Opini

Perceraian Wanita Aceh

Angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh menunjukan penurunan dari tahun 2018 yang mencapai 1.907 kasus dan 2019 turun menjadi 1.632 kasus

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Perceraian Wanita Aceh
IST
Teuku Dadek Asisten II Setda Aceh

Teuku Dadek

Asisten II Setda Aceh

Angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh menunjukan penurunan dari tahun 2018 yang mencapai 1.907 kasus dan 2019 turun menjadi 1.632 kasus, namun angka perceraian menunjukan peningkatan. BPS mencatat 2019 terdapat 5.928 kasus perceraian (1.533 cerai talak dan 4.395 cerai gugat). Sedangkan Mahkamah Syar'iyah Aceh telah mencatat dan memutuskan perceraian pada 2019 mencapai 6.700 dan 90% di antaranya dapat diselesaikan atau telah ditetapkan oleh pengadilan.

Selama Aceh berada dalam masa konflik 1998, angka perceraian mencapai 3.020 kasus, sekitar tahun 1999-2004 angka perceraian tercatat 1.078-2.167 kasus, dan meningkat pada tahun 2005-2011 (pada tahun 2007 angka perceraian mencapai 4.613 kasus).

Fakta yang perlu dilihat bahwa kasus perceraian sudah menjadi persoalan besar di masyarakat dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama persoalan dampak dari perceraian tersebut. Persoalan pertama belum terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak paska ditetapkannya keputusan Makhamah Syar'iyah, misalnya masalah hak asuh, biaya hidup yang harus dipenuhi mantan suami. Kedua, KDRT yang dialami tidak menjadi bagian dari proses keadilan perceraian.

Inilah yang berkembang dalam Webinar yang dilaksanakan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh yang merupakan kerja sama dengan Pemerintah Australia, 20 Juli 2020 yang bertajuk "International Seminar in Aceh level with the theme of `Time to Build Protection System for Abandoned Women and Children Caused by Divorce in Aceh', pembicara dari Indonesia, Malaysia, dan Australia.

Di samping masalah pemenuhan hak paska perceraian, banyak kasus perceraian yang diputuskan Mahmakah Syari'ah tidak mengangkat dan memproses KDRT yang dialami. Mengapa? Sebab, kewenangan menangani kekerasan berada dalam ranahnya Pengadilan Negeri yang menyelesaikan perkara pidana.

Persoalan perceraian semakin rumit bila perempuan yang cerai tanpa melalui proses pengadilan, baik karena dinikahkan secara siri ataupun hukum dan tercatat oleh negara. Persoalan ini, menjadi penyumbang kongkret angka kemiskinan yang jika dibiarkan semakin mempengaruhi tingkat kemiskinan di Aceh. Sementara itu, kemiskinan merupakan isu strategis yang sedang diatasi pemerintah Aceh, sesuai Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) Aceh periode 2017-2022.

Selama ini, putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah atas perkara perceraian (baik cerai gugat dan cerai talak) menetapkan tanggung jawab mantan suami atas nafkah bagi anak dan mantan istri (hingga habis masa iddah) selain ketetapan lainnya berkaitan dengan hak iddah bagi istri dan pembagian harta bersama. Namun sayangnya, hak istri atas nafkah ini jarang diajukan pada kasus cerai gugat karena pemahaman perempuan/istri yang sangat terbatas. Ketetapan yang dilakukan pengadilan atas tanggung jawab nafkah dan lainnya, sulit sekali diimplemetasikan sehingga menyebabkan penelantaran terhadap perempuan dan anak.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan implementasi putusan ini tidak berjalan. Pertama, tidak ada institusi atau kelembagaan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam menindaklanjuti hasil ketetapan dimaksud. Kedua, ketiadaan aturan yang mengatur secara jelas dan tegas, menjadi alasan semua pihak abai dalam memberikan perhatian untuk mengatasi masalah ini. Ketiga, perempuan yang terlantar dan anak-anak yang tidak dinafkahi ayahnya tidak memiliki klasifikasi khusus sebagai penerima manfaat dari program pemerintah, karena ketiadaan numenklaturnya. Jikapun mereka mendapat akses pada bantuan hanya bagi perempuan yang hidup dalam keadaan miskin/fakir yang memiliki kriteria khusus.

Keempat, berkenaan keberadaan, kemampuan finansial dan rasa tanggung jawab mantan suami/ayah. Kadangkala, mantan suami adalah orang yang memiliki penghasilan karena bekerja sebagai PNS atau pekerjaan tetap lainnya. Namun tidak menjadi jaminan bahwa mantan suami bersedia menjalankan tanggung jawab memberikan nafkah bagi anak dan mantan istri, apalagi mantan suami memiliki keluarga baru. Brett Walker-Robert Penasihat Kebijakan Senior-Program Dukungan Anak Departemen Layanan Kemanusia-Australia bahwa di sana sudah tersedia sebuah lembaga pemerintah di bawah Pengadilan yang memastikan bahwa ketetapan pengadilan laksanakan, bahkan lembaga tersebut menyediakan uang talangan jika sang mantan suami belum punya kesanggupan. Demikian juga Malaysia, mereka malah memiliki tiga lembaga khusus masalah ini, mulai dari menasihati sampai eksekusi.

                                                                                                                                 Akibat perceraian

Untuk mengisi ketimpangan pascacerai ini, maka pertama, mantan suami, terutama yang berstatus PNS, secara pribadi dan kedinasan, menentukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seorang PNS untuk mengajukan perceraian, yang selama ini sudah berjalan. Negara juga harus terlibat dalam pelaksanaan putusan pengadilan itu. Secara teknis, misalnya, instansi PNS yang bersangkutan oleh negara diberi kewenangan memotong gajinya untuk melaksanakan putusan pengadilan. Di sini diperlukan kajian peraturan kepegawaian dan langkah cepat membuat payung hukum untuk pelaksanaannya.

Kedua, Aceh memiliki keistimewaan dalam hal agama dan adat, dan keduanya telah dilembagakan secara formal sebagai unsur yang memiliki tanggung jawab memberikan pandangan kepada pemerintah dalam pembangunan yang sedang dijalankan. Kelembagaan ini terstruktur hingga tingkat kabupaten/kota dan memiliki relasi koordinasi dengan ulama dan tokoh adat yang berada di tingkat gampong/desa. Keberadaan lembaga ini memungkinkan diberikan tanggung jawab dalam memberikan pembinaan keagamaan/aqidah bagi mantan suami agar menjalankan tanggung jawab kepada mantan istri dan anak sebagaimana yang diperintahkan agama, dan peran pengawasan terhadap hasil putusan perceraian yang ditetapkan pengadilan.

Ketiga, keberadaan Tuha Peut Perempuan dalam struktur masyarakat gampong dan istri imuem meunasah/masjid yang juga menjadi tokoh agama di masyarakat, dapat dijadikan sebagai pihak yang memberikan layanan konsultasi sekaligus menjadi bagian dalam mekanisme komplain yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan terhadap pengabaian yang dilakukan mantan suami.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved