Breaking News

Komnas HAM Desak Kapolri Tindak Polisi Penyiksa Sarpan, Saksi Kasus Pembunuhan di Sumut

Ia menilai pemaksaan pengakuan dalam rangka mendapatkan keterangan saat pemeriksaan oleh aparat hukum bertentangan dengan norma HAM.

Editor: Zaenal
komnasham.go.id
Amiruddin, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM RI 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Idham Azis, segera memproses hukum oknum polisi yang menjadi pelaku kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang saksi pembunuhan di dalam tahanan Polsek Percut Sei Tuan, Sumatera Utara.

"Agar penyiksaan dalam tahanan polisi tidak terus berulang, Kapolri harus menindak pelaku penyiksaan di polsek tersebut secara hukum, serta menindak atasan langsung dari pelaku penyiksaan itu," ujar Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin, dalam keterangan tertulis seperti disiarkan Kantor Berita Antara, Sabtu (11/7/2020).

Ia menilai pemaksaan pengakuan dalam rangka mendapatkan keterangan saat pemeriksaan oleh aparat hukum bertentangan dengan norma HAM.

Ia mengatakan perbuatan penyiksaan semacam itu dilarang oleh UU Nomor 5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia.

"Berdasarkan Undang-undang itu, setiap orang yang melakukan penyiksaan bisa dipidana," ujar dia.

Amiruddin menegaskan tindakan penyiksaan tidak dapat ditoleransi.

Agar peristiwa serupa tidak berulang, Komnas HAM mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dan Komisi I DPR segera mengambil langkah-langkah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (OPCAT), untuk memperkuat implementasi UU Nomor 5/1998.

Hal ini terjadi kurang dari dua pekan setelah Kepolisian Indonesia memperingati hari ulang tahunnya yang ke-74.

Dalam upacara di tingkat pusat yang dilaksanakan di Gedung Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia, Jakarta Selatan, pada Rabu (1/7/2020), dia berpesan agar setiap polisi agar terus bekerja maksimal dan profesional dalam melayani masyarakat.

Pada kesempatan itu, sebagai inspektur upacara, Aziz berkata, "Dalam kesempatan ini juga mohon maaf kepada masyarakat Indonesia apabila masih ada kinerja atau hal-hal yang belum bisa membuat ekspektasi masyarakat senang sama Polri."

Diberitakan sebelumnya, seorang tukang bangunan bernama Sarpan (57) mengaku telah menjadi korban penyiksaan saat berada di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan, Polrestabes Medan.

Akibat peristiwa itu, warga Jalan Sidomulyo, Pasar IX, Dusun XIII, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, ini menderita luka di sekujur tubuh dan wajahnya.

Selain mengalami luka-luka akibat penganiayaan yang disebut-sebut dilakukan oknum polisi di Polsek Percut Sei Tuan, Sarpan juga dipaksa mengakui dia pelaku pembunuhan terhadap Dodi Somanto (41).

Padahal, korban justru merupakan saksi dari pembunuhan itu.

Akan tetapi, dia tetap saja diintimidasi oknum polisi dengan harapan mengakui jika ia pelaku pembunuhan.

Sementara, untuk pelaku berinisial A (27) sudah diamankan pascakejadian oleh petugas Polsek Percut Sei Tuan.

Kepolisian Daerah Sumatera Utara kemudian melakukan penyelidikan terkait dugaan penganiayaan itu.

Dalam proses penyelidikan itu, Kepala Polsek Percut Sei Tuan, Komisaris Polisi Otniel Siahaan, dicopot dari jabatannya.

Selain itu, delapan orang personel Polsek Percut Sei Tuan juga ditarik ke Polrestabes Medan untuk disidang disiplin.

Wajah Saksi Kasus Pembunuhan Babak Belur Usai Pemeriksaan, Kapolsek Bantah Ada Penyiksaan

Wajah Saksi Bonyok Usai Diperiksa Polisi Terkait Kasus Pembunuhan, Ini Pengakuan Mengejutkan Sarpan

Dipaksa Mengaku Saat Interogasi

Pada peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional, 26 Juni 2020 lalu, Komnas HAM merilis data sejumlah kasus penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi yang terjadi di kalangan kepolisian.

Data Komnas HAM periode 2019 – April 2020 mencatat 15 kasus dugaan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi yang terjadi di kalangan kepolisian.

Kasus kekerasan terjadi agar terduga pelaku kriminal mengakui sangkaan saat interogasi.

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin menyampaikan, Indonesia telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Namun, perundangan tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi maupun merendahkan martabat manusia.

“Undang-Undang ini sudah ada hampir 22 tahun, namun secara obyektif belum menjadi rujukan,” terang Amiruddin dalam konferensi pers online bertajuk "Hari Anti Penyiksaan: Pencegahan Terulangnya Praktik Penyiksaan dan Ill Treatment Terhadap Perempuan dan Anak" di kantor Komnas HAM, Kamis (25/6/2020).

37 Pasangan ABG Digerebek Rayakan Ultah dengan Pesta Seks: Laki-laki 15 Tahun, Perempuan 13 Tahun

Sementara itu, berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019-2020 terdapat kasus tahanan perempuan dalam lingkaran konflik di Papua dan Papua Barat.

Terdapat indikasi perlakuan penyiksaan dan ill treatment terkait kasus makar terutama ketika mereka melakukan demonstrasi dan menyatakan pendapat.

Lebih lanjut, Amiruddin memaparkan sejatinya terdapat mekanisme internasional dalam pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi.

Mekanisme tersebut telah diatur dalam Optional Protocol dari CAT (OPCAT).

Namun hingga saat ini, Indonesia belum meratifikasi mekanisme tersebut.

“Indonesia sudah menjadi anggota Dewan HAM PBB namun belum memiliki mekanisme yang efektif,” tambahnya.

Supaya isu terus bergulir dan ditindaklanjuti, lima lembaga negara yang terdiri dari Komnas HAM RI, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sepakat untuk mengembangkan Mekanisme Pencegahan Penyiksaan.

ASN Haram Kritik Pemerintah

Sinergi ini kemudian disebut Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) dengan mengacu pada OPCAT.

OPCAT sendiri hadir untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan UNCAT dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional.

OPCAT bertujuan mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari kunjungan berkala ke seluruh tempat-tempat penahanan di dalam yurisdiksi dan kendali dari negara peserta dan, atas dasar kunjungan-kunjungan ini, memberikan rekomendasi-rekomendasi dari ahli-ahli nasional maupun internasional kepada pihak-pihak berwenang dari negara peserta mengenai cara dan langkah-langkah pencegahan penyiksaan.

Pentingnya OPCAT tersebut, mendorong lima lembaga tadi mengajak berbagai pihak untuk meratifikasi OPCAT.

“Kemenlu, Badan Legislasi DPR RI ataupun Pimpinan Komisi I bisa mengambil inisiatif untuk meratifikasi OPCAT,” tegas Amir.

Selain itu, ia juga mengajak berbagai pihak untuk berdialog sebagai upaya pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi.

“Kita perlu melakukan dialog dengan berbagai pihak seperti Kemenkumham, polisi untuk membahas gagasan terkait mekanisme pencegahan terjadinya penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi,” jelas Amir.

Ia juga menekankan bahwa upaya mencegah terjadinya penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi hanya bisa dicapai bersama-sama. (ant/komnasham.go.id)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved