Opini

Debat Premium-Pertalite Kaum Pemalu  

Peninjauan BBM dengan nilai oktan (RON) rendah yang tak ramah lingkungan kembali disampaikan oleh Pertamina di Gedung DPR, Jakarta

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Debat Premium-Pertalite Kaum Pemalu   
IST
Prof. Dr. Ir. Izarul Machdar, M.Eng. Guru Besar Ilmu Lingkungan pada Fakultas Teknik Unsyiah

Oleh Prof. Dr. Ir. Izarul Machdar, M.Eng. Guru Besar Ilmu Lingkungan pada Fakultas Teknik Unsyiah

Peninjauan BBM dengan nilai oktan (RON) rendah yang tak ramah lingkungan kembali disampaikan oleh Pertamina di Gedung DPR, Jakarta, Senin (31/08/2020). Hal ini tak lepas dari pemakaian BBM sektor transportasi sebagai penyumbang besar emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim global.

Enerdata (2019) melaporkan, sektor transportasi dan pembangkit listrik menempati posisi kedua setelah industri dalam menghasilkan emisi karbon di Indonesia. Diperkirakan hampir 28% dari total emisi karbon dioksida (522 MtCO2 per tahun) disumbang oleh sektor ini.

Di Indonesia saat ini ada 6 varian BBM untuk transportasi yang dipasarkan Pertamina, yakni Premium, Pertalite, Pertamax, Solar, Pertamax Turbo, dan Dexlite. Tiga varian pertama paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mesin berbasis cetus api (bensin) dengan kadar RON masing-masing 88 (Premium), 90 (Pertalite) dan 92 (Pertamax). Sedangkan untuk mesin kompresi (diesel) penggunaan Solar Pertamina (CN 48) lebih umum.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017 mensyaratkan penggunaan BBM bensin harus di atas RON 91, kandungan timbal yang tidak terdeteksi, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Untuk mesin diesel dipersyaratkan BBM dengan nilai CN (cetan number) minimal 51 dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.

Sejak aturan ini diundangkan seharusnya produk Premium, Pertalite, dan Solar sudah tidak ada lagi di SPBU Pertamina karena tidak memenuhi aturan yang berlaku. Walaupun demikian, kebijakan masih didistribusikannya 3 varian BBM tersebut oleh Pertamina tak lepas dari Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Sayangnya, dalam kebijakan ini tak disebutkan peruntukan terhadap 3 varian BBM tersebut yang memberi celah kepada siapa saja untuk menggunakannya.

Premium vs pertalite

Mengapa BBM dijual dengan berbagai varian dan apa untungnya menggunakan varian RON yang lebih tinggi? BBM dengan nilai oktan yang lebih tinggi berhubungan erat dengan tingkat kompresi mesin. Kompresi lebih tinggi akan menghasilkan tenaga yang lebih efisien dan emisi yang minimal (kenderaan ramah lingkungan).

Angka oktan BBM menunjukkan kandungan molekul iso oktan yang bercampur dengan n-heptana yang menghasilkan ketahanan yang dapat diberikan sebelum bensin terbakar spontan di dalam mesin.

Varian Premium telah lama diproduksi Pertamina yang digunakan untuk sektor transportasi dengan bilangan oktan 88. Sejak era 90-an Premium disuntik dengan aditif tetra-ethyl lead (TEL) bahan berbasis Pb (timbel-timah hitam) untuk meningkatkan angka oktan (octane booster).

Penggunaan aditif ini berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, terutama anak-anak. Penggunaan BBM tanpa timbel (unleaded gasoline) sudah dimulai di Amerika sejak tahun 1970-an, dan di sana BBM ini resmi diberlakukan sejak Januari 1996. Di Jepang sendiri bensin bertimbel dilarang sejak 1986, sedangkan di Inggris bensin tanpa timbel dijual mulai 1988.

Kampanye tentang BBM tanpa timbel terus bergema di dunia, sehingga Pemerintah Indonesia sejak tahun 2000-an sudah mengimbau Pertamina untuk menghilangkan TEL secara bertahap. Maka, baru 2006 Pertamina tak lagi menyuntik Pb ke dalam Premium dengan mengubah komposisi HOMC di dalam Premium menjadi 30% (sebelumnya hanya 12,5%) dan Napta 70% (sebelumnya 87,5%).

HOMC (High Octane Mogas -Motor Gasoline- Component) adalah campuran berbagai hidrokarbon dan beberapa aditif seperti methyl tertuary butyl ether (MTBE).

Varian Pertalite (RON 90) hadir dua tahun sebelum undang-undang baku mutu emisi gas buang kenderaan bermotor dikeluarkan, yakni pada Juli 2015. BBM Pertalite sebagai solusi untuk meningkatkan nilai RON di atas Premium, tapi lebih murah dari Pertamax. Komposisi utama Pertalite adalah nafta (RON 65-70) yang dicampur dengan HOMC (RON 92-95) dan bahan aditif EcoSAVE. Bahan aditif ini tak berfungsi menaikkan RON, tapi hanya untuk unjuk kerja mesin.

Penggunaan jenis varian BBM yang cocok tak lepas dari spesifikasi teknis kenderaan bermotor. Rasio kompresi suatu kenderaan akan menentukan jenis BBM yang paling sesuai digunakan. Rasio kompresi mesin kurang dari 9 (misalnya jenis motor yang diproduksi di bawah tahun 2000) masih memungkinkan menggunakan RON 88 (Premium).

Kenderaan yang diproduksi di atas tahun 2000 dengan rasio kompresi 9-10 seperti Beat, Vario, Mio, Scoopy atau sejenisnya lebih dianjurkan menggunakan BBM RON 90 (Pertalite). Kenderaan bermotor roda 2 (NMAX, Satria F150 atau sejenisnya) dan semua kenderaan roda 4 yang umumnya memiliki rasio kompresi di atas 10 lebih baik menggunakan RON 92 ke atas (Pertamax atau Pertamax Turbo).

Avanza atau Xenia (rasio kompresi 11:1) yang dianggap "mobil sejuta umat" lebih baik memang "minum" Pertamax ke atas. Untuk rasio tersebut bahkan dianjurkan menggunakan RON 95 (Pertamax Plus) untuk menjaga performa mesin.

Melihat dari sisi lingkungan, kualitas emisi pembakaran Premium dan Pertalite jauh di bawah Pertamax, walau Pertalite lebih baik dari Premium. Hasil penelitian menunjukkan kualitas emisi CO dan hidrokarbon dari Pertalite lebih rendah dibandingkan Premium.

Konsentrasi CO yang tinggi berkorelasi dengan efisiensi pembakaran BBM di dalam mesin. Mesin yang dirancang untuk efisiensi tinggi tapi diisi dengan BBM yang berkualitas rendah akan menghasilkan performa yang rendah bahkan boros BBM.

Sejalan dengan isu pembatasan Premium bagi kenderaan mewah (rasio kompresi mesin tinggi) dan stiker yang menjadi debat pro-kontra masyarakat di Banda Aceh, kita bersama perlu melihat kembali esensi dasar dari "menjaga lingkungan" di mana untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa membahayakan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Beramai-ramai menggunakan varian Premium, maka kita ikut berkontribusi terhadap kerusakan alam yang akan digunakan oleh anak cucu. Selanjutnya, penomena pengggunaan BBM Premium bagi yang tak berhak melahirkan logika terbalik dan mematahkan teori "Environmental Kuznets Curve". Dikatakan "apabila Anda miskin, Anda akan memprioritaskan keuntungan materi, saat penghasilan Anda bertambah, Anda dapat memilih untuk membelanjakan sebagian untuk lingkungan yang lebih baik dan lebih aman".

Teori ini tidak berlaku di tempat kita yang katanya "syariah". Kita lebih banyak berdebat untuk kepentingan sesaat, dan tanpa malu kepada anak-cucu yang berada di samping kita sekarang bahkan yang belum ada, dalam kontribusi merusak alam mereka nantinya. Menikmati fasilitas mobil mewah memang hak azasi setiap orang, tapi mengambil yang bukan hak secara etika, bisa dibilang melanggar hak azasi.

Indatu kita tak salah berucap, "U bek beukah kuah beu leumak", bagaimana bisa nikmat tapi dengan murah. Itulah kita, kaum pemalu.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved