Pemerintah Ingin Redenominasi Rp 1.000 Jadi Rp 1, Ini Manfaat dan Tantangannya
Rencana tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/2020.
Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang.
Tahap keempat (2016-2018), BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.
Tahap kelima sebagai tahap terakhir (2019-2020), keterangan ”baru” dalam uang cetakan baru akan dihilangkan.
Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.
Meski demikian, redenominasi masih belum berlaku hingga sekarang dan masyarakat masih melakukan transaksi dengan menggunakan denominasi yang biasa.
Praktik redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai suatu mata uang menjadi lebih kecil dan tidak ada jaminan bahwa nilai tukarnya akan berubah.
Indonesia pernah melakukan sanering pada 1962 dan 1965 ketika tingkat inflasi sangat tinggi, masing-masing mencapai 131 persen dan 650 persen.
"Contoh sanering, uang pecahan Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1."
"Ketika harga bawang merah dengan uang lama harganya Rp 30.000 per kilogram, harganya tetap tak berubah menjadi Rp 30.000 dengan uang baru," tulis Paul.
Manfaat Redenominasi
Redenominasi memiliki beberapa manfaat.
Pertama, redenominasi akan mendorong mata uang rupiah lebih efisien dengan memotong beberapa nol.
Tegasnya, redenominasi akan menyederhanakan dan mempercepat penulisan angka pada society worldwide interchange financial telecommunication (SWIFT).
Dalam industri perbankan internasional dikenal alat komunikasi SWIFT untuk keperluan finansial dan non finansial tercepat saat ini.
Selama ini, SWIFT hanya menyediakan maksimal 14 digit (angka) dalam berita yang akan dikirim melalui SWIFT.