Budaya
Mewahnya Pengantin Gayo Masa Lalu, dengan Hiasan Kalung Perak
Dalam foto itu, tampak seorang pengantin pria mengenakan ikat kepala, hiasan kepala, hiasan leher, untaian kalung rantai perak.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Taufik Hidayat
Tokoh Gayo di Jakarta, M Daud Gayo, mengenali pengantin pria dalam foto tersebut.
• Truk Bermuatan Pakan dan Anak Ayam Terbalik di Geulanggang Baroe Bireuen, Begini Kronologinya
• Biasanya Modis dengan Makeup, Wajah Asli Jaksa Pinangki yang Polos Tanpa Riasan Terungkap
• Berdarah Aceh, dr Abdul Gafur bin Teungku Idris Pernah Lakukan Napak Tilas Keluarga ke Jeuram
Dalam keterangannya di Grup WA Musara Gayo Jabodetabek, Daud Gayo (82 tahun), menuliskan “Si jelas oya pakaian ni urang Gayo, ike gere salah ybs manteri Hasan gerale lahir i Bintang abange gerale Basyar ybs inilah sebenarnya Amani Mariyam karena sdh diangkat anak manteri Hasan namamya jadi Mariyam Hasan dan menjadi isteri AK Yakoby.” (yang jelas itu pakaian orang Gayo. Kalau tidak salah, yang bersangkutan manteri Hasan namanya, lahir di Bintang.
Abangnya bernama Basyar, yang bersangkutan inilah sebenarnya Amani Maryam karena sudah diangkat mantra Hasan namanya jadi Maryam Hasan dan menjadi istri Ak Yakoby.”
Antropolog Belanda, C. Snouck Hurgrounje saat menulis khusus tentang Gayo dalam buku “Het Gajoland en Zijne Bewoners” (Batavia 1903), yang diterjemahkan oleh Hatta Hasan Aman Asnah menjadi “Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20” (PN. Balai Pustaka, 1986), menyebutkan bahwa pengantin pria Gayo selain dilengkapi dengan “bulang kul” (ikat kepala/penutup kepala besar), juga dilengkapi kalung leher besar yang disebut “tangang birahmani” terbuat dari uang ringgit perak.
Snouck melukiskan “tangang birahmani” itu puluhan jumlahnya bergantungan pada leher.
Hiasan pinggang pengntin berupa pisau, menurut Snouck, itu disebut “pisau lapan sagi.” Adapun pakaiannya terbuat dari kain sutra dan celana atau “seruel sati.”
Wikipedia menuliskan, Tropenmuseum adalah salah satu museum terbesar di Amsterdam, dengan kapasitas delapan eksibisi permanen dan beberapa seri eksibisi temporer, termasuk karya fotografi modern dan tradisional.
Tropenmuseum dimiliki dan dijalankan oleh Royal Tropical Institute, sebuah yayasan yang mensponsori penelitian tentang budaya tropis di seluruh dunia.
Museum ini memiliki 176.000 pengunjung pada tahun 2009.
Frederick van Eeden, sekretaris Maatschappij ter bevordering van Nijverheid (Masyarakat untuk Promosi Industri) mendirikan Museum Kolonial di Haarlem pada tahun 1864, dan membukanya kepada publik pada tahun 1871.
Museum ini didirikan untuk menunjukkan kepemilikan Belanda di luar negeri dan penduduknya seperti Indonesia.
Pada tahun 1871 lembaga tersebut mulai melakukan penelitian untuk meningkatkan keuntungan yang didapatkan dari tanah-tanah koloni.
Kegiatan tersebut dilakukan antara lain untuk mengembangkan sarana peningkatan produksi biji kopi, rotan, dan parafin.
Museum ini berada di bawah pengaruh para etnolog, yang memfokuskan informasi tentang ekonomi, tata krama, dan adat istiadat penduduk.
Pada tahun 1926, museum pindah ke Amsterdam, menempati gedung yang hingga sekarang masih digunakan.