Bekraf Bangun “Bioskop Misbar” di Sabang, tapi Sekarang tak Jelas Lagi Fungsinya
Fasilitas ini dibangun dalam rangka mendukung kegiatan Sail Sabang ketika itu.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mursal Ismail
Fasilitas ini dibangun dalam rangka mendukung kegiatan Sail Sabang ketika itu.
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pernah bangun fasilitas "bioskop misbar" alias bioskop gerimis bubar pada 2017 di Sabang.
Bioskop alam terbuka itu disediakan lengkap dengan proyektor dan fasilitas sound berharga ratusan juta rupiah.
Fasilitas ini dibangun dalam rangka mendukung kegiatan Sail Sabang ketika itu.
Deputi IV Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Fadjar Hutomo menyampaikan hal ini dalam dialog pariwisata bersama Hamdani Bantasyam.
Acara “Ngobrol Cak Ham” ini berlangsung secara virtual, Selasa (18/8/2020) malam.
• VIDEO Ujicoba Operasional Trans Kutaradja di Era Kebiasaan Baru
• Pariwisata Aceh tak Cukup Hanya Mengandalkan Panorama Alam Saja, Tetapi Butuh Tiga Sentuhan Ini
• Pelajar Diduga Terpapar Covid-19, SMP YPPU Unggul Sigli Ditutup
"Tapi sayangnya, fasilitas bioskop misbar itu saat ini tidak jelas lagi fungsinya.
Dulu kita serahkan kepada Dinas Pariwisata Sabang. Tapi sekarang kita tidak tahu lagi,” kata Fadjar Hutomo.
Ketika itu bioskop misbar dibangun untuk mendukung kegiatan dan kreativitas anak-anak muda Aceh yang bergiat dalam komunitas film.
Menurut Fadjar Hutomo, di bioskop tersebut diputar film karya anak bangsa dan film dokumenter.
Bioskop dibangun di area Sabang Fair menghadap Samudra Hindia, dengan daya tampung sebanyak 120 orang. Disebut misbar, karena dibangun di alam terbuka.
"Bioskop Misbar ini diadakan untuk memenuhi kebutuhan ruang kreatif bagi komunitas dan pemerintah Kota Sabang.
Utamanya subsektor film dan seni pertunjukan. Tujuan lainnya ya sebagai daya tarik lain pariwisata Sail Sabang," jelas Fadjar Hutomo.
Fadjar Hutomo menyampaikan hal itu menjawab pertanyaan salah seorang peserta dialog mengenai fasilitas yang dibangun Pemerintah Pusat untuk mendukung pariwisata di Aceh.
Fadjar mengharapkan, seharusnya fasilitas yang sudah tersedia seperti itu difungsikan dan dimanfaatkan secara maksimal untuk menunjang kreativitas komunitas. “Basisnya harus komunitas,” ingatnya.
Bioskop misbar tersebut antara lain dimaksudkan untuk mendukung atraksi wisata di Sabang.
“Problemmnya kemudian, tidak bisa dilanjutkan dan tidak dirawat. Yang saya dengar laporan terakhir, proyektornya entah kemana,” ujar Fadjar Hutomo menyayangkan.
“Mangkrak-nya bioskop misbar itu justru sudah berlangsung sebelum pandemi Covid 19. Ini bukan dampak dari pandemi,” ujar Fadjar Hutomo.
Butuh tiga sentuhan
Sebelumnya diberitakan Pariwisata Aceh masih perlu sentuhan, terutama dari segi atraksi, amenity (kenyamanan), dan aksesibilitas (kemudahan akses).
Sebuah daerah wisata tidak hanya cukup mengandalkan alam yang indah semata. Dengan demikian potensi wisata Aceh bisa dikembangkan lebih optimal lagi.
Demikian disampaikan Deputi IV Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Fadjar Hutomo dalam acara “Ngobrol Cak Ham” Selasa (18/8/2020) malam.
Acara tersebut disiarkan live melalui facebook @Hamdani Bantasyam dan akun facebook Serambinews.
Fadjar Hutomo, akrab disapa Cak Tom mengaku saat mendarat di Aceh, baik Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh maupun Bandara Rembele Takengon, belum menemukan sesuatu yang khas dari unggulan pariwisata yang dikembangkan di daerah itu.
“Rasanya masih sama saja dengan mendarat di daerah lain,” katanya.
Ia menjelaskan, sebuah daerah wisata, tidak hanya cukup mengandalkan panorama alam semata.
Melainkan dibutuhkan kreativitas dan sentuhan lebih lanjut terutama di bidang “3 M” tadi yaitu atraksi, amenitas, dan aksesibilitas.
Disebutkan, sebuah daerah wisata harus didukung dengan atraksi-atraksi budaya yang bisa membeli pengalaman baru bagi wisatakan.
Ia mencontohkan wisata kopi, para wisatawan bisa ikut serta dalam proses penggilingan kopi manual, sebab konon rasa kopi di Aceh enak karena diproses dengan giling basah.
“Wisatawan diajak merasakan pengalaman seperti ini,” ujarnya.
Terkait kenyamanan, menurut Cak Tom, suasana yang aman dan nyaman harus tercipta, termasuk air bersih, kesehatan dan sebagainya.
Selanjutnya adalah, adanya akses ke daerah-daerah wisata. Ia mencontohkan Banyuwangi, untuk membangun bidang wisata, Pemda Banyuwangi membangun akses internet di seluruh desa.
“Semua desa mendapat akses internet,” ujar Cak Tom.
“Kalau bicara Aceh, kita langsung terbayang kuliner dan kopinya. Tapi kita belum menemukan aroma kopi di bandaranya.
Seharusnya, wisatawan bisa langsung menghirup aroma kopi ketika turun dari pesawat dan berada di bandara,” kata Cak Tom mencontohkan.
Ia menyebutkan, otoritas pilihan menjadikan sebuah daerah menjadi daerah wisata berada di tangan pemerintah daerah (Pemda) masing-masing. Pemerintah Pusat hanya memberi dorongan saja.
“Pariwisata salah satu urusan pemerintahan yang diserahkan ke pemerintah daerah. Otoritasnya di pemerintah daerah,” ujar Cak Tom.
Fadjar Hutomo optimis bahwa pariwisata di Aceh akan bisa berkembang lebih hebat dan dahsyat lagi mengingat potensi Aceh yang sangat luar biasa.
Ia juga mengingatkan untuk melibatkan komunitas dan warga untuk pengembangan daerah wisata. “Basisnya adalah komunitas dan warga.
Sebab tidak bisa dilakukan secara top down. Perkuat komunitasnya. Merekalah nantinya yang berperan penting dalam sebuah kegiatan wisata di daerah mereka. Termasuk di desa-desa,” sarannya. (*)