Opini
Mekhikhis, Tradisi Kuliner Saat Maulid dan Haji
MEKHIKHIS berarti ‘melemang’. Lemah merupakan kuliner tradisional suku Alas yang sudah ada sejak turun-temurun

MUHADI KHALIDI, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry dan Anggota Komunitas Menulis Pematik, melaporkan dari Aceh Tenggara
MEKHIKHIS berarti ‘melemang’. Lemah merupakan kuliner tradisional suku Alas yang sudah ada sejak turun-temurun. Eksistensinya tak pernah redup dan masih dipertahankan oleh masyarakat Aceh Tenggara (Agara) hingga kini. Petasak khikhis (memasak lemang) itu sendiri dilakukan secara berkelompok yang terdiri atas beberapa keluarga di dalamnya. Per kelompok biasanya terdiri atas dua, tiga, sampai empat keluarga, tergantung kesepakatan.
Selanjutnya, setiap elemen dalam satu kelompok tersebut dibagi tugas. Mulai dari menyediakan bahan seperti beras pulut, santan, daun pisang, bambu, sampai pada persiapan seban (kayu bakar). Semakin besar kelompok yang ikut berpartisipasi maka semakin banyak pula jumlah lemang yang akan disajikan. Terkait lokasi, memasak lemang lazimnya dilakukan di depan atau di belakang rumah partisipan, khususnya mereka yang memiliki halaman rumah luas.
Tak heran ketika tradisi mekhikhis ini dilakukan, maka wilayah Agara sendiri akan diselimuti oleh asap yang timbul akibat memasak lemang.
Mekhikhis sendiri memilki makna yang luar biasa, salah satunya menjalin silaturahmi yang kuat di antara masyarakat yang memiliki filosofi ‘saling berbagi’ kepada sesama. Sebagai contoh, setelah lemang matang, setiap rumah membagikan lemang tersebut ke tetangga dan sanak saudara, begitu juga sebaliknya tetangga dan sanak saudara pun membagikan hal yang sama. Walaupun sama-sama lemang dan sama-sama memilikinya, pemberian tersebut tetap diterima dengan senang hati.
Berdasarkan realitas di atas, mekhikhis bukanlah ajang untuk memamerkan masakan di kalangan masyarakat yang seolah tak memiliki nilai. Namun, dalam tradisi masyarakat Agara, memasak lemang bisa dimaknai terdapat dua nilai filosofis di dalamnya. Pertama, nilai syariat dan kedua nilai adat dan budaya. Nilai syariat memiliki makna bahwa mekhikhis merupakan ucapan syukur dan terima kasih masyarakat Agara terhadap datangnya agama Islam di Tanoh Alas. Biasanya, petasak khikhis (memasak lemang) dilaksanakan dua kali dalam setahun, tepatnya pada 11 Rabiul Awal atau satu hari sebelum memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya, masyarakat Agara melaksanakan lagi tradisi mekhikhis pada 9 Zulhijjah, yaitu satu hari sebelum Hari Raya Iduladha atau hari raya Qurban. Perayaan petasak mekhikhis pada momen ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah Swt atas terlaksananya rukun Islam yang kelima walaupun tak bisa melaksanakan haji ke Tanah Suci. Melalui kearifan lokal ini kebahagiaan orang berhaji sama dengan orang yang mungkin belum bisa berhaji karena berbagai faktor.
Setelah shalat Iduladha masyarakat biasanya datang ke rumah tetangga sambil membawa lemang dan menyantapnya bersama dengan sajian tambahan seperti susu kental manis ataupun gula putih. Meskipun sederhana, kombinasi antara keduanya semakin unik dan memanjakan lidah.
Ada juga lemang yang diantarkan ke rumah mertua sebagai rasa hormat layaknya orang tua kandung. Biasanya, membawa lemang ke rumah orang tua pada Iduladha dilakukan sebagai buah tangan ketika berlebaran bersama.
Selain dilakukan pada dua hari besar keagamaan di atas, tradisi memasak lemang juga dilakukan oleh pihak mame (paman) sebagai oleh-oleh untuk menghadiri adat budaya pesenatken (khitanan) untuk keponakan yang tercinta. Dalam tradisi masyarakat Alas, paman atau pihak adik dari ibu, memang kerap menjadi elemen utama yang menyukseskan berbagai prosesi adat. Mulai dari pesta khitanan, menyediakan tumpangan kuda yang dinaiki keponakan untuk di arak sampai ke rumah, hingga membuat undangan untuk khalayak tamu.
Pudarnya tradisi
Mekhikhis adalah memasak dengan menggunakan bambu muda yang di bagian dalamnya dilapisi daun pisang muda yang berisi pulut, santan, dan garam. Cara memasaknya pertama-tama sediakan dulu bambu yang sudah dipotong lebih kurang seukuran lengan tangan atau sesuai dengan batas relung bambu. Setelah itu, bagian dalam bambu dilapisi dengan daun pisang muda sebagai pembungkus adonan (beras pulut dan santan) sebelum dimasak.
Setelah beras dan santan dimasukkan, khikhis tersebut dipanggang dengan kayu. Selanjutnya, hanya tinggal menunggu lemang matang sekitar tiga sampai dengan empat jam bahkan bisa lebih tergantung kepada kualitas kayu bakar. Semakin besar api, semakin cepat proses pemasakannya.
Secara historis, mekhikhis ini bisa dibilang merupakan sebuah kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memasaknya. Bila tidak dikerjakan, maka masyarakat tersebut akan merasa malu karena tidak ikut andil dalam melestarikan adat istiadat. Pada zaman modern seperti sekarang ini, khikhis dengan identitas rasa yang enak dan gurih, kian memudar di kalangan masyarakat Agara. Daerah perkotaan misalnya, sulit sekali ditemukan masyarakat setempat yang memasak lemang. Begitu juga dengan minat anak zaman now yang tidak mau direpotkan dengan ribetnya mekhikhis.
Menurut saya, memudarnya tradisi mekhikhis ini disebabkan beberapa faktor, baik dari segi masyarakatnya maupun peran pemerintahan daerah. Dari segi masyarakat, memudarnya tradisi melemang ini dikarenakan pergeseran budaya yang digerus zaman. Banyaknya budaya asing yang masuk merubah pola persepsi dan kebiasaan masyarakat. Muncullah anggapan bahwa memasak lemang merupakan hal yang sia-sia karena dianggap membuang waktu di zaman serbasibuk seperti sekarang. Dunia karier membuat masyarakat lebih tertarik dengan kuliner praktis dan instan dari pada menggeluti rutinitas mekhikhis yang dianggap merepotkan khususnya dalam mencari bambu yang sudah mulai langka akibat maraknya sektor pembangunan.