Silaturrahim Hijriah
Antropolog Al Chaidar Sebut Snouck Hurgronje Murni Masuk Islam dan Membela Islam
Al Chaidar menyebut C.Snouck Hurgronje murni masuk Islam dan mendukung berdirinya organisasi Sarekat Islam di Indonesia.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Taufik Hidayat
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Antropolog yang juga dosen Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe, Al Chaidar menyebutkan, antropolog Belanda C. Snouck Hurgronje murni masuk Islam dan mendukung berdirinya organisasi Sarekat Islam di Indonesia.
Snouck juga disebutkan membela Islam serta melakukan politik tertentu yang tidak menguntungkan kolonial.
Al Chaidar yang sudah tujuh bulan berada di Belanda, melakukan riset untuk kepentingan disertasinya, menyampaikan pendapatnya itu dalam forum “Silaturrahim Hijriah Taman Iskandar Muda; Hikmah Covid-19 dan Tantangannya Bagi Aceh” diselenggarakan secara virtual, Kamis (20/8/2020).
Al Chaidar yang juga pengamat terorisme itu, menyebutkan ada asumsi di Aceh yang harus diluruskan menyangkut Snouck Hurgronje.
“Ada beberapa asumsi orang Aceh yang salah tentang Snouck. Menurut saya dia benar-benar masuk Islam,” ujar Al Chaidar dalam forum yang dihadiri hampir 1000 partisipan dan dimoderatori Prof Bachtiar Aly.
Ia juga menyampai kan bahwa Snouck juga melarang penyebaran misi agama non-Islam ke Aceh, dan itu merupakan sebuah sikap seorang ilmuan yang adakakalanya tidak memihak kepada pemerintahnya sendiri.
“Temuan-temuan ini harus dikabarkan, jangan habis energi membenci seseorang yang sebenarnya ilmuan dan antropolog. Jangan sampai semua orang Aceh membenci antropolog karena dianggap mendukung non muslim, liberal dan sebagainya. Snouck itu sangat membela Islam dan melakukan politik tertentu dan tidak menguntungkan kepentingan kolonial di Hindia Belanda,” demikian pandangan Al Chaidar.
Lantas siapa Snouck Hurgronje yang disinggung Al Chaidar? Halaman Wikipedia menuliskannya sebagai berikut:
Christiaan Snouck Hurgronje, (lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun) adalah seorang sarjana Belanda budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Ia menjadi mahasiswa teologi di Universitas Leiden pada tahun 1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest' ("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.
Snouck yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk.
Setelah berhasil menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885.
Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya.
Dia adalah salah satu sarjana budaya Oriental Barat pertama yang melakukannya.
Sebagai wisatawan perintis, ia adalah orang langka asal Barat yang berada di Mekkah, tetapi memeluk budaya dan agama dengan penuh gairah sehingga ia berhasil membuat kesan kepada orang-orang bahwa ia masuk Islam.
Dia mengaku berpura-pura menjadi Muslim seperti yang ia jelaskan dalam surat yang dikirim ke teman kuliahnya, Carl Bezold pada 18 Februari 1886 yang kini diarsipkan di Perpustakaan Universitas Heidelberg.
• Ini Empat Dosen Baru Unimal yang Dilantik Untuk Menjabat Ketua Jurusan
• Siap-Siap, RI Akan Impor 50 Juta Dosis Vaksin Covid-19 China Sampai Maret 2021
• Selain Masalah Gaji, Karyawan di PKS Primajasa Aceh Timur juga Pertanyakan APD Keselamatan Kerja
Pada tahun 1889 ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah Belanda untuk urusan kolonial.
Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.
Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang Aceh (1873-1913).
Ia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar 50.000 dan 100.000 penduduk tewas dan sekitar satu juta terluka.
Kesuksesannya dalam Perang Aceh memberinya kekuasaan dalam membentuk kebijakan pemerintahan kolonial sepanjang sisa keberadaannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 Kembali di Belanda Snouck melanjutkan karir akademis yang sukses.
Budayawan Aceh Nab Bahany As (dalam artikelnya di serambinews.com dengan judul Snouck Hurgronje, Islam, dan Aceh, https://aceh.tribunnews.com/ 2015/03/06/snouck-hurgronje), menuliskan bahwa Mekkah juga telah membuat Snouck Hurgronje menjadi awal pemahamannya terhadap Aceh.
Selama di Mekkah, Snouck menjalin hubungan akrab dengan seorang ulama asal Aceh, Habib Abdurrahman Az-Zahir.
