Kupi Beungoh

Menyoal Fasilitas dan Pelayanan di Balik Anggaran Covid-19 yang Melimpah

"Diharapkan pihak Ombudsman bisa turun kembali memeriksa SOP yang dijalankan oleh fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan penanganan Covid-19."

Editor: Nasir Nurdin
Serambinews.com/Handover
Zaina Abidin Suarja 

Oleh: Zainal Abidin Suarja*)

 APA yang akan saya sampaikan berikut ini adalah pengalaman seorang warga masyarakat yang berdomisili dalam salah satu kecamatan di Kota Banda Aceh.

Di tengah pandemi Covid-19, termasuk meningkatnya kasus di Kota Banda Aceh, tiba-tiba warga tersebut merasakan ada yang tidak enak dengan kondisi kesehatannya.

Rasa tidak nyaman itu terus berlanjut selama beberapa hari hingga akhirnya pada 29 Juni 2020 warga tersebut memutuskan untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

Namun kenyataan yang dia temukan di lapangan ternyata tidak semulus yang dia harapkan.

Dari tiga puskesmas yang didatangai warga tersebut, yaitu Kuta Alam, Meuraxa, dan Puskesmas Ulee Kareng di wilayah domisilinya, tak satu pun memiliki yang namanya alat rapid tes Covid-19.

Langkah yang dia lakukan murni atas kesadarannya sendiri. Dia ingin—paling tidak—mendapatkan jawaban kenapa kondisi kesehatannya terasa ada masalah. Dengan rapid tes dia berharap bisa terjawab, meski dia sangat berharap tidak reaktif Covid-19.

Meski kecewa karena tidak satu pun dari tiga puskesmas di Kota Banda Aceh yang memiliki alat rapid tes, namun warga tersebut terus berusaha. Dia terus bergerak dan akhirnya singgah di salah satu puskesmas dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Sungguh di luar dugaannya, ternyata di puskesmas dalam wilayah kabupaten yang bertetangga langsung dengan Kota Banda Aceh ini, alat rapid tes tersedia. Dia pun mendapatkan layanan rapid tes gratis, tanpa biaya dan birokrasi yang melilit.

Kasus ketiadaan alat rapid tes di puskesmas dalam wilayah Kota Banda Aceh akhirnya sampai ke pihak Ombudsman RI Perwakilan Aceh. Informasi itu langsung disikapi oleh pihak Ombudsman dengan melakukan sidak ke sejumlah puskesmas.

Ternyata, sebagaimana dilansir oleh Serambinews.com edisi 29 Juni 2020, apa yang dialami oleh warga tersebut benar adanya.

Mengutip berita tersebut, setelah menerima informasi tentang ketiadaan alat rapid tes, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin Husin melakukan inspeksi mendadak (sidak) bersama para asistennya, Rudi Ismawan dan Ilyas Isti.

Sidak yang berlangsung Senin, 29 Juni 2020 tersebut ternyata membenarkan informasi yang berkembang.

Kisah Pertemuan Dua Bocah Kawan Akrab, Setelah Dua Bulan tak Jumpa karena Lockdown Covid-19

"Hasil sidak yang kami lakukan, beberapa puskesmas di Banda Aceh tidak tersedia stock yang ready untuk digunakan ketika ada orang yang mau rapid tes secara proaktif," sebut Taqwaddin menyiratkan kekecewaan.

Berdasarkan pantauan Tim Ombudsman, dari dua puskesmas yang dituju, tidak satupun yang tersedia alat rapid tes yang siap digunakan oleh masyarakat.

                              ***

Sehari setelah inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan oleh tim Ombudsman RI Perwakilan Aceh ke beberapa Puskesmas di Kota Banda Aceh, tiba-tiba warga tersebut menerima telepon dari salah satu puskesmas.

Penjelasan yang disampaikan meralat apa yang dikatakan sebelumnya. Yang dikatakan –pascasidak Ombudsman—bahwa alat dan pelayanan yang ada di puskesmas hanya untuk melayani masyarakat di wilayah kerja mereka.

Pelayanan untuk wilayah kerja termasuk untuk unsur muspika. Tatacara untuk mendapatkan fasilitas dan pelayanan adalah dengan mendaftar terlebih dahulu untuk kemudian diteruskan ke Dinas kesehatan Kota Banda Aceh guna mendapatkan alat uji tes tersebut.

Setelah alat tes tiba, masyarakat yang tadi telah mendaftar akan dihubungi kembali oleh pihak puskesmas.

Namun yang tidak dijelaskan bagaimana syarat untuk bisa memperoleh layanan ini. Apakah seseorang harus menjadi ODP, berasal dari zona merah atau terindikasi terpapar suspect.

Melalui pesan WhatsApp dari Satgas Covid-19 Kota Banda Aceh di nomor 0811-6715-577, warga tersebut juga mendapatkan informasi bahwa rapid tes dan swab bisa dilakukan langsung ke RSUDZA Banda Aceh karena beberapa puskesmas belum memiliki alat dimaksud.

