Jurnalisme Warga
Altruisme Darussalam yang Pernah Ada
Mencermati dinamika dan arah pendidikan bangsa hari ini mendorong saya untuk mengangkat kembali kearifan-kearifan pendidikan yang pernah
OLEH ZULFATA, M.Ag., Direktur Sekolah Kita Menulis, melaporkan dari Darussalam, Banda Aceh
Mencermati dinamika dan arah pendidikan bangsa hari ini mendorong saya untuk mengangkat kembali kearifan-kearifan pendidikan yang pernah terbentuk di Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam. Meski kearifan yang saya maksud dalam reportase kali ini berlangsung sekitar tahun 1950-an, tetapi masih relevan untuk dijadikan cerminan terkait permasalahan pendidikan masa kini.
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, beberapa permasalahan pendidikan yang sedang terjadi saat ini adalah tidak terpadunya lagi antara kebijakan dan sikap politik dengan proses penguatan pendidikan kebangsaan. Sederhananya, seolah-olah kekacauan perpolitikan saat ini tidak ada kaitannya dengan proses pendidikan yang ditempuh generasi, dan sungguh disayangkan lagi adalah munculnya anggapan publik bahwa pendidikan harus dipisahkan dengan sikap pemain politik.
Atas kondisi yang saya singgung di atas, dapat dipahami ketika kita berusaha mengangkat kembali khazanah Kopelma Darussalam dari sektor kekuatan altruismenya yang patut digairahkan kembali. Sebab, sejarah pembentukan Kopelma Darussalam tidak hanya melibatkan elite dan kaum yang bersekolah waktu itu, tetapi juga terpadu dengan kehendak masyarakat. Di balik pembentukan Kopelma tersebut tersimpan hubungan sebab akibat antara spirit pendidikan dengan kebijakan politik.
Hal inilah yang menarik untuk dibuka wacananya terhadap publik agar seiring perkembangan waktu publik di Aceh semakin yakin bahwa tidak selamanya sejarah Aceh itu dilihat dari perspektif konflik. Jika perspektif konflik terus-terusan dijadikan cara pandang dalam mengambil iktibar masa lalu, maka dapat dipastikan Aceh akan terus mewariskan konflik kepada generasinya.
Dalam bahasa keseharian, altruisme merupakan suatu sikap yang lebih mengutamakan kepentingan sosial daripada kepentingan pribadi. Altruisme itu adalah sifat atau paham kebalikan dari egoisme. Sikap altruisme biasanya ditampilkan melalui nilai perilaku yang menyukai pekerjaan sosial (relawan), berbuat sesuatu tanpa imbalan materiel, dan segala kegiatan yang dilakukan didorong oleh panggilan hati nurani. Paham ini lebih mengutamakan kepentingan orang lain atau dorongan untuk berbuat jasa kepada pihak lain. Orang yang mempraktikkan nilai altruisme secara terus-menerus akan berpeluang menjadi negarawan atau guru bangsa.
Mungkin apa yang saya uraikan di atas dapat dipandang sinis oleh sekelompok masyarakat yang terlalu nyaman dengan kehidupam hedonis dan pragmatis, tetapi apa yang saya sampaikan di atas adalah fakta sejarah dalam proses pembentukan Kopelma Darussalam.
Untuk mendapatkan bukti, pembaca dapat menelusuri buku-buku yang bersinggungan dengan sejarah Darussalam. Misalnya, buku berjudul “Darussalam” yang ditulis Ali Hasjmy atau penulis yang mendalami kehidupan sosial, pendidikan, dan politik terkait Darussalam. Sebagai informasi awalnya, sikap altruisme Kopelma Darussalam yang saya dapatkan adalah adanya keterlibatan beberapa elemen masyarakat di antaranya adalah pemangku kekuasaan, kaum dermawan, pelajar dengan masyarakat.
Para pemangku kekuasaan waktu itu tampak berambisi untuk menciptakan Aceh yang bermartabat melalui pendidikan dan sikap politik diplomatisnya sehingga pada saat memperjuangkan pembentukan Kopelma tidak menghadapi konflik internal elite (pemangku kekuasaan). Hal ini dapat terjadi karena para elite waktu itu dominannya mempraktikkan altruisme. Mereka lebih mengedepankan kepentingan bersama demi kemaslahatan generasi penerusnya. Mereka tidak terjebak pada hasrat bagi-bagi kekuasaan sesama mitra politik, melainkan menciptakan kebijakan politik demi kemaslahatan bersama.
Dalam konteks altruisme pemangku kekuasaan dalam reportase ini, saya ingin sampaikan ke publik bahwa pada waktu itu para elite tidak mudah tergoda dengan tawaran pemerintah pusat yang lebih mengedepankan pembangunan infrastruktur terlebih dahulu sebelum membentuk Kopelma Darussalam. Namun demikian, hasrat kolektif untuk mendahulukan kepentingan daerah dengan membentuk Kopelma Darussalam menjadi tawaran yang patut didahulukan dan tawaran pembangunan infrastruktur akan menyusul di belakangnya. Demikianlah sikap diplomasi elite waktu itu.
Setelah saya cermati dengan beberapa teori yang saya gunakan dalam penelitian ini, saya menemukan bahwa adanya keinginan para pemangku kekuasaan untuk menjadikan generasi Aceh agar mampu mengelola Aceh secara terdidik dan berbudi baik. Jika diizinkan untuk merumuskan keinginan pemangku kekuasaan saat membangun Aceh dari sektor pendidikan, maka Kopelma Darussalam juga dihadirkan untuk menciptakan perpolitikan yang beradab di Aceh. Pada posisi inilah saya semakin yakin bahwa salah satu tujuan pendidikan itu adalah untuk menciptakan keadaban berpolitik sebagai akumulasi proses pendidikan di ruang publik.
Dari sisi altruismenya kaum dermawan, hasil penelitian saya menemukan bahwa kaum dermawan waktu itu rela menyumbangkan hartanya dengan berbagai bentuk sumbangan sesuai kesanggupannya. Ada yang menyumbangkan sehamparan tanah di kawasan Darussalam untuk dibebaskan demi pembangunan Kopelma Darussalam sesuai dengan tujuan utama terbentuknya Kopelma Darussalam. Kemudian, selain ada yang menyumbang dalam betuk uang, ada juga yang menyumbangkan peralatan kerja atau peralatan kantor. Tidak terhenti di situ, saya juga menemukan keterlibatan masyarakat Simeulue dalam menyumbangkan beberapa ekor kerbau untuk keperluan pembangunan Darussalam.
Kemudian, jika dipahami dari altruismenya pelajar, di Darussalam waktu itu pelajar dengan masyarakat turun langsung untuk menimbun lokasi dataran rendah di kawasan Darussalam. Dalam dokumentasi saya temukan adanya gabungan elemen masyarakat dan pelajar bersama-sama sedang mencangkul tanah untuk meratakan lapangan tugu Darussalam sebagai landmark Koplema Darussalam. Tentunya landmark Koplema Darussalam ini bukan sebatas bangunan belaka, melainkan salah satu pengingat bahwa generasi Aceh jangan pernah lupa sejarah pendidikannya saat ingin membenahi daerah dari ketidakpastian politik.
Berdasarkan tiga elemen pelaku altruime di atas dapat disimpulkan bahwa Kopelma Darussalam benar telah menjadi fakta sejarah. Yang harus dilakukan masyarakat Aceh, terutama para insan akademis yang hidup di Kopelma Darussalam, adalah tidak menjadikan fakta sejarah tersebut sebagai data di atas kertas atau sebatas koleksi perpustakaan belaka. Tetapi fakta sejarah tersebut harus menjadi tanggung jawab moral generasi Aceh saat ini untuk mampu melanjutkan fungsi Kopelma Darussalam yang salah satunya untuk menciptakan keadaban politik melalui strategi pendidikan.
Oleh karen itu, sungguh menyedihkan saat memahami kondisi Aceh hari ini, karena strategi pendidikan yang dijalankan sekarang tidak memiliki titik terpadu dalam menciptakan kewibawaan Aceh yang pernah bermartabat di mata dunia. Melalui reportase ini secara tidak langsung saya memberikan informasi bahwa yang menyebabkan Aceh bermartabat itu karena sikap altruisme kolektif yang dibangun berdasarkan tiga elemen yang diuraikan di atas, yaitu terjalinnya solidaritas altruisme para pemangku kekuasaan, dermawan, dan pelajar dengan masyarakat.