Ulama ini adalah bekas penasehat utama Sultan Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874 M).
Namun karena diragukan integritasnya sebagai perantara dalam hubungan antara Sultan Aceh dengan pihak Belanda, maka Habib Abdulrahman dipecat oleh Sultan Aceh.
Tetapi pemerintah Belanda memberikan pensiun kepada Habib Abdurrahman untuk hidup dan tinggal di Mekkah.
Dari dasar pemahamannya terhadap Aceh di Mekkah, maka ketika Snouck mengetahui berkecamuknya perang Aceh melawan Belanda, Snouck menawarkan diri pada Kementerian Urusan Jajahan Negeri Belanda agar ia dapat ditugaskan ke Aceh.
Maka pada 1889, Snouck mendapat kesempatan pertama bertugas di Batavia (Jakarta sekarang). Gubernur Jenderal C Pijnacker Hordijk di Batavia waktu itu mengangkat Snouck menjadi Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara.
Tahun 1893 Snouck ditugaskan ke Aceh dengan tugas utamanya untuk menyusun saran-sarannya terhadap penyelesaian perang Aceh dengan Belanda.
Pertama sekali Snouck tinggal di Aceh adalah di Ulee Lheue sebagai tempat yang menjadi markas utama militer Belanda.
Di Ulee Lheue inilah Snouck berhasil menyusun sebuah laporan pertamanya tentang Aceh, yaitu Atjeh Verslag sebagai laporan yang menjadi dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapi Aceh.
Bagian pertama laporan Snouck tentang Aceh berupa uraian antropologi masyarakat Aceh, pengaruh Islam sebagai dasar keyakinan orang Aceh, serta peranan ulama dan Uleebalang dalam masyarakat Aceh.
Dalam laporan itu Snouck juga menguraikan bahwa perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, Sedangkan Uleebalang menurut Snouck bisa diajak menjadi calon sekutu Belanda, karena kepentingannya adalah berniaga.
• Jika Mendaftar Jadi Peserta BPJS Ketenagakerjaan Sekarang, Apakah Bisa Dapat BLT Rp600.000?
• Satu Keluarga di Solo Ditemukan Tewas dalam Kondisi Mengenaskan, Diduga Jadi Korban Perampokan
• Seorang PDP di Bireuen Meninggal, Dua Dirawat, Ini Datanya
Snouck juga menulis bahwa Islam bagi masyarakat Aceh juga harus dinilai negatif, karena Islam bisa membangkitkan fanatisme anti Belanda di kalangan rakyat Aceh.
Karenanya, para pemuka agama dalam masyarakat Aceh hendaknya dapat ditumpas agar pengaruh Islam menjadi tipis di Aceh.
Dengan demikian para Uleebalang menurut Snouck akan mudah diajak bersekutu dengan Belanda.
Satu kegagalan pemerintah Belanda di Aceh, menurut Snouck adalah akibat tidak adanya pengetahuan Belanda terhadap Aceh sebagai wilayah Islam.
Itu sebabnya, ketika Snouck bertugas di Aceh, di samping mempelajari karakter masyarakatnya secara antropologis (adat dan budaya Aceh), ia juga mengkaji kitab-kitab para ulama Aceh.
Di antaranya kitab Umdatu al-Muhtajin karangan Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala, sebagai kitab yang dianggap Snouck sangat berpengaruh bagi pengembangan Tarekat Syatariyah di Aceh.
Buku “De Atjehers” (dua jilid: 1893-1894) yang ditulis Snouck tentang Aceh, secara ilmu pengetahuan mungkin orang Aceh harus berterima kasih kepada Snouck.
“Namun di sisi lain, apakah Snouck Hurgronje benar-benar masuk Islam, atau sekadar berpura-pura ketika ia berada di Mekkah. Wallahu a’lam bissawab,” tulis Nab Bahany pada bagian akhir artikelnya.
Selain menulis “De Atjehers," Snouck juga menulis buku tentang Gayo, berjudul “Het Gajoland en zijne bewoners” diterbitkan di Batavia pada 1903.
Buku ini kemudian diterjemahkan menjadi “Gayo : masyarakat dan kebudayaan awal abad ke-20” diterbitkan oleh PN Balai Pustaka pada 1986.
Buku tersebut diterjemahkan oleh Hatta Hasan Aman Asnah, penyunting dan kata pengantar, M. Junus Melalotoa.(*)