Buronan Kelas Kakap Kasus Bank Bali Ditangkap, Ini Profil dan Rekam Jejak Djoko Tjandra
Djoko Tjandra ditangkap setelah diburu polisi selama sebelas tahun. Berikut profil dan rekam jejak Djoko Tjandra yang dilansir dari Tribunnewswiki
SERAMBINEWS.COM - Djoko Tjandra, terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali ditangkap pada Kamis malam (30/7/2020).
Djoko Tjandra ditangkap setelah diburu polisi selama sebelas tahun.
Berikut profil dan rekam jejak Djoko Tjandra yang dilansir dari Tribunnewswiki:
Djoko Tjandra lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 27 Agustus 1950.
Dia lahir dari keluarga pasangan Tjandra Kusuma dan Ho Yauw Hiang dan memiliki tujuh saudara kandung.
Ia menikah dengan Anna Boentaran dan mereka dikaruniai tiga orang putri, yaitu Joanne Soegiarto Tjandranegara, Jocelyne Soegiarto Tjandra dan Jovita Soegiarto Tjandra.
Pria bernama lengkap Djoko Sudiarto Tjandra alias Tjan Kok Hui merupakan penguasaha yang identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis inti properti.
Dia didakwa menyalahgunakan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam kasus yang bergulir sejak tahun 1999 tersebut.

Pada 16 Juni 2009 ia resmi menjadi buron karena mangkir dari panggilan Kejaksaan setelah Majelis Peninjauan Kembali Mahkamah Agung menerima peninjauan kembali atas putusan bebas yang diterima oleh Djoko pada persidangan tahun 2000.
Hingga akhirnya pada 30 Jui 2020 dia berhasil ditangkap oleh Tim Gabungan Bareskrim Polri.
• Jadwal Belajar Tatap Muka untuk SD dan PAUD di Zona Hijau, Paling Cepat September 2020
• Dalam Waktu Sebulan 2 Buronan Kelas Kakap Diciduk, Mahfud Ungkap Rahasia Ini
• WASPADA! Puluhan Aplikasi di Play Store Berbahaya, Berikut Daftarnya
Karier
Saat berusia 17 tahun, Djoko bepergian ke Irian Jaya (sekarang provinsi Papua), di mana pada tahun 1968 ia membuka toko grosir bernama Toko Sama-Sama di ibukota provinsi tersebut, Jayapura.
Pada tahun 1972, ia membuka toko bernama Papindo di Papua Nugini.
Ia membuka bisnis distribusi di Melbourne pada tahun 1974.
Pada tahun 1975, ia mendirikan sebuah perusahaan kontraktor bernama PT Bersama Mulia di Jakarta.
Tiga tahun kemudian, sebagai ahli untuk PT Jaya Supplies Indonesia, ia memperoleh proyek dari Pertamina, PLN dan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.
Dari tahun 1979 hingga 1981, ia mengembangkan pembangkit listrik Belawan di Sumatera Utara, memperluas kilang minyak di Balikpapan, mengembangkan Hydrocracking Complex di Dumai, sebuah kilang minyak di Cilacap, dan pupuk Kaltim di Bontang, Kalimantan Timur.
Pada tahun 1983, ia memasuki sektor properti, dengan mengembangkan blok kantor.
Di antara proyek-proyeknya adalah gedung Lippo Life, Kuningan Plaza dan BCA Plaza.
Ia juga terlibat dalam pengembangan Mal Taman Anggrek, yang dulunya merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara.
Dia kemudian menggandeng Yyasan Dana Pensiun BRI yang memiliki lahan di Jalan Jeneral Gatot Subroto dan Jalan Jenderal Sudirman.
Dengan pola BOT ia membangun gedung BRI II dan Gedung Mulia Towe sengan masa sewa selama 30 tahub.
Setelah itu lahan milik Departemen Kehakiman digarapnya menjadi gedung Mulia Center dengan hak pengelolaan selama 22 tahun.(3)
Djoko adalah tokoh utama dalam Grup Mulia, yang dimulai dengan PT Mulialand, yang didirikan pada awal 1970-an oleh Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa) dan tiga anaknya: Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok Kwang) dan Djoko Tjandra.
Mulialand terlibat dalam konstruksi dan properti.
Properti mewah yang dikembangkannya meliputi Hotel Mulia Senayan, Wisma Mulia, Menara Mulia, Wisma GKBI, Menara Mulia Plaza 89, Plaza Kuningan, dan apartemen Taman Anggrek.
Pada 5 November 1986, mereka mendirikan PT Mulia Industrindo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur kaca dan keramik.
• Pelaku Fetish Kain Jarik Ternyata Pernah Diarak Warga karena Kepergok Berbuat Asusila
• Daftar 50 Universitas Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2020, Kampus Kamu Termasuk?
• Daftar Kumpulan Ucapan Selamat Idul Adha 1441 H dalam Bahasa Inggris & Artinya, Cocok Dikirim ke WA
Skandal
Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama.
Namun dalam perjanjian ini, Djoko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP).
Kerja sama ini memunculkan perkara korupsi.
Lalu pada September 1999, perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.
Dalam kasus itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Djoko bebas dari tuntutan.
Kemudian, Oktober 2008 Kejaksaan melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
MA menerima dan menyatakan Direktur PT Era Giat Prima itu bersalah
Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp15 juta dan uangnya di Bank Bali sebesar Rp546 miliar dirampas untuk negara.

Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko Tjandra diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby.
Akan tetapi, Djoko diketahui telah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum dieksekusi.
Kaburnya Djoko diduga karena bocornya putusan peninjauan kembali oleh MA.
Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kemungkinan bocornya informasi putusan.
Namun, informasi yang dibocorkan belum tentu akurat.
Harifin menyatakan, tidak mungkin bocoran informasi itu berasal dari majelis hakim yang menangani peninjauan kembali Joko Tjandra.

Pada 2012, Djoko diketahui telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga Papua Nugini.
Namun, pada tahun 2020 kabar menggemparkan bahwa Djoko Tjandra memiliki E-KTP Indonesia.
Hal ini langsung menyeret beberapa nama pejabat daerah dan petinggi polri.
Lurah Grogol Selatan, Asep Subahan langsung dinonaktifkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Asep Subahan terbukti membantu buron Kejaksaan Agung Djoko Sugiarto Tjandra dalam penerbitan e-KTP.
Lalu ada pula tiga petinggi polri yang dicopot dari jabatannya karena terseret kasus ini.
Brigjen Prasetijo Utomo dicopot dari jabatannya sebagai Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri lantaran menerbitkan surat jalan Djoko Tjandra.
Lalu ada pula Brigjend Nugroho Slamet yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris NCB Interpol.
Dia dicopot dari jabatannya karena diduga langgar kode etik terkait surat soal red notice Djoko Tjandra.
Irjen Napoleaon Bonaparte dicopot dari jabatan Kadiv Hubinter Polri karena dianggap lalai mengawasi bawahannya, Brigjen Nugroho Slamet.
(Tribunnewswiki/SO/Tyo)
artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul Profil dan Rekam Jejak Djoko Tjandra, Terpidana Kasus Pengalihan Hak Tagih (Cessie) Bank Bali