Tambang Batu Giok di Myanmar Longsor, 162 Orang Tewas dan Puluhan Lainnya Masih Hilang

Namun ketika dikirimkan salah satu berita artikel di web Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh bahwa  Puskesmas Kopelma Darussalam dan Jeulingke mempunyai alat dimaksud dan pernah menggelar tes swab masal beberapa waktu lalu, nomor pelayanan satgas tersebut tidak menjawab lagi meski pesan dibaca.

Selain menyoroti lemahnya manajemen koordinasi dan birokrasi penanganan Covid-19 di Kota Banda Aceh—sebagaimana contoh kasus yang dialami seorang warga dan sempat ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI Perwakilan Aceh—hal lain yang patut dikritisi adalah belum maksimalnya pelayanan Poliklinik Pinere RSUDZA.

Kondisi itu bisa terlihat antara lain dari sistem antrean yang masih sangat manual. Tidak ada petugas khusus yang langsung membagikan nomor atau mesin antre untuk pengambilan nomor sesuai protokol keamanan kesehatan.

Masyarakat yang sudah datang dan menunggu antrean berebutan untuk mendapatkan nomor antrean yang terbatas tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Siapa terdepan atau mempunyai tangan panjang, dialah yang akan mendapatkan nomor. Bahkan kalau sekiranya calo yang mengambil nomor tersebut, petugas tidak akan tahu.

Hal ini tetap terlihat pada sesi pembagian nomor antrean, baik  pada sesi pagi, pukul 07.30 maupun siang, pukul 13.30 WIB. 

Sosok Bupati Kutai Timur Ismunandar yang Jadi Tersangka KPK Bersama Istri

Akibat sistem antre seperti ini banyak yang  ‘terpaksa’ mengalah daripada ‘cari masalah’ khususnya kaum perempuan dan lansia.

Selain sistem pembagian nomor antrean yang masih konvensional, juga fasilitas yang sangat minim. Tidak ada ambulans khusus, atau kursi roda atau bahkan pendamping yang akan mendampingi para pasien suspect untuk berpindah dari IGD Pinere ke RICU Pinere yang berjarak sekitar 500 meter.

Pasien dimita berjalan sendiri di aspal yang terpanggang matahari dengan pemandu petugas keamanan di atas kendaraan roda dua di depan.

Selanjutnya, para pasien suscpet ini ditinggalkan di kursi panjang di salah satu bagian teras RICU, tanpa adanya pendamping perawat atau bahkan siapapun di sekitarnya. Bagaimana kalau pasien tersebut sakit, penyandang disabilitas atau lansia?

VIDEO - Peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam. Masjid Raya Baiturrahman, Gunongan dan Meriam Tiga

Kondisi yang terpantau di IGD Pinere RSUDZA, petugas keamanan yang bertugas hanya seorang, karena sosok yang sama itulah yang terlihat berhari-hari di lokasi.

Pada waktu-waktu tertentu—kemungkinan harus istirahat—menyebabkan lokasi tugas kosong. Sehingga—karena tak ada petugas—tak jarang ditemukan masyarakat yang merokok di lokasi IGD. Parkiran juga yang amburadul sehingga menyulitkan ambulans ke luar masuk ke lokasi.

Persoalan lain di IGD Pinere dan RICU, seperti tidak ada sinkronisasi yang real antara petugas IGD Pinere dan RICU Pinere.

Indikasinya sering terjadi kececeran dokumen pasien, sehingga ada pasien yang bolak-balik beberapa kali dari 2 gedung tersebut. Selain itu, petugas RICU Pinere juga tidak standby dan harus menunggu dipanggil terlebih dahulu jika ada pasien yang ingin melakukan pemeriksaan.

VIDEO - Plt Gubernur Aceh Janji Bantu Fasilitasi Keluarga Ziarahi Makam Cekgu Muhammad Zaki

Terkait Kasus Unggah Video yang Sorot Dada, Polisi Sebut Eks Pegawai Starbucks Suka pada Korban

Mengingat begitu seriusnya wabah Covid-19, harusnya pemerintah, baik itu Kota Banda Aceh maupun Pemerintah Aceh lebih peduli, simpati dan empati kepada masyarakat dengan memberikan pelayanan dan standar mutu prima. Apalagi anggaran yang dialokasikan untuk melawan pandemi ini sangat besar.

Menanggapi berbagai persoalan di lapangan, diharapkan pihak Ombudsman bisa turun kembali memeriksa SOP yang dijalankan oleh fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan Covid-19. Misalnya, standar waktu hasil pemeriksaan yang tidak jelas.

Kenapa Lab Unsyiah bisa menyelesaikan hasil swab dalam 5 jam, Baliltbangkes daerah lain juga maksimal 48 jam.

Di Aceh seperti tidak ada batas waktu penyelesaian hasil lab. Bahkan, ada pasien yang sudah melewati 120 jam, belum mengetahui stasus dan hasil tesnya. Belum lagi ada indikasi kebocoran data pasien ke masyarakat di sekitar suspect. Kalau sumber kebocoran ini adalah oknum petugas medis atau paramedis, tentu ini pelanggaran kode etik.

*) PENULIS, Zainal Abidin Suarja adalah Pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Aceh yang juga Ketua Lembaga Riset Natural Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved