Luar Negeri
HRW Ungkap Penderitaan Etnis Rohingya, Disiksa dan Dibunuh Jika Kabur dari Kamp
Pasalnya mereka menganggap kondisi kamp tersebut masih “tidak dapat ditinggali” setelah didirikan sejak delapan tahun lalu.
Militer Myanmar, yang sekarang menghadapi tuduhan genosida, mengatakan sedang melakukan "operasi pembersihan" yang menargetkan militan, seperti yang dikutip dari Reuters pada Jumat (11/9/2020).
Tempat Kan Kya pernah berdiri, sekarang ada puluhan bangunan pemerintah dan militer termasuk pangkalan polisi yang luas dan berpagar, menurut gambar satelit yang tersedia untuk umum di Google Earth.
Desa di daerah terpencil di barat laut negara yang tertutup bagi orang asing, terlalu kecil untuk dinamai di Google Maps.
Pada peta yang diproduksi pada 2020, oleh unit pemetaan PBB di Myanmar, yang dikatakan didasarkan pada peta pemerintah Myanmar, situs desa yang hancur sekarang tidak bernama dan diklasifikasikan kembali sebagai bagian dari kota terdekat Maungdaw.
Unit tersebut membuat peta untuk penggunaan badan-badan PBB, seperti badan pengungsi UNHCR, dan kelompok kemanusiaan yang bekerja dengan PBB di lapangan.
Kan Kya adalah satu dari hampir 400 desa yang dihancurkan oleh militer Myanmar pada 2017, menurut gambar satelit yang dianalisis oleh Human Rights Watch yang berbasis di New York.
Selain itu, salah satu dari setidaknya puluhan yang namanya telah dihapus.
"Tujuan mereka adalah agar kami tidak kembali," kata pemimpin agama Mohammed Rofiq, mantan ketua desa dekat Kan Kya yang sekarang tinggal di kamp pengungsi di Bangladesh yang menceritakan tentang pemerintah Myanmar.
Kementerian Kesejahteraan Sosial, Departemen Administrasi Umum (GAD), yang mengawasi kegiatan pembangunan kembali Myanmar di negara bagian Rakhine, menolak menjawab pertanyaan dari Reuters tentang penghapusan nama desa atau kebijakan pemerintah terkait kembalinya pengungsi Rohingya.
Perwakilan pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh penasihat negara Aung San Suu Kyi, juga menolak untuk menanggapi.
Departemen peta PBB telah menghasilkan setidaknya 3 peta sejak awal tahun yang menunjukkan sejumlah nama desa Rohingya telah hilang atau diklasifikasikan ulang oleh Myanmar.
PBB mengatakan telah menghapus beberapa peta negara bagian Rakhine dari situs webnya pada Juni.
Kemudian, memulai studi untuk menilai dampak kebijakan pemerintah terhadap penduduk desa dan pengungsi yang kembali setelah Organisasi Nasional Rohingya Arakan, sebuah kelompok hak-hak Rohingya yang berbasis di Inggris, mengeluh kepada PBB tentang penghapusan nama desa.
PBB mengatakan studi tersebut belum mencapai kesimpulan apapun.
Yanghee Lee, mantan utusan hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, mengatakan pemerintah sengaja mempersulit para pengungsi untuk kembali ke tempat-tempat tanpa nama dan tidak ada bukti bahwa mereka pernah tinggal di sana.