Opini

Mengejar Adipura di Tengah Tumpukan Sampah

SETIAP tahun, momentum World Cleanup Day (WCD) yang diperingati secara global menjadi pengingat kolektif akan tanggung jawab

Editor: mufti
IST
Dr Ir Kurdi ST MT SH IPM ASEAN Eng, Kadis PUPR Aceh Barat dan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cabang Aceh Barat 

Dr Ir Kurdi ST MT SH IPM ASEAN Eng, Kadis PUPR Aceh Barat dan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cabang Aceh Barat

SETIAP tahun, momentum World Cleanup Day (WCD) yang diperingati secara global menjadi pengingat kolektif akan tanggung jawab terhadap kebersihan planet ini. Tahun 2025 ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, jutaan relawan di seluruh dunia, termasuk di berbagai sudut Indonesia, turun ke jalan, membersihkan sungai, pantai, dan ruang publik dari sampah yang menggunung. Gerakan ini adalah simbol optimisme, sebuah penegasan bahwa kepedulian komunal masih hidup.

Namun, di tengah semangat gotong royong global ini, sebuah ironi subtil kerap kali terlintas di benak kita, terutama bagi warga kota-kota di Indonesia. Ketika kita bersemangat membersihkan lingkungan dalam satu hari, kita sering kali dihadapkan pada realitas pahit di 364 hari lainnya: tumpukan sampah di sudut pasar, drainase yang tersumbat oleh plastik, hingga tempat pembuangan akhir (TPA) yang kian menggunung laksana bom waktu ekologis.

Ironi ini semakin tajam ketika semangat WCD bersanding dengan ambisi pemerintah daerah untuk meraih penghargaan Adipura. Adipura, sebuah anugerah prestisius yang diidamkan banyak kota, dimaksudkan sebagai pemicu untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang bersih, teduh, dan berkelanjutan.

Namun, pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan dengan jujur adalah: apakah pengejaran Adipura telah benar-benar mengubah kultur kita dalam mengelola sampah, atau hanya menciptakan sebuah euforia seremonial yang bersifat sementara dan artifisial?

Adipura vs seremoni

Tidak ada yang salah dengan penghargaan. Adipura, sejak digagas pada tahun 1986, memiliki niat mulia untuk mendorong pemerintah kota/kabupaten dan masyarakatnya peduli terhadap kebersihan dan pengelolaan lingkungan. Ia menjadi tolok ukur, standar, dan motivasi. Di banyak kota, program Adipura berhasil menyulap wajah kota menjadi lebih hijau dan tertata. Taman-taman kota direvitalisasi, jalan-jalan protokol disapu bersih, dan tempat sampah diperbanyak.

Akan tetapi, kita tidak bisa menutup mata terhadap praktik yang jamak terjadi. Menjelang periode penilaian Adipura, banyak kota mendadak "bersolek". Operasi semut, kerja bakti massal, dan mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) digerakkan secara masif. Sudut-sudut kota yang selama ini kumuh disulap dalam semalam. Sampah-sampah yang biasanya meluber diangkut dengan frekuensi lebih tinggi.

Semua bekerja keras demi satu tujuan: meyakinkan tim penilai bahwa kota mereka layak diganjar piala supremasi kebersihan.

Setelah piala berhasil diraih atau periode penilaian usai, apa yang terjadi? Sering kali, kota kembali ke "setelan pabrik". Ritme pengelolaan sampah kembali seperti semula, partisipasi publik menurun, dan sudut-sudut yang kemarin bersih kembali dihiasi sampah.

Adipura yang seharusnya menjadi cerminan dari sebuah sistem yang berjalan baik, justru berubah menjadi tujuan akhir yang dicapai melalui upaya-upaya instan dan mobilisasi sesaat. Inilah dilema terbesar kita: Adipura dipandang sebagai sebuah "proyek", bukan sebagai buah dari "budaya" kebersihan yang mengakar.

Persoalan ini berakar pada paradigma pengelolaan sampah yang sudah usang namun masih dominan dianut: paradigma linier "kumpul-angkut-buang". Pemerintah daerah, dengan segala keterbatasannya, masih memosisikan diri sebagai aktor utama yang bertanggung jawab mengurus sampah dari sumber hingga ke TPA. Masyarakat, di sisi lain, dididik secara tidak langsung untuk menjadi "produsen sampah" yang cukup membayar retribusi dan menyerahkan urusan selanjutnya kepada petugas kebersihan.

Model ini terbukti tidak berkelanjutan. Pertama, ia menempatkan beban finansial dan logistik yang luar biasa besar pada APBD. Biaya bahan bakar truk sampah, gaji petugas, dan operasional TPA terus membengkak seiring dengan volume sampah yang tak pernah surut. Kedua, pendekatan ini hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Sampah hanya berpindah dari depan rumah warga ke TPA, yang kapasitasnya semakin hari semakin kritis. TPA seperti Leuwigajah di Bandung atau Bantar Gebang di Bekasi adalah monumen kegagalan dari paradigma ini.
Selama kita masih terjebak dalam pola pikir ini, Adipura akan selamanya menjadi upaya kosmetik. Kota boleh terlihat bersih di permukaan pada saat penilaian, tetapi di "belakang panggung"—di TPA—gunung sampah terus bertambah tinggi, mencemari tanah, air, dan udara, serta mengancam kesehatan generasi mendatang.

Titik pijak

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved