sudah menikah masih menari," cerita Nana, yang lahir di Aceh Barat pada 1988.
Nana yakin bahwa masa depan tari Aceh akan terus berkembang dan mendapat ruang luas. Terutama tari tradisi. Karena generasi penari terus lahir, melalui sekolah atau sanggar-sanggar seni di berbagai daerah. Walau disadari, untuk daerah, regenerasi ini tidak bisa berjalan cepat, sebabnya, sanggar-sanggar yang tumbuh tidak banyak, begitu juga sekolah-sekolah, tidak semua mengajarkan tari.
Diantara sedikit sanggar seni yang aktif di Meulaboh, salah satunya Sanggar Mulia Nanggroe, yang didirikan Nana pada 2012. Kemudian sanggar ini berganti nama menjadi Lembaga Seni Nana Art Dance pada 2017. Melalui sanggar inilah nana mengembangkan ide dan kreativitasnya di bidang tari. Salah satu karyanya berjudul Piasan Meugalah dipentaskan pada Tanglong Dance Festival II di Taman Budaya Banda Aceh Tahun 2014.
Tahun 2019, Nana terlibat sebagai penata tari dan penari Ratoh Jaroe massal pada perayaan 17 Agustus di Yogyakarta. Di tahun yang sama juga berkesempatan menjadi penari Ratoh Jaroe untuk film Paramita yang diorganisir oleh Ekos Dance Company dan Produser Mark Magidson dan Ron Fricke USA. Selain karya cipta tari, Nana juga meneliti dan menuliskan karya ilmiah dalam bentuk jurnal.
• Pidie Kembali Raih WTP Lima Kali Berturut-turut dari BPK, Ini Dua Kunci Utama
• Viral, Cara Unik Seorang Pria Pastikan Orang Jaga Jarak di Mall, Lakukan Split di Eskalator
• Polisi Ringkus 4 Pelaku Perdagangan Kulit Harimau di Aceh Timur, Rencana akan Dijual Rp 100 Juta
Kecintaan Nana dalam dunia tari tumbuh secara alami dalam dirinya. Mulai menari sejak kecil tahun 1993, saat duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lalu terus belajar menari dari sekolah ke sekolah, dari satu pelatih ke pelatih lain, dan juga sejak kecil pernah membentuk kelompok tari di daerah ketika duduk di bangku sekolah dasar tahun 1998-an. Semasa sekolah selain aktif di seni tari, Nana juga aktif di kepramukaan sejak sekolah dasar, menengah, atas hingga di dewan kerja daerah.
Menyadari bakat dan potensi itu, Nana kemudian belajar dan mengenal diri sendiri ke ranah tari. Fokus dan konsen dalam mendalami tari tradisi Aceh membawa membuat Nana terus mencari ruang dan menggali keilmuan tari baik itu secara teori maupun praktik. Lalu ketika menempuh pendidikan FKIP Jurusan Fisika di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Nana kemudian masuk UKM Seni Putroe Phang Unsyiah Banda Aceh sejak Tahun 2007 – 2011. DI UKM itu ia banyak belajar lagi mengenai tari Aceh.
“Bagi saya untuk fokus dan konsisten terhadap tari butuh waktu dan ruang yang kontinyu dalam menemukan tubuh tari di dalam diri,” kata Nana. Tak hanya sampai di situ, keinginan mendalami ilmu tari ia lanjutkan dengan masuk program pascasarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, selesai 2019.
Ia lalu pulang kampung dan mengembangkan profesinya sebagai pengajar dan pembina sanggar. Sejak 2011 Nana diangkat sebagai dosen seni di STKIP Bina Bangsa Meulaboh. Juga pernah mengajar di beberapa sekolah di Aceh Barat dan Nagan Raya.
Selama pandemi Covid--19, Nana juga tidak diam. Ia mengadakan kegiatan menari bersama dalam rangka hari tari se dunia (World Dance Day) dengan tema “Dalam bingkai Tradisi-Seudati” di Tugu Meukeutop Meulaboh Aceh Barat pada 29 April 2020. Kegiatan ini diorganisir oleh Lembaga Seni Nana Art Dance dan diikuti oleh beberapa para pelaku seni tari dan masyarakat Aceh Barat. Dalam kegiatan menari bersama ini tetap mengkondisikan dengan membatasi peserta 15 orang. Juga diharuskan jaga jarak serta memakai masker. Kegiatan tersebut sengaja dilakukan pada pagi hari dan di tempat terbuka untuk mendapatkan sinar matahari guna meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
"Pandemi memang membuat aktivitas seni di Meulaboh terhenti. Pertunjukan tidak ada. kegiatan latihan juga terhenti," ujar Nana.
Ia mengajak masyarakat lebih mengenal luas lagi tentang tari, mengikuti setiap perkembangannya dan membuka ruang kreativitas kepada generasi. Begitu pula bagi generasi muda-mudi di Aceh agar lebih peduli dan bersedia belajar supaya seni tari terus bertahan dan berkembang. Tentunya akan lebih produktif apabila didukung penuh oleh pemerintah setempat. "Untuk itu, mari bersama-sama saling peduli," ajaknya.
Nana sempat mengeluhkan mengenai kurangnya referensi tari Aceh. Buku-buku yang tersedia, selain jumlahnya sedikit, juga masih harus dilakukan pendalaman data. "Ia menyerukan kepada para peneliti, akademisi, dan praktisi menyusun bersama notasi gerak tari Aceh yang komprehensif dan didukung data kuat. Kesulitan kita, Aceh kurang referensi," Nana Noviana membuat tantangan.(*)