Berita Abdya

Setelah Masuk Islam di Abdya, Ibu Bersama 7 Putri Ini Tinggal di Gubuk Pinggir Jalan di Aceh Selatan

Gubuk yang mereka tempati, hanya berukuran 2,5 meter x 6 meter di tepi Jalan Nasional, Desa Ujong Blang, Kecamatan Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan.

Penulis: Zainun Yusuf | Editor: Taufik Hidayat
Serambinews.com
Gubuk sangat sederhana sebagai tempat tinggal Arbulan di pinggir Jalan Nasional, Desa Ujong Blang, Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan, yang menampung mualaf, Fatimah Telaum Banua (39) bersama tujuh putrinya, Kamis (17/9/2020). 

Laporan Zainun Yusuf | Aceh Barat Daya

SERAMBINEWS.COM, BLANGPIDIE – Setelah resmi mengucapkan kalamat syahadat sejak tujuh hari lalu hingga, Kamis (17/9/2020), Fatimah Telaum Banua (39) bersama tujuh putrinya masih menumpang di gubuk yang ditempati abangnya Arbulan Telaum Banua.

Gubuk yang ditempati Arbulan hanya berukuran 2,5 meter x 6 meter di tepi Jalan Nasional, Desa Ujong Blang, Kecamatan Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan atau kawasan perbatasan dengan Kabupaten Abdya.

Tempat tinggal menggunakan tiang dari kayu bulat dan pohon pinang dan atap daun rumbia itu jauh dari layak.  Berdiri di atas  tanah sisa bahu Jalan Nasional, diapit saluran irigasi atau bersebelahan dengan tanah milik almarhum Teuku  Jakfar.

Kendati tidak layak, tempat sangat sederhana itu ditempati   Arbulan bersama istri dan dua anaknya (satu perempuan dan satu laki-laki) selama enam tahun terakhir.

Tapi, Arbulan dan keluarga masih tercatat sebagai penduduk (KTP/KK) di Desa Padang, Kecamatan Manggeng, Abdya.

Gubuk lokasi tepi jalan ini hanya punya satu kamar kecil yang digunakan sebagai ruangan tidur keluarga Arbulan.

Dinding ruang tidur seadanya saja dari triplek bekas dan terpal plastik. Sedang pintu masuk dan keluar hanya ditutup dengan kain.    

Ruangan selebihnya dibiarkan terbuka, dijadikan sebagai dapur,  sekaligus  sebagai tempat jual eceran minyak. 

“Sehari-hari saya bekerja sebagai tukang becak antar-jemput anak sekolah MIN. Selama empat bulan terakhir, selama penyebaran Virus Corona, tak ada lagi siswa yang saya antar-jemput,” kata Arbulan.

Meskipun hidup dalam kondisi serba kekurangan, Arbulan berhati mulia. Ia bersedia menampung adiknya, Fatimah bersama tujuh putrinya yang baru saja menjadi mualaf.

“Di gubuk ini, saya tinggal bersama istri dan dua anak usia sekolah SMP dan SD. Sekarang, bertambah delapan orang (Fatimah dan 7 putrinya) menjadi 12 orang,” kata Arbulan sambil tersenyum.

Laki-laki yang beristrikan perempuan asal Desa Padang, Manggeng ini sebenarnya memiliki tiga anak. Anak tertua laki-laki usia SMA  tinggal bersama anggota keluarga istrinya di Manggeng.

Meski berbeda kabupaten, jarak tempat tinggal Arbulan di kawasan Aceh Selatan dengan kampung asal istrinya di Abdya hanya berjarak sekitar 6 km.

Perhatian pemerintah dan uluran tangan dermawan lainnya membantu rumah tempat tinggal sang adik besama tujuh putrinya tentu sangat diharapkan.

Selain itu tujuh putri dari sang adik yang tidak sekolah juga perlu dipikirkan.

“Tempat tinggal Fatimah dan keluarga jauh ke dalam hutan membuka lahan kebun. Tak ada bangunan sekolah di sana sehingga anak-anak tidak bersekolah. Mereka turun seminggu sekali pada hari pekan,” kata Arbulan.

Tentang anak yang tidak bersekolah diakui Fatimah kepada Serambines.com. Dari 10 orang anak, anak nomor satu dan dua pernah sekolah, kemudian putus, kemudian sudah berkeluarga tinggal di Padang Sidempuan.

Anak kelima, laki-laki sekarang sekolah di SMP, tapi tinggal dengan orang lain di Padang Sidempuan.

Lalu, anak ketiga, empat, enam sampai sepuluh, seluruhnya perempuan dibawa untuk masuk agama Islam di Abdya.

Dari tujuh putri yang sudah memeluk agama Islam itu, hanya anak nomor tiga dan empat yang pernah sekolah sampai kelas II SD, kemudian putus.    

Sedangkan anak keenam, tujuh, delapan, sembilan dan sepuluh,  tak pernah sekolah sama sekali. “Anak-anak tak bersekolah karena tempat tinggal di sana tak ada bangunan sekolah,” kata Fatimah. 

Fatimah Telaum Banua (39) bersama tujuh orang putrinya, mengucapkan kalimat syahadat di Masjid At-Taqwa Manggeng, Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat  Daya (Abdya), Sabtu (12/9/2020) lalu.

Ikrar syahadat dipandu Drs Said Firdaus, Imam Masjid At-Taqwa setempat. Tujuh anbak perempuan dariu Fatimah yang mengucapkan syahadat masing-masing, Nidar Ratna Ayu Gea (18 tahun), Iren Cantika Gea (17), Muliani Gea (13), Melia Gea (11), Amila Gea (9), Mariani Gea (4), Imel Gea (3 tahun).

Warga Hilang Penciuman di Lambaro Skep Diminta Lapor, Dinkes Segera Semprot Lokasi Terpapar Covid-19

Unggah Foto Berhijab, Annisa Pohan Disebut Sangat Cocok Tampil Muslimah, Begini Balasannya

Kasus Penipuan CPNS Atasnamakan KemenPAN RB, 55 Orang Jadi Korban, Pelaku Sudah Raup Rp 3,8 Milar

IRT kelahiran Gunung Sitoli pada 28 Februari 1981 ini (seperti data KTP), sebelumnya menetap dan membuka kebun selama puluhan tahun di hutan Morsa kawasan Desa Gunung Baringin, Kecamatan Angkola Selatan,  Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut.

Hutan Morsa merupakan lokasi sangat terpencil di Kecamatan Angkola Selatan, Tapanuli Selatan.

“Jaraknya satu hari naik mobil dari Padang Sidempuan, dan setelah tiba di penghabisan ujung jalan mobil Desa Gunung Beringin, harus jalan kaki selama 4 jam baru mencapai hutan Morsa tempat tinggal Fatimah,” kata  Arbulan Telaum Banua, abang kandung Fatimah.

Wanita 10 orang anak ini nekat meninggalkan hutan Mursa yang terpencil itu dengan memboyong tujuh putrinya untuk pindah keyakinan, memeluk agama Islam.

Sementara sang suami, Eti Sama Gea (44) dan tiga anaknya, saat ini masih tinggal di kawasan Desa Gunung Baringin, Kecamatan Angkola Selatan, Padang Sidempuan.

Tiga anak yang belum menyertainya, dua diantaranya sudah berkeluarga, yakni yang perempuan bernama Iman Suriani Gea (23), dan yang laki-laki bernama Yaswan Gea (20), serta satu anak laki-laki yang masih bersekolah SMP, bernama Yusafat Gea.

“Adik saya ini sejak lahir beragama Islam dengan nama Fatimah. Lalu, pindah keyakinan saat menikah dengan suami nonmuslim, tapi namanya tidak berubah. Kami empat bersaudara, yang bungsu Fatimah,” kata Arbulan Telaum Banua kepada Serambinews.com.

Arbulan mengaku sudah 20 tahun tidak pernah bertemu dengan Fatimah.

Keinginan bertemu dengan sang adik terus diusahakan, akhirnya ada titik terang dengan bantuan seorang teman facebook di Sibolga.

Atas bantuan teman di Sibolga itu, Arbulan berhasil memperoleh nomor telepon Fatimah sehingga bisa berkomunikasi dengan Fatimah, setelah 20 tahun tidak pernah bertemu.

Perjalanan Fatimah bersama tujuh orang anak dari Padang Sedempuan menuju tempat tingal abangnya di Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan, sangat menyedihkan.

Seperti disebutkan Arbulan kepada Serambinews.com, Fatimah dan tujuh putrinya sempat terkatung-katung di Sidikalang dan Dairi (Sumut) akibat kehabisan uang.

Beruntung ada orang yang berbaik hati membantu ongkos dari Sidikalang menuju Terminal Subulussalam (Aceh).

Kemudian, jamaah Masjid At-Taqwa Subulussalam membantu ongkos transportasi dan makan dalam perjalanan. Sehingga Fatimah bersama tujuh anaknya bisa sampai ke alamat abangnya, Arbulan.   

Suami, Anak, Menantu dan Cucu akan Menyusul

Masih menurut Arbulan, suami Fatimah bersama satu orang anak perempuan yang kedua dan suaminya serta seorang anak bayi bersama anak kelima yang sekarang masih di Padang Sidempuan, juga segera menyusul Fatimah ke Aceh.

“Mereka juga ingin memeluk agama Islam di Aceh. Jadi masih ada gelombang kedua sejumlah 5 orang lagi,” ungkap Arbulan.(*)

Kronologi Pasangan Kekasih Bunuh Manajer HRD, Korban Dihabisi Saat Berhubungan Intim Lalu Dimutilasi

PM Pakistan Imran Khan Berencana Hukum Mati Pemerkosa di Depan Umum

Wanita Ini Jual Teman ke Pria Hidung Belang, Tarifnya Capai Rp 2,5 Juta Tiap Kencan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved