Luar Negeri
Anak-anak Beirut Alami Trauma Berat Akibat Ledakan Dahsyat Pelabuhan Beirut
Anak-anak Beirut Lebanon mengalami trauma berat seusai ledakan dahsyat Pelabuhan Beirut Selasa (4/8/2020). Ledakan itu menghancurkan pintu kaca dekat
SERAMBINEWS.COM, BEIRUT - Anak-anak Beirut Lebanon mengalami trauma berat seusai ledakan dahsyat Pelabuhan Beirut Selasa (4/8/2020).
Ledakan itu menghancurkan pintu kaca dekat Abed Itani yang berusia 3 tahun sedang bermain dengan balok-balok Lego miliknya.
Dia mengalami luka di kepala, lengan dan kakinya yang kecil.
Dia dibawa ke ruang gawat darurat, di mana duduk di antara orang-orang yang berlumuran darah.
Sejak saat itu, Abed tidak lagi sama, seperti ribuan anak lainnya bergulat dengan trauma.
“Ketika saya sampai di rumah sakit, saya menemukannya duduk di pojok ruang gawat darurat, kata ibunya, Hiba Achi, yang sedang bekerja ketika ledakan terjadi
Dia mengaku gemetar saat melihat orang-orang terluka parah dengan darah menetes ke seluruh lantai.
“Dia benci warna merah sekarang dan juga menolak memakai sepatu merah, "kata Achi, serya menambahkan Abed bersikeras mencucinya.
Ledakan besar hampir 3.000 ton amoniak nitrat di Pelabuhan Beirut menewaskan lebih dari 170 orang, melukai sekitar 6.000 lainnya dan menyebabkan kerusakan luas.
Badan anak-anak PBB UNICEF mengatakan tiga anak termasuk di antara yang tewas.
Sebanyak 31 anak-anak juga terluka cukup parah, sehingga membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.
• Somalia Segera Izinkan Pernikahan Anak di Bawah Umur
• Warga Lebanon Demonstrasi, Tuntut Politisi Korup Digantung dan Kelalaian Amoniak Nitrat Meledak
• Sekjen Liga Arab Kunjungi Lebanon, Saksi Ledakan Dahyat Beirut Tidak Percaya Masih Hidup
Sebanyak 100.000 anak mengungsi, karena rumah mereka hancur, menurut Save the Children, dengan banyak dari mereka mengalami trauma.
“Suara apapun, membuatnya melompat sekarang."
"Dia tidak enak lagi tidak ,”kata Achi.
“Dia adalah anak laki-laki yang bahagia, sangat ramah."
"Sekarang, dia tidak mau berbicara dengan siapa pun," kata ibunya.
Joy Abi Habib, pakar kesehatan mental di Save The Children, mengatakan kaum muda yang mengalami trauma dapat bereaksi berbeda.
“Sakit kepala, mual, mengompol, masalah pencernaan adalah gejala fisik yang cenderung diabaikan orang tua,” katanya.
"Mereka menjadi sakit dan sangat gelisah," tambahnya.
Putri Zeinab Ghazale, Yasmine (8) dan Talia (11) menolak tidur sendirian di kamar mereka sejak ledakan.
Ledakan memecahkan jendela di apartemen mereka dan membuat kaca beterbangan di sekitar kamar mereka.
"Kami secara ajaib selamat," kata Ghazale, yang harus memindahkan putrinya keluar dari rumah selama beberapa hari sampai jendela diperbaiki.
“Tapi putri saya Yasmin terus bertanya?"
"'Mengapa saya tidak memiliki masa kecil yang normal?
"Mengapa saya harus melalui semua ini ketika saya baru berusia 8 tahun? '"
Psikolog Maha Ghazale, telah merawat banyak anak setelah ledakan.
Dia mengatakan banyak yang mengalami ketidakpastian terus bertanya apakah ini akan terjadi lagi.
“Banyak anak yang menolak untuk kembali ke rumah, mendekati pintu kaca atau jendela,” tambah Ghazale.
Ricardo Molaschi mengunjungi apartemen kakek-neneknya di Beirut bersama ayah Italia dan ibu Lebanonnya.
Saat ledakan terjadi, anak berusia 6 tahun itu terluka oleh kaca yang beterbangan, membutuhkan jahitan.
Kakeknya, Kazem Shamseddine, tewas di lokasi kejadian.
Anak muda itu telah berulang kali melontarkan amarah kepada siapapun yang menyebabkan ledakan tersebut.
"Saya ingin menaruhnya di gunung berapi dan membiarkannya meledak," katanya.
Ghazale mengatakan membiarkan anak-anak memproses trauma itu penting, membiarkan mereka marah.
Tetapi juga mendorong mereka untuk menceritakan kisah tersebut secara lisan atau melalui seni dan permainan.
“Anak saya, Fares, terus bermain di mana ada api, dan melarikan diri,” kata Rania Achkar, ibu dua anak.
Putrinya yang berusia 4 tahun, Raya, mengubah lagu kebangsaan Lebanon menjadi lagu tentang ledakan itu.
“Seluruh dunia telah meledak,” dia bernyanyi.
“Ada api di mana-mana, semua orang membicarakan kami di televisi.”
Trauma dapat terulang kembali jika anak-anak terpapar berita dan percakapan orang dewasa tentang hal itu, kata Ghazali.
Dia menyarankan untuk mengisolasi mereka dari itu dan mencari bantuan.
“Anak-anak tangguh, tetapi trauma yang tidak diproses dapat menyebabkan peningkatan kecemasan," ujarnya.
"Masalah perilaku, itu menjadi bagian dari hidup mereka dan kemudian dapat mengarah pada mekanisme koping yang negatif,” katanya.
Mengembalikan rasa aman, normal dan rutin akan membantu, kata Ghazale.
Hiba Achi mengatakan telah memutuskan untuk meninggalkan Lebanon bersama putranya dan bergabung dengan suaminya yang bekerja di Dubai.
Ini adalah sentimen yang digaungkan oleh banyak orang.
“Tempat ini tidak aman untuk Abed, tidak pernah, tidak akan pernah,” katanya,
“Saya tidak ingin tinggal di sini lagi, itu saja," kata Hiba.
Rasa bersalahnya juga dialami oleh banyak orang tua.
Terutama mereka yang pernah mengalami perang saudara Lebanon 1975-90 dan merasa telah mengecewakan anak-anak mereka.
“Generasi kami mengalami trauma selamanya,” kata Achkar, ibu dari dua anak, mengacu pada mereka yang dibesarkan di Lebanon setelah perang.
“Tapi mengapa anak-anak kita harus melalui ini juga?” tanya sang ibu itu.(